Rabu, 26 November 2025

Dalam perkara perdata, apabila panggilan pertama patut, kemudian panggilan kedua tidak patut, apakah hakim dapat memutus perkara atau apakah sidang di panggilan kedua yang tidak patut tidak dapat dilanjutkan?



1. Prinsip umum pemanggilan dalam perkara perdata

Dalam hukum acara perdata (HIR/RBg dan yurisprudensi), yang penting untuk sahnya pemeriksaan dan putusan adalah:

  1. Pihak sudah dipanggil secara patut dan sah

  2. Untuk hari sidang yang jelas (tanggal/hari sidang tertentu)

  3. Dengan tenggang waktu yang cukup antara hari panggilan dan hari sidang.

Kalau panggilan pertama sudah patut dan sah, lalu:

  • Tergugat tidak hadir → Hakim bisa menunda, memerintahkan panggilan ulang.

  • Pada panggilan berikutnya ternyata tidak patut (misalnya salah alamat, tidak cukup tenggang, berita acara panggilan cacat, dsb) → di sini masalah mulai muncul.


2. Apakah hakim boleh memutus jika panggilan kedua tidak patut?

Pisahkan dua situasi:

a. Putusan verstek berdasarkan ketidakhadiran di sidang kedua

Kalau hakim hendak menjatuhkan verstek dengan mendasarkan pada ketidakhadiran tergugat di sidang kedua, sementara panggilan untuk sidang kedua tidak patut, maka:

  • Tidak boleh dijadikan dasar untuk memutus.

  • Karena salah satu syarat sah verstek adalah:

    “Tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak datang.”

Kalau panggilan kedua tidak patut, maka syarat itu tidak terpenuhi.
Akibatnya:

  • Kalau tetap diputus, putusan berpotensi batal atau sekurang-kurangnya cacat prosedur, dan dalam praktik sering jadi alasan kasasi/PK (pelanggaran hak untuk didengar / audi et alteram partem).

b. Pemeriksaan perkara tetap berjalan karena sudah pernah dipanggil patut sebelumnya?

Kalau panggilan pertama sudah patut, lalu tergugat:

  • Hadir di sidang pertama, atau

  • Setidaknya secara hukum sudah dianggap tahu tentang perkara dan jadwal sidang (misalnya pernah hadir, pernah mengajukan jawaban, atau sudah menandatangani relaas),

maka untuk sidang-sidang berikutnya ada dua pandangan:

  1. Pandangan formal ketat

Rabu, 05 November 2025

Hukum Pelunasan Utang yang Ditangguhkan Saat Pemberi Utang Wafat Sebelum Jatuh Tempo


 

Melunasi Utang yang Ditangguhkan Saat Pemberi Utang Wafat Sebelum Jatuh Tempo

20 November 2024 oleh: Dr. Nazir Mohammad Ayyad (Mufti Mesir)

Pertanyaan

Apa hukum melunasi utang yang ditangguhkan (memiliki tempo) saat pemberi utang meninggal dunia, padahal belum masuk tanggal jatuh tempo?

Seorang pria meminjam sejumlah uang dari orang lain dan mereka sepakat bahwa ia akan mengembalikan seluruhnya setelah tiga bulan. Namun, si pemberi utang meninggal dunia satu bulan kemudian. Ahli warisnya menuntut pelunasan utang dengan segera, karena menganggap utang itu telah menjadi hak milik mereka. Apakah mereka (para ahli waris) berhak menuntut pelunasan lebih awal sebelum tanggal jatuh tempo yang telah disepakati?

Jawaban

Peminjam (debitur) wajib membayar utang yang ditangguhkan pada tanggal jatuh temponya, bukan saat pemberi utang (kreditur) meninggal dunia.

Oleh karena itu, ahli waris dari almarhum pemberi utang tidak berhak memaksa peminjam untuk melunasi utang sebelum tanggal jatuh tempo yang disepakati.

Akan tetapi, jika si peminjam mampu secara finansial dan ingin melunasi utang tersebut sebelum tanggal jatuh temponya, hal itu diperbolehkan (sah) menurut hukum Islam. Tindakan ini akan dianggap sebagai itikad baik dan tanda terima kasih, membalas kebaikan dengan kebaikan, serta merespons kemurahan hati dengan kedermawanan dan kehormatan.


Keutamaan Memberi Pinjaman kepada Mereka yang Membutuhkan

Memberi pinjaman kepada mereka yang membutuhkan karena belas kasih dan kebaikan—tanpa mengharapkan imbalan pribadi apa pun—mengandung pahala yang besar dari Allah SWT, Yang berfirman:

"Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak." (QS, 57:11).

Wajib bagi peminjam untuk membayar utang dengan cara terbaik, karena tidak pantas membalas kebaikan si pemberi pinjaman hanya dengan kebaikan yang setara (atau kurang). Allah SWT berfirman:

"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (QS, 55:60).

Selain itu, Abu Huraira (semoga Allah meridhoinya) meriwayatkan bahwa Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda:

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar utangnya." (HR. Bukhari).


Membayar Utang yang Ditangguhkan Saat Kreditur Meninggal Dunia Sebelum Tanggal Jatuh Tempo

Jumat, 17 Oktober 2025

Kompensasi Yudisial di Indonesia: Analisis Kelayakan Gaji Hakim Pratama Tahun 2025

 


Kompensasi Yudisial di Indonesia: Analisis Kelayakan Gaji Hakim Pratama Tahun 2025

1. Ringkasan Eksekutif

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai kelayakan remunerasi hakim tingkat pertama (Hakim Pratama) di Indonesia untuk tahun 2025, dengan fokus pada angka pendapatan sebesar 15 juta Rupiah per bulan. Kenaikan remunerasi hakim yang diumumkan pemerintah pada tahun 2025 merupakan langkah korektif yang signifikan dan telah lama tertunda. Namun, analisis komprehensif menunjukkan bahwa angka pendapatan spesifik sebesar 15 juta Rupiah, yang merupakan tunjangan untuk hakim dengan pangkat dan penempatan tertentu, secara kritis tidak layak jika dievaluasi berdasarkan biaya hidup riil di pusat-pusat yudisial utama. Kondisi ini menciptakan "kesenjangan integritas" (integrity gap) yang berisiko, di mana pendapatan resmi tidak mencukupi untuk menopang standar hidup yang bermartabat dan aman secara finansial.

Analisis komparatif menunjukkan bahwa meskipun remunerasi hakim kini lebih kompetitif dibandingkan profesi setara di sektor publik seperti jaksa, pendapatan tersebut masih tertinggal jauh dari potensi penghasilan di sektor swasta, sehingga berisiko menghambat minat talenta hukum terbaik untuk memasuki profesi yudisial. Di sisi lain, evaluasi terhadap kapasitas fiskal negara menunjukkan bahwa peningkatan gaji hakim yang lebih substansial sangat mungkin dilakukan, mengingat alokasi anggaran Mahkamah Agung hanya merupakan sebagian kecil dari total belanja pegawai nasional.

Berdasarkan temuan-temuan ini, laporan menyimpulkan bahwa pendapatan saat ini gagal mencerminkan beban tanggung jawab yang sangat besar, mengisolasi hakim dari kerentanan finansial, dan menjaga integritas institusi peradilan. Laporan ini merekomendasikan penetapan standar pendapatan bawa pulang (take-home pay) yang layak pada rentang Rp 25 juta hingga Rp 35 juta per bulan untuk Hakim Pratama, yang didukung oleh paket kesejahteraan holistik. Langkah ini esensial untuk melindungi independensi yudisial, menarik sumber daya manusia hukum berkualitas tinggi, dan pada akhirnya memperkuat supremasi hukum di Indonesia.

 

2. Anatomi Remunerasi Hakim Tahun 2025

 

Untuk mengevaluasi kelayakan pendapatan seorang hakim, penting untuk terlebih dahulu membedah struktur kompensasinya secara akurat. Angka 15 juta Rupiah yang menjadi fokus pertanyaan bukanlah total gaji, melainkan komponen tunjangan spesifik dalam sebuah paket remunerasi yang lebih kompleks.

 

2.1 Sebuah Koreksi, Bukan Keuntungan Luar Biasa: Kontekstualisasi Kenaikan 2025

 

Kenaikan gaji hakim yang dilaporkan mencapai 280% pada tahun 2025 harus dipahami bukan sebagai kemurahan hati yang luar biasa, melainkan sebagai sebuah koreksi pasar yang mendesak.1 Presiden Prabowo Subianto sendiri menyoroti fakta bahwa para hakim tidak menerima kenaikan gaji selama 18 tahun, padahal mereka menangani perkara-perkara bernilai triliunan Rupiah.2 Konteks historis ini krusial, karena struktur remunerasi sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 telah menyebabkan erosi daya beli yang parah akibat inflasi kumulatif selama lebih dari satu dekade.3 Dengan demikian, kenaikan persentase yang besar dimulai dari basis yang sangat rendah, sehingga angka nominal yang baru mungkin masih belum memadai.

 

2.2 Membedah Paket Gaji: Gaji Pokok vs. Tunjangan

Pendapatan hakim terdiri dari dua komponen utama yang berbeda:

Kamis, 09 Oktober 2025

Analisis Permohonan Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama: Tinjauan Hukum Acara Perdata, Hukum Materil Perdata, dan Hukum Islam (al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah)

Analisis Permohonan Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama: Tinjauan Hukum Acara Perdata, Hukum Materil Perdata, dan Hukum Islam (al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah)

 

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi normatif (doktrinal) mengenai permohonan perwalian anak yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk memenuhi persyaratan administratif Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kajian mengulas kewenangan peradilan agama, konstruksi hukum acara (voluntair/non‑kontentius), kriteria dan prioritas wali menurut hukum Islam dan hukum nasional, serta batas dan ruang lingkup penetapan perwalian yang dimohonkan untuk kepentingan administratif. Sumber hukum meliputi peraturan perundang‑undangan nasional (UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Perlindungan Anak, HIR/RBg, KHI), doktrin, dan putusan pengadilan sebagai batu uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) permohonan perwalian untuk tujuan administratif pada prinsipnya dapat dikabulkan dengan model perwalian terbatas (limited guardianship) selama tidak menimbulkan sengketa hak yang bersifat kontentius; (ii) asas kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the child), perlindungan anak, dan prinsip kehati‑hatian hakim menjadi dasar utama; (iii) kehadiran ibu kandung sebagai pihak terkait (apabila ayah meninggal) merupakan praktik yang baik untuk memastikan tidak ada keberatan; dan (iv) dalam hal timbul keberatan atau sengketa keperdataan yang nyata, mekanisme beralih ke gugatan kontentius. Penelitian merekomendasikan rumusan amar penetapan yang spesifik‑tujuan, pengawasan perwalian, dan sinkronisasi administrasi antarlembaga.

Kata kunci: perwalian anak, Pengadilan Agama, administrasi TNI, hukum acara perdata, KHI, kepentingan terbaik anak.

1. Latar Belakang Masalah

Dalam praktik, satuan TNI kerap mensyaratkan kelengkapan administrasi bagi calon prajurit yang masih di bawah perwalian, misalnya persetujuan wali sah untuk tindakan administratif tertentu, penandatanganan dokumen, atau verifikasi status keluarga. Ketika ayah (wali nasab) telah meninggal dunia dan ibu kandung telah menikah kembali, muncul kebutuhan untuk mempertegas siapa wali yang sah atau menunjuk wali pengganti/pendamping melalui penetapan Pengadilan Agama. Kebutuhan administratif tersebut menuntut kejelasan dan kepastian hukum yang sejalan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak serta tidak menimbulkan sengketa hak baru.

Secara normatif, kewenangan absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan mencakup perwalian, sebagaimana ditegaskan dalam Undang‑Undang tentang Peradilan Agama. Di sisi lain, perwalian dalam perspektif hukum Islam (al‑Aḥwāl al‑Syakhṣiyyah) membedakan wilayah atas jiwa (‘ala al‑nafs) dan atas harta (‘ala al‑māl) dengan prioritas wali dari garis ayah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur tata cara penunjukan dan tugas wali, sementara UU Perlindungan Anak menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai parameter. Maka, diperlukan suatu analisis normatif yang terstruktur untuk menjawab bagaimana permohonan perwalian yang berbasis kebutuhan administratif TNI seharusnya ditangani oleh Pengadilan Agama.

2. Rumusan Masalah

• Bagaimana konstruksi kewenangan dan hukum acara permohonan perwalian anak di Pengadilan Agama untuk keperluan administratif TNI?

• Bagaimana kriteria, prioritas, dan batas kewenangan wali menurut hukum Islam dan hukum nasional dalam konteks permohonan yang bersifat administratif?

• Bagaimana praktik terbaik (best practice) dalam merumuskan amar penetapan perwalian yang spesifik‑tujuan (limited guardianship) agar efektif, akuntabel, dan melindungi kepentingan terbaik anak?

• Bagaimana peralihan forum dari permohonan (voluntair) menjadi gugatan (kontentius) jika muncul keberatan atau sengketa hak?

3. Pembahasan

Senin, 06 Oktober 2025

Analisis Hukum Komprehensif Mengenai Permohonan Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama

 




Analisis Hukum Komprehensif Mengenai Permohonan Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama



Bagian 1: Landasan Hukum Perwalian Anak dalam Hukum Keluarga Islam


Bagian ini akan membangun landasan hukum dan prinsip-prinsip keagamaan fundamental yang mengatur perwalian anak dalam yurisdiksi Pengadilan Agama di Indonesia. Penjelasan ini akan menguraikan mengapa sistem peradilan terlibat dalam urusan yang mungkin tampak sebagai masalah keluarga sederhana, memberikan pemahaman konsep inti sebelum beralih ke detail prosedural.


1.1 Mendefinisikan Perwalian: Konsep di Bawah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Nasional


Konsep perwalian, atau perwalian, dalam sistem hukum Indonesia lebih dari sekadar hak asuh. Ini adalah kewenangan hukum yang diberikan kepada seseorang untuk bertindak atas nama anak di bawah umur dalam melakukan perbuatan hukum. Penting untuk membedakan antara kekuasaan orang tua (otoritas orang tua) dan perwalian (perwalian). Kekuasaan orang tua melekat secara alami pada orang tua kandung, sedangkan perwalian ditetapkan secara hukum ketika kekuasaan orang tua tersebut tidak ada, tidak diketahui, atau tidak mencukupi untuk suatu tindakan hukum tertentu.1

Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menjadi pedoman utama bagi Pengadilan Agama, mendefinisikan perwalian sebagai kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau yang orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.3 Dalam fikih Islam, perwalian memiliki sifat ganda:

Al-walayah 'alan-nafs (perwalian atas pribadi/jiwa anak) dan Al-walayah 'alal-mal (perwalian atas harta benda anak).3 Permohonan perwalian untuk keperluan pendaftaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara spesifik termasuk dalam kategori pertama, yaitu perwalian atas diri anak untuk mengurus kepentingannya.

Kerangka hukum yang mendasari perwalian di Indonesia bersumber dari beberapa peraturan perundang-undangan utama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menjadi dasar utama, menetapkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya.1 Ketika kekuasaan ini tidak ada, maka lembaga perwalian menjadi relevan. Di sisi lain, bagi warga negara yang beragama Islam, KHI memberikan kerangka hukum Islam yang spesifik dan rinci mengenai syarat, kewajiban, dan berakhirnya perwalian, yang menjadi acuan bagi hakim di Pengadilan Agama.4


1.2 Kompetensi Absolut Pengadilan Agama


Sebuah pertanyaan krusial yang sering muncul adalah mengapa seorang warga negara Muslim harus mengajukan permohonan ini ke Pengadilan Agama. Jawabannya terletak pada konsep "kompetensi absolut" atau yurisdiksi mutlak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara tegas menetapkan bahwa perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam—termasuk perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah, serta penetapan asal-usul anak dan perwalian—bagi mereka yang beragama Islam, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.2

Hal ini menjelaskan mengapa direktori putusan Mahkamah Agung menampilkan dua jenis putusan perwalian untuk tujuan pendaftaran TNI. Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN), seperti PN Langsa atau PN Wamena, adalah untuk pemohon yang beragama non-Islam.7 Sebaliknya, putusan dari Pengadilan Agama (PA), seperti PA Manokwari atau PA Masohi, secara eksklusif ditujukan bagi pemohon yang beragama Islam.7 Adanya dua jalur peradilan ini menyoroti sistem hukum ganda dalam hukum keluarga di Indonesia, yang mengakui dan memfasilitasi kebutuhan hukum spesifik berdasarkan agama yang dianut oleh warga negaranya.


1.3 Kerangka Regulasi Kunci: Analisis UU No. 1/1974 dan Peraturan Pemerintah No. 29/2019


Analisis yang lebih mendalam terhadap peraturan perundang-undangan mengungkapkan dasar hukum yang kokoh bagi praktik ini. Pasal 50 UUP secara eksplisit menyatakan bahwa anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.2 Wali ini bertugas mengurus pribadi dan harta benda anak tersebut hingga ia dewasa.

Namun, legislasi yang paling penting dan modern dalam konteks ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.2 Peraturan ini merupakan langkah signifikan pemerintah untuk menstandardisasi dan memformalkan proses perwalian, mengubahnya dari penilaian yudisial yang mungkin bervariasi menjadi evaluasi berbasis kriteria yang jelas. Sebelum adanya PP ini, pertimbangan hakim mungkin lebih banyak bergantung pada prinsip-prinsip umum dalam UUP dan KHI. Kini, PP 29/2019 memberikan daftar periksa yang konkret bagi hakim dan pemohon.

Menurut peraturan ini, seorang calon wali harus memenuhi serangkaian persyaratan yang ketat, antara lain:

  • Warga negara Indonesia yang berdomisili tetap di Indonesia.

  • Berumur paling rendah 30 tahun.

  • Sehat fisik dan mental.

  • Berkelakuan baik.

  • Mampu secara ekonomi.

  • Beragama sama dengan agama yang dianut anak.

  • Mendapat persetujuan tertulis dari suami/istri bagi yang sudah menikah.

  • Membuat pernyataan tertulis bersedia menjadi wali dan tidak pernah atau tidak akan melakukan kekerasan, eksploitasi, atau penelantaran terhadap anak.10

Pemberlakuan PP 29/2019 memiliki efek langsung pada proses peradilan. Bagi pemohon, peraturan ini memberikan panduan yang jelas tentang apa yang harus mereka buktikan di pengadilan. Bagi hakim, peraturan ini menyediakan dasar hukum yang kuat dan seragam untuk pertimbangan hukum mereka. Secara lebih luas, ini menandakan pergeseran menuju kerangka perlindungan anak yang lebih kuat dalam proses perwalian, memastikan bahwa siapa pun yang ditunjuk sebagai wali telah diperiksa secara menyeluruh terhadap standar nasional.