Sabtu, 20 Desember 2014

WAKAF dalam Fikih Islam dan Hukum Wakaf Uang Tunai


 WAKAF dalam Fikih Islam dan Hukum Wakaf Uang Tunai

(Moh. Rakhmat Alam)

Pendahuluan

Islam merupakan agama yang hidup dan  agama yang sempurna. Agama Islam tidak hanya memperhatikan aspek hubungan manusia dengan pencipta, tapi juga hubungan terhadap sesama manusia. Hal tersebut tercermin dalam ajaran dan risalah yang dibawa oleh Islam, di antaranya adalah adanya dorongan Islam kepada muslim untuk mewakafkan sesuatu barang untuk umat atau saudaranya, agar barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh publik. Wakaf merupakan istrumen ekonomi umat Islam dan telah menjadi ikon perkembangan dan kemajuan Islam di masa-masa kekhalifahan bahkan sampai saat ini khususnya di Negara-negara Arab. Namun, di negara-negara berpenduduk  mayoritas muslim selain Arab seperti di Asia, perkembangan wakaf sangat sedikit, pemberdayaan wakaf juga sangat memprihatinkan dan belum optimal. Hal ini disebabkan karena masih banyak muslim yang belum mengenal dengan baik dan benar apa subtansi wakaf dan tujuannya, begitu juga tak sedikit yang masih blank tentang ketentuan, dan syarat wakaf, jenis-jenis wakaf, fungsi wakaf serta tata cara dan pengelolaannya, apa saja barang atau benda yang bisa diwakafkan.

Berlatar belakang tersebut saya akan menjelaskan secara singkat konsep  wakaf dimulai dari definisinya, kemudian dalil pensyariatan wakaf, rukun, ketentuan  dan syarat wakaf, fungus wakaf serta menjelaskan mengenai  wakaf dengan uang (bank wakaf) