Senin, 31 Juli 2017

Hukum Penggunaan Dana Haji oleh Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur Dalam Fikih Islam



Bagaimana status penggunaan dana haji oleh Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur atau lainnya dalam fikih Islam?
Jawab:
Pada dasarnya, penyelenggara haji sebenarnya adalah kerajaan Saudi, karena kerajaan Saudi memilik Maktab-maktab atau kantor khusus menyelenggarakan ibadah haji, maktab2 ini lah yg mengatur kedatangan jemaah dan kepulangan jemaah haji, menyediakan Catering makanan, mengatur dan menyediakan tempat ketika hari ARMINA, menyediakan transportasi sholawat, mengurus kematian jemaah, mengurus kesehatan jemaah yg terkena sakit parah dll.

Adapun penyelenggaraan ibadah haji dari Pemerintah Indonesia lebih sebagai pembantu ,pelengkap, penghubung, dan pengontrol atas kinerja Maktab-Maktab dari kerajaan Saudi tersebut apakah sudah sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian yg telah disepekati sebelumnya antara kerajaan Saudi dgn Pemerintah Indonesia. Namun, peran petugas haji dari Pemerintah sangat membantu terselenggaranya haji dengan baik, aman, teratur dan tertib.

Posisi Pemerintah dalam Pelaksanaan Ibadah Haji?
Kerajaan Saudi telah memberikan otoritas atas jumlah kuota jemaah haji kepada Pemerintah setiap negara di dunia, termasuk di dalamnya Pemerintah Indonesia.
Dengan begitu hak kuota jemaah haji sudah menjadi hak milik Pemerintah. Jadi di sini status Pemerintah Indonesia adalah sebagai pihak penyelenggara/pelaksana/penyedia layanan Ibadah Haji dengan kata lain sebagai penjual layanan dan jasa untuk pelaksanaan ibadah haji.

Posisi Jemaah Haji Indonesia?
Selanjutnya, bagaimana dengan posisi calon jemaah haji Indonesia? Sangat jelas, jemaah haji Indonesia adalah pihak yang membeli atau pengguna layanan/service haji dari Pemerintah Indonesia.
Dari status masing-masing di atas, kita ketahui bahwa Pemerintah adalah pihak yg menjual atau memberikan jasa layanan ibadah haji kepada jemaah, dan jemaah sebagai pihak pengguna atau pembeli jasa layanan ibadah haji dari Pemerintah.

Jika sudah diketahui status atau posisi masing-masing pihak, lalu bagaimana jika salah satu pihak dalam hal ini pihak penyedia layanan & jasa Ibadah haji dalam hal ini Pemerintah Indonesia menggunakan dana untuk ibadah haji yang telah disetor oleh calon jemaah haji?

Dalam fikih Islam, uang bayaran (tsaman) yang telah dibayar atau disetor kepada pihak penjual oleh pihak pembeli maka uang tersebut menjadi milik penjual, sekalipun barang atau jasa nya belum diberikan kepada pembeli (barang & jasa) atau diberikan pada waktu akan datang.
Dengan begitu, uang bayaran atau uang setoran yg telah dibayar di muka telah menjadi hak milik penjual, dan penjual tersebut diperbolehkan menggunakan uang milik nya untuk apa saja. Meski begitu, penjual tetap memiliki tanggungan dan kewajiban hutang untuk memberikan barang dan jasa di masa akan datang kepada pembeli yg telah membayar di awal.

Jadi kesimpulannya secara fikih Islam, bahwa pemerintah sebagai penjual jasa layanan ibadah haji diperbolehkan menggunakan dana haji calon jemaah haji untuk investasi pembangunan infrastruktur atau pun untuk yg lainnya, karena ketika uang calon jemaah sudah disetorkan maka itu menjadi milik Pemerintah sekalipun jasa layanan haji tsb belum diberikan atau akan diberikan pada waktu yg akan datang. Meski begitu, Pemerintah Indonesia tetap memiliki tanggungan dan kewajiban untuk memberikan layanan kepada calon jemaah haji di waktu yg akan datang & telah ditentukan.

