Analisis Permohonan
Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama: Tinjauan
Hukum Acara Perdata, Hukum Materil Perdata, dan Hukum Islam (al-Aḥwāl
al-Syakhṣiyyah)
Abstrak
Penelitian ini merupakan
studi normatif (doktrinal) mengenai permohonan perwalian anak yang diajukan ke
Pengadilan Agama untuk memenuhi persyaratan administratif Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Kajian mengulas kewenangan peradilan agama, konstruksi hukum
acara (voluntair/non‑kontentius), kriteria dan prioritas wali menurut hukum
Islam dan hukum nasional, serta batas dan ruang lingkup penetapan perwalian
yang dimohonkan untuk kepentingan administratif. Sumber hukum meliputi
peraturan perundang‑undangan nasional (UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU
Perlindungan Anak, HIR/RBg, KHI), doktrin, dan putusan pengadilan sebagai batu
uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) permohonan perwalian untuk tujuan
administratif pada prinsipnya dapat dikabulkan dengan model perwalian terbatas
(limited guardianship) selama tidak menimbulkan sengketa hak yang bersifat
kontentius; (ii) asas kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the
child), perlindungan anak, dan prinsip kehati‑hatian hakim menjadi dasar utama;
(iii) kehadiran ibu kandung sebagai pihak terkait (apabila ayah meninggal)
merupakan praktik yang baik untuk memastikan tidak ada keberatan; dan (iv)
dalam hal timbul keberatan atau sengketa keperdataan yang nyata, mekanisme
beralih ke gugatan kontentius. Penelitian merekomendasikan rumusan amar penetapan
yang spesifik‑tujuan, pengawasan perwalian, dan sinkronisasi administrasi
antarlembaga.
Kata kunci: perwalian anak,
Pengadilan Agama, administrasi TNI, hukum acara perdata, KHI, kepentingan
terbaik anak.
1. Latar Belakang Masalah
Dalam praktik, satuan TNI
kerap mensyaratkan kelengkapan administrasi bagi calon prajurit yang masih di
bawah perwalian, misalnya persetujuan wali sah untuk tindakan administratif
tertentu, penandatanganan dokumen, atau verifikasi status keluarga. Ketika ayah
(wali nasab) telah meninggal dunia dan ibu kandung telah menikah kembali,
muncul kebutuhan untuk mempertegas siapa wali yang sah atau menunjuk wali
pengganti/pendamping melalui penetapan Pengadilan Agama. Kebutuhan
administratif tersebut menuntut kejelasan dan kepastian hukum yang sejalan
dengan asas kepentingan terbaik bagi anak serta tidak menimbulkan sengketa hak
baru.
Secara normatif, kewenangan absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan
mencakup perwalian, sebagaimana ditegaskan dalam Undang‑Undang tentang Peradilan
Agama. Di sisi lain, perwalian dalam perspektif hukum Islam (al‑Aḥwāl
al‑Syakhṣiyyah) membedakan wilayah atas jiwa (‘ala al‑nafs) dan atas harta
(‘ala al‑māl) dengan prioritas wali dari garis ayah. Kompilasi Hukum Islam
(KHI) mengatur tata cara penunjukan dan tugas wali, sementara UU Perlindungan
Anak menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai parameter. Maka, diperlukan
suatu analisis normatif yang terstruktur untuk menjawab bagaimana permohonan
perwalian yang berbasis kebutuhan administratif TNI seharusnya ditangani oleh
Pengadilan Agama.
2. Rumusan Masalah
• Bagaimana konstruksi
kewenangan dan hukum acara permohonan perwalian anak di Pengadilan Agama untuk
keperluan administratif TNI?
• Bagaimana kriteria,
prioritas, dan batas kewenangan wali menurut hukum Islam dan hukum nasional
dalam konteks permohonan yang bersifat administratif?
• Bagaimana praktik terbaik
(best practice) dalam merumuskan amar penetapan perwalian yang spesifik‑tujuan
(limited guardianship) agar efektif, akuntabel, dan melindungi kepentingan
terbaik anak?
• Bagaimana peralihan forum
dari permohonan (voluntair) menjadi gugatan (kontentius) jika muncul keberatan
atau sengketa hak?
3. Pembahasan