Rabu, 26 Oktober 2011

Peran Sarjana Azhar bagi Dunia Islam




Oleh : Muhammad Rakhmat Alam
Perjalanan al-Azhar dalam bentang sejarah sangat menarik untuk ditelusuri. Sejak dibangun pertama kali pada 29 jumada Al Ula 359 H. (970 M.)  oleh panglima Jauhar Ash shiqilli, kemudian dibuka resmi pada 7 Ramadhan 361 H , institusi besar yang mulanya sebuah Masjid ini bagai tak pernah lelah membidani kelahiran para ulama dan cendekiawan Muslim. Sampai detik ini, al-Azhar merupakan pusat sumber referensi orisinal Islam yang terus diminati para penuntut ilmu dari seluruh penjuru dunia. Dari institusi inilah muncul sarjana-sarjana muslim yang bertakwa, berilmu, dan menyebarkan dakwah Islam dengan ilmu, cara yang benar dan penuh hikmah.

Cita-cita al-Azhar

Sebelum membicarakan peran sarjana al-Azhar, hal fundamental pertama yang wajib diketahui seluruh penuntut ilmu atau mahasiswa yang sedang bergelut dengan ilmu di al-Azhar adalah apakah tujuan didirikannya universitas al-Azhar itu sendiri. Syekh Sayyid Usamah al-Azhari dalam acara talk show di Rumah Gadang (sekretariat KMM Mesir) mengatakan, bahwa al-Azhar berdiri untuk mencetak seorang u‘bad (yang taat beribadah), ulama’ (yang berilmu), dan da’I (yang berdakwah di jalan Allah). Cita-cita al-Azhar adalah perpanjangan tangan dari cita-cita Nabi Muhammad SAW dan para ulama salaf as-Shalih. Itulah tiga cita-cita Azhar yang sekaligus menjadi karakter ideal mahasiswa dan sarjana Azhar. Itulah cita-cita Azhar yang harus kita hujamkan dalam hati kita bahwa kedatangan kita ke sana adalah untuk mewujudkan cita-cita Azhar tersebut. Tidak hanya cukup ilmu di kepala atau ketaatan pribadi, tapi lebih dari itu, andil dalam menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin ke tengah-tengah masyarakat. Dari cita-cita mulia inilah tiap abad selalu lahir para ulama-ulama rabbani yang terus menyebarkan Islam, mengibarkan bendera Islam ke seluruh dunia dengan hati yang ikhlas mengharap ridha Allah SWT. Ulama-ulama yang lahir dari rahim Azhar terus mewarnai dunia dan memberikan peranan serta menjadi poros penting bagi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam hingga saat  ini.

Peran Azhar dan Sarjana Azhar terhadap Islam
Berbicara peran sarjana Azhar berarti berbicara peran Azhar. Azhar besar karena sarjana Azhar, sarjana Azhar tercipta karena Azhar, keduanya tidak dapat dipisahkan. Tak ada satu pun yang berani mengingkari peran Azhar dan sarjana Azhar dalam memperjuangkan Islam. Perjuangan Azhar dan sarjana Azhar terhadap Islam terkonsentrasi dalam tiga poin. Poin pertama adalah dalam menyebarkan Ilmu dan manhaj Islam yang benar. Poin kedua adalah jihad menentang kezaliman. Poin ketiga adalah menyatukan umat dan merehabilitasi pemikiran menyimpang.

1. Peran Azhar dan sarjana Azhar dalam penyebaran al-‘ulum asy-syar’iyyah.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, hal kedua yang paling difokuskan para sahabat selain memilih khalifah adalah mengumpulkan ilmu-ilmu, hadits dan perkataan Rasulullah SAW dari para sahabat Rasulullah SAW. Para sahabat kemudian mengajarkannya kepada generasi selanjutnya, para tabi’in. Para tabi’in belajar face to face secara frontal kepada sahabat demi mendapatkan ilmu yang orisinal dari Rasulullah SAW. Dan itu berlanjut sampai tabi’ tabi’in dan seterusnya hingga terciptalah rantai keilmuan yang kuat yang dikenal dengan istilah sanad hingga Rasulullah SAW.  Sanad inilah yang dipegang kuat-kuat oleh al-Azhar dalam menyebarkan berbagai cabang ilmu keislaman, dalam ilmu lughah, ilmu hadits, ilmu fikih, ilmu tafsir dan aqidah agar tidak terjadi penyimpangan. Maka tak heran hingga saat ini Azhar tetap menjadi central dan sumber ilmu Islam yang orisinal, begitu juga sarjana Azhar tetap menjadi acuan dalam berbagai fatwa kontemporer hukum Islam, menjadi referensi utama umat Islam. Tak terhitung sarjana-sarjana Azhar dari dahulu hingga sekarang yang telah memberikan kontribusi konkret untuk Islam, mereka tersebar luas di berbagai belahan dunia hingga sudut-sudut daerah terpencil sekali pun.

Risalah penyebaran Islam dan ilmu keislaman Azhar merupakan perpindahan tongkat estafet dari mesjid Amru bin ‘Ash, mesjid pertama yang dibangun di Afrika oleh sahabat Nabi SAW. Di mesjid inilah awal mula proses pentransferan ilmu dari sahabat Rasulullah SAW kepada penduduk Mesir yang kemudian proses tersebut beralih ke mesjid al-Azhar dan dijaga hingga mati sampai sekarang. Inilah warisan Nabi SAW. yang terus dilestarikan oleh Azhar dan para Azhariyyun, dan sangat rugi tujuh turunan jika orang yang sudah jauh-jauh merantau melewati samudra dan benua datang ke Mesir tidak pernah menghadiri majlis-majlis ilmu tersebut. Dan, belum sempurna keazharianan penuntut ilmu jika tak satu pun mendapatkan sanad keilmuan yang sampai hingga Rasulullah SAW.

Adapun sarjana Azhar yang menjadi bintang dalam penyebaran al-‘ulum asy-syar’iyyah diantaranya adalah Ibnu khaldun (bapak sejarah Islam), al-Imam al-Hafidz as-Suyuthi (mujtahid mazhab Syafi’i),  al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani (muhaddits dan pengarang kitab Fathul Baari), al-Hafidz as-Sakhawi (muhaddits dari mazhab Syafi’i)  al-Imam Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Rasyid Ridha (pengarang tafsir al-Manar), dan Syekh Yusuf al-Qaradhawi (ketua ulama internasional). Tak dikeragui lagi nama-nama diatas adalah diantara sekian banyak bintang yang telah memberikan sumbangsih dalam penstranferan ilmu syar’I, karya-karya mereka dalam berbagai bidang cabang keilmuan Islam hingga kini selalu menjadi referensi diberbagai universitas Islam di dunia.

2. Peran Azhar dan sarjana Azhar dalam jihad melawan kezaliman.
Selain aktif menyebarkan dan mengembangkan keilmuan Islam, Azhar dan sarjana Azhar juga sangat aktif dalam melakukan jihad di jalan Allah menentang segala bentuk kezaliman. Sarjana Azhar tidak hanya dikenal dengan intelektual atau kekuatan fikriyah saja, sarjana Azhar juga terkenal dengan kekuatan jasadiyah atau jasmaniyah. Tak sedikit mujahid-mujahid besutan Azhar yang berjihad dalam memperjuangkan keadilan dan Islam. Contoh konkret peran para mahasiswa, sarjana dan ulama Azhar dalam skala nasional ialah mengusir penjajah dari Negara Mesir. Mereka juga yang menjadi ujung tombak dalam revolusi di Negara Mesir baik pada tahun 1919 yang dipimpin oleh Sa’ad  Zaghlul, revolusi pada tahun 1952, dan terakhir revolusi 2011 tahun ini yang menumbangkan pemerintahan Husni Mubarak.
Sedangkan contoh konkret dalam sakala internasional adalah ketika Syeikh al-Azhar Mustafa al-Maraghi bersama Ulama dan mahasiswa Azhar pada tahun 1929 menyuarakan untuk menolong tanah Palestine dari ancaman Zionis dan mengecam Britania yang mendukung gerakan zionis, saat itu bersamaan dengan peristiwa Revolusi Buraq -Buraq merupakan sebuah tembok tempat Nabi SAW mengikat Buraq ketika Isra’ Mi’raj, orang yahudi mengklaim bahwa dibawah tembok tersebut terdapat batu besar yang mengembalikan sejarahnya pada masa lampau, yaiu runtuhan kuil Solomon, mereka meratapi tembok tersebut dan menangisi kehancurannya-.
Selain itu tercatat dalam sejarah beberapa sarjana Azhar yang menjadi bintang jihad di bumi Palestina, diantara mereka adalah  : 1. Muhammad Amin al-Husaini, lahir di Quds 1897, selesai ibtidai ia melanjutkan studi di al-Azhar, berguru kepada Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha. Setamat Azhar, beliau bergabung dengan tentara Turki dan gerakan Negara Palestina, beliau ikut menyaksikan kemenangan Arab pada perang 1973 M dan wafat pada tahun 1974 M. 2. Syekh Izzuddin al-Qassam, mujahid berkebangsaan Suriah lahir di Palestina, pergi  Mesir untuk menimba ilmu di al-Azhar, kemudian kembali ke Suriah bergabung dengan gerakan perlawanan melawan Perancis. Mendengar Inggris akan membuat sebuah Negara di Palestina, ia kemudian pergi berjihad ke Palestina menentang Inggris dan syahid di salah satu medan tempur ketika perang melawan Inggris.
Al-Azhar dan para ulama Ulama Azhar juga tak henti-hentinya menyuarakan jihad di jalan Allah dengan dengan raga atau harta. Azhar juga menguarkan fatwa bahwa pembebasan Palestina adalah wajib secara agama atas seluruh kaum muslimin, Azhar juga menyerukan kepada kaum muslimin untuk memberikan nafkah kepada anak-anak Palestina.

3. Peran Azhar dan sarjana Azhar dalam menyatukan umat dan merehabilitasi pemikiran menyimpang.
Sejak berdirinya, al-Azhar telah berusaha untuk menyatukan umat muslim dan meninggalkan perpecahan. Sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 103 “dan berpegangteguhlah kamu semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai”. Al-Azhar dan sarjana Azhar selalu mengikuti jalan para salaf as-Shalih, tidak mudah menghina apalagi mengkafirkan sesama muslim. Mereka lebih melihat persamaan dari pada perbedaan, toleransi dalam hal-hal yang masih ikhtilaf dan saling menolong dalam hal yang telah disepakati. Hal ini terlihat jelas dulu ketika para ulama dari masing-masing mazhab yang mu’tabar duduk bersama-sama dalam memilih syaikhul Azhar. Begitu juga mereka bersama-sama memberikan durus dalam satu Mesjid dan satu universitas walau dengan mazhab yang berbeda. Mereka lebih mendahulukan husnuzhan dari pada su’uzhan terhadap orang lain yang berbeda. Ini lah yang diajarkan Azhar dan yang telah dipraktekkan para sarjana Azhar.

Namun kini, api fitnah mudah sekali terbakar, orang dengan mudahnya menghina dan mengkafirkan orang lain tanpa ilmu, tanpa ada tabayyun dan tatap muka atau pun dialog bersama. Zaman sekarang semakin banyak orang bodoh yang mengaku ‘alim. Tak sedikit sarjana Azhar yang dulu ketika kuliah kerjanya hanya tiduran, banyak bermain, sibuk organisasi yang tidak berbasis keilmuan, jarang datang ke kuliah apalagi talaqqi, namun setelah pulang ke kampungnya, mereka hanya menebar api fitnah, sembarang dalam berfatwa, keilmuan mereka cacat, tapi berlagak orang paling berilmu.

Selain peran Azhar dan sarjananya dalam menyatukan umat. Mereka juga memainkan peran dalam merehabilitasi pemikiran dan aliran yang menyimpang. Mereka juga aktif menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan syubhat yang memicu perpecahan dan memojokkan Islam. Ini terlihat jelas dari berbagai karya dan buku-buku yang mereka tuliskan dalam menjawab berbagai problematika tersebut. Sarjana Azhar tak henti-hentinya mengkritik dan membasmi tuntas berbagai aliran pemikiran yang sesat dan menyimpang dalam permasalahan akidah, fikih dan filsafat serta meluruskan berbagai distorsi sejarah oleh kaum orientalis terhadap Islam.

Itulah sekelumit peran Azhar dan sarjana Azhar dalam membela agama Allah, dalam memperjuangkan keadilan dan yang haq. Itulah tiga poin yang harus dipegang oleh para sarjana Azhar ketika pulang ke kampung halaman mereka, tetap mengisi diri mereka dengan ilmu dan menyebarkan ilmu yang telah mereka pelajari, selalu menjaga adab-adab Islami, membenci kemaksiatan dan menentang segala bentuk kezaliman namun dengan cara yang bijak dan penuh hikmah. Dan, membenahi umat dari berbagai mainstream (aliran) yang menyimpang dan nyeleneh. Kehadiran sarjana Azhar haruslah menjadi obat di tengah kehidupan masyarakat yang semakin sakit, menjadi air penawar haus dahaga, bukan menjadi api penyulut fitnah yang meresahkan umat. Dimana pun sarjana Azhar berdiri, apakah di dunia bisnis, politik, akademis dan lainya, tetaplah satu yang dicari, keridhaan Ilahi. Wallahu a’lam.






Senin, 10 Oktober 2011

Samakah Revolusi dengan Bughat?



Di akhir tahun 2010, dunia dihebohkan dengan revolusi, dunia Arab dihempas badai revolusi yang hingga kini badai revolusi itu belum juga bertemu titik akhirnya. Bermula dari Tunisia, kemudian Mesir, Libia, hingga Bahrain dan Syiria, revolusi telah menyita perhatian seluruh penjuru dunia dan menjadi topic hangat yang terus diperbincangkan serta diperdebatkan. Banyak silang pendapat, pro dan kontra dari berbagai kalangan mengenai revolusi. Pecahnya revolusi di jazirah Arab telah mengangkat sejumlah pertanyaan penting seputar legalitasnya. Ada yang menimbangnya berdasarkan undang-undang Negara, ada yang menimbang dengan pandangan agama. Namun penulis di sini insya Allah akan mengupas dan menimbang bagaimanakah status legalitas (masyru’iyah) revolusi dalam Islam? Revolusi seperti apakah yang dibolehkan Islam? Apakah revolusi sama dengan bughat? Apakah batas sehingga pemimpin atau pemerintah boleh dijatuhkan atau kita boleh tidak mentaatinya? Hal ini sangat sensitive, mengingat ada beberapa ulama yang mengharamkan revolusi karena menjatuhkan pemerintah yang sah sama dengan menentangnya dan memeranginya, bahkan para aktivis revolusi wajib diperangi karena mereka tak ubahnya seperti kaum khawarij yang keluar dari barisan pemerintah Islam pada zaman pemerintahan Ali bin abi Thalib ra. Sebelum mengupas lebih dalam, kita harus mengetahui apa itu defenisi revolusi? Bagaimana latar belakang terjadinya suatu revolusi.


Definisi Revolusi dan latar belakang terjadinya revolusi


Dalam teori ilmu hukum, secara umum revolusi merupakan bentuk penentangan mayoritas rakyat dari ketaatan terhadap pemimpin atau pemerintah dikarenakan beberapa sebab. Adapun secara terminologi, revolusi merupakan perubahan besar-besaran yang berlangsung mufaja’ah atau tiba-tiba dalam system politik, ekonomi, dan sosial yang dianut dalam masyarakat atau Negara tertentu.[1]

Dari definisi global dan khusus teori ilmu hukum di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa revolusi merupakan sebuah harakah as-Syu’b (gerakan rakyat) yang datang dengan tiba-tiba disebabkan oleh pelbagai problematika yang telah kompleks atas kezaliman pemerintah demi sebuah perubahan fundamental dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi kearah yang lebih baik sebagaimana yang rakyat cita-citakan. Hal ini logis, karena rakyat lah yang terlebih dahulu ada sebelum terbentuknya suatu Negara dan pemerintahan. Rakyat pula lah yang membentuk pemerintahan suatu Negara, maka jika terjadi suatu ketidakadilan dan kezaliman dalam tubuh pemerintah yang sudah tidak bisa dikompromikan lagi, hak-hak rakyat pun sudah dikebiri, rakyatlah yang langsung bertindak menurunkan mereka dengan cara revolusi. Tsauroh atau revolusi berbeda dengan inqilab (kudeta), kudeta muncul dari oknum atau bagian pemerintah itu sendiri seperti kudeta yang terjadi di Negara Libya oleh Muammar Qadhafi terhadap raja Idris.


Secara teori hukum, revolusi merupakan satu dari dua cara untuk melakukan amandemen dustur (undang-undang) selain melalui lembaga peradilan. Revolusi merupakan cara yang tidak lazim yang biasanya terjadi pada pemerintahan yang diktator, dan ini merupakan yang sering dipakai hampir di seluruh Negara semisal Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917, Revolusi Jerman 1918-1923, Revolusi Spanyol tahun 1936, Revolusi Hongaria tahun 1919 dan 1956, Revolusi Cina 1925-1927, Revolusi Portugal tahun 1974, dan penggulingan Shah Iran tahun 1979.


Status legalitas revolusi dalam syari’at?


Membaca definisi diatas atau melihat gerakan revolusi secara real di lapangan, kita akan mendapati beberapa kalangan berpendapat bahwa revolusi merupakan tindakan anarkis yang membawa mudharat, melawan pemimpin yang sah, mengacaukan stabilitas kemanan dan perekonomian. Mereka mengatakan revolusi tak lain adalah bughat, mereka mengharamkannya secara mutlak. Gerakan revolusi selalu diringi dengan tindakan dalam bentuk ihtijaj (protes) dan tazhaharat (demonstrasi), dan tindakan protes serta demonstrasi adakalanya dengan cara-cara salimah (baik dan damai) adakalanya dengan cara anarkis dan brutal.


Di dalam literature Islam, tindakan memberontak, melawan pemimpin atau pemerintah yang sah, tidak mentaatinya dan tidak melakukan yang seharusnya mereka tunaikan pada imam atau pemimpin dinamakan bughat atau  al-Khuruj[2]. Dalam kitab al-Ayat al-Ahkam juz 2, bughat didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak menaati pemerintahan yang adil. Karena itu al-Imam al-‘Alamah Ibn al-‘Abidin rahimahullah –ulama dan fuqaha’ hanafiyah-berpendapat orang yang menentang pemerintah dengan cara yang hak karena mereka dizalimi bukanlah termasuk kategori bughat[3]. Hal ini didukung oleh ulama kontemporer saat ini semisal Syekh Yusuf al-Qardhawy, beliau mengatakan bahwa menentang pemerintah zalim, pemimpin dictator dengan cara protes atau demonstrasi yang baik dan damai tanpa dilengkapi senjata atau pun dengan senjata demi difa’ asy-Syar’I (pembeleaan diri) tidaklah dilarang. Dalam al-Qur’an dijelaskan: ( وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ ), “dan (bagi) orang-orang yang diperlakukan dengan zalim mereka membela diri”{asy-Syura:48). Qardhawy pun menfatwakan bahwa muslim yang mati ketika revolusi di Mesir demi menuntut atas kezhaliman terhadap dirinya nya sebagai syahid. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang dibunuh karena menuntut atas kedzaliman terhadap dirinya, maka ia syahid”. (Hadits riwayat an-Nasai juz 13 hal 55 no: 4113).


Dari beberapa pendapat ulama dan dalil di atas, jelaslah bahwa untuk konteks sekarang, revolusi untuk menjatuhkan pemerintahan zalim dan merubah system pemerintahan yang tidak adil dengan cara yang baik dan damai adalah memiliki status legalitas dalam syari’at, revolusi adalah rahmat. Karena revolusi adalah usaha darurat untuk merubah suatu hal yang buruk menjadi lebih baik, memutihkan sendi-sendi pokok Negara yang sudah menghitam, usaha darurat untuk menghilangkan segala kezaliman, kediktatoran  pemerintah terhadap rakyat, walau pun revolusi harus melakukan tindakan sedikit anarkis, karena tindakan anarkis seperti membakar gedung pemerintah yang terlarang tidak sebanding dengan kezaliman yang dilakukan pemimpin terhadap rakyat. Dalam qa’idah ushuliyah dijelaskan :  (الضرورات تبيح المحظورات), “darurat itu membolehkan hal yang terlarang”,  (الضرر يزال ) ,“mudarat itu harus dihilangkan”, (تقدم المصلحة الكبيرة على المصلحة الصغيرة، وتقدم مصلحة الأمة على مصلحة الفرد), “maslahat yang besar didahulukan dari pada maslahat yang kecil dan maslahat jamaah didahulukan dari maslahat individu.” Akan tetapi, apakah batasan atau ukuran sehingga pemimpin dan sebuah pemerintahan boleh direvolusi? Syekh Yusuf Qardhawy mengatakan bahwa pemimpin yang harus ditaati adalah pemimpin yang dipilih dengan bebas dan jujur oleh rakyat, rakyat meridhoinya, ia adalah seorang muslim dan iltizam terhadap Islam, tidak melarang berbagai kegiatan dakwah Islam, amanah dan lain-lain. Sedangkan pemimpin yang tidak harus ditaati adalah pemimpin yang tidak dipilih karena keridhoan rakyat, mayoritas rakyat tidak menginginkannya, ia memaksakan dirinya sendiri sebagai pemimpin dengan berbagai kecurangan, menghambat dakwah Islam, mencuri dan mengumpulkan uang rakyat untuk diri sendiri dan keluarganya dan kalangan tertentu sehingga kemiskinan merajalela, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya yang rasanya sulit untuk dimaafkan. Jika pemimpin itu selama masa pemerintahannya telah banyak membunuh rakyat dengan cara yang tidak hak, maka wajib dihukum qishas. Wallahu a’lam wa a’la

 *Penulis adalah mahasiswa universitas al-Azhar, anggota senat Fakultas Syari'ah wal Qonun dan pimred buletin Mitra.


[1] . DR. Bakar Ahmad Raghib Asy-Syafi’I, al-Qonun ad-Dusturi, (Kairo: 2011), hal.91

[2] . al-Imam ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), VIII/382.

[3] . al-Imam Ibn al-‘Abidin, rad al-Muhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar,  (Beirut: Dar al-kutub ‘Ilmiyah, 1992), II.