Dalam fikih Islam akad ini dinamakan akad ijaroh mausufah bi dzimmah (akad jual jasa/manfaat atas suatu yg sudah ditentukan (layanan haji), tapi masih dalam tanggungan (karena pemberian jasanya di masa yg akan datang). Atau akad jual jasa yang diberikan di masa datang namun upah/fee nya sudah dibayarkan di muka.

Dan sebagian besar ulama membolehkan akad ijaroh mausufah bi dzimmah.
Di antara ulama yang membolehkan pembayaran fee/upah/ujroh secara tangguh/kredit/angsuran adalah Syekh Prof. Dr. Abdu Satar Abu Ghuddah], Syekh Dr. Nazih Hammad[], Dr. Ali al-Qaradaghi[], dan Lembaga Akuntan dan Audit untuk Institusi Keuangan Islam[AAOIFI], dengan syarat dalam akad atau kontrak tidak menggunakan lafadz atau kata “salam” seperti ‫"‬aslamtuka‫"‬ ‫(أسلمتك)‬, akan tetapi menggunakan kata ajjartuka (‫أجرتك‬). Pendapat yang membolehkan dengan syarat tidak menggunakan lafadz salam ini mengikuti dan mengambil pendapat yang rajih/kuat dalam mazhab Hanbali yang membolehkan IMFZ dengan pembayaran fee secara tangguh atau angsuran dengan lafadz selain salam. Selain itu juga mengambil pendapat muqabil ashah dari mazhab Syafi’i.

-Teks dalam mazhab Hanbali dalam kitab “Syarh Muntaha al-Iradat” oleh Mansur ibn Yunus ibn Salahuddin al-Bahuti al-Hanbali (1052H/1642):
‎‫شرح منتهى الإرادات: 2/252): "(وَإِنْ جَرَتْ) إجَارَةٌ عَلَى مَوْصُوفٍ بِذِمَّةٍ (بِلَفْظِ) سَلَمٍ كَ أَسْلَمْتُك هَذَا الدِّينَارَ فِي مَنْفَعَةِ عَبْدٍ صِفَتُهُ كَذَا وَكَذَا لِبِنَاءِ حَائِطٍ مَثَلًا وَقَبِلَ الْمُؤَجِّرُ (اُعْتُبِرَ قَبْضُ أُجْرَةٍ بِمَجْلِسِ) عَقْدٍ لِئَلَّا يَصِحَّ بَيْعُ دَيْنٍ بِدَيْنٍ (وَ) اُعْتُبِرَ (تَأْجِيلُ نَفْعٍ) إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ كَالسَّلَمِ فَدَلَّ أَنَّ السَّلَمَ يَكُونُ فِي الْمَنَافِعِ كَالْأَعْيَانِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ بِلَفْظِ سَلَمٍ وَلَا سَلَفَ لَمْ يُعْتَبَرْ ذَلِكَ‬.‫ "‬

-Teks dalam mazhab Syafi’I dalam kitab “Fath al-‘Aziz syarh kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali” oleh Imam Abu Qasim ar-Rafi’i:
‎‫(فتح العزيز 12/204-206): "(النوع الثاني) الاجارة الواردة على الذمة فلا يجوز فيها تأجيل الاجرة والاستبدال عنها ولا الحوالة بها ولا عليها ولا الإبراء بل يجب التسليم في المجلس كرأس المال السلم لأنه سلم في المنافع وان كانت الأجرة مشاهدة غير معلومة القدر فهي على القولين في رأس مال السلم ولا يجئ ههنا الطريق الاخر * هذا إذا تعاقدا بلفظ السلم بأن قال أسلمت إليك هذا لدينار في دابة تحملني إلى موضع كذا فان تعاقدا بلفظ الاجارة بأن قال: استأجرت منك دابة صفتها كذا لتحملني إلى موضع كذا فوجهان بنوهما على أن الاعتبار باللفظ أم بالمعنى (أصحهما) عند العراقيين والشيخ أبى علي أن الحكم كما لو تعاقدا بلفظ السلم لأنه سلم في المعنى وتابعهم صاحب التهذيب على اختيار هذا الوجه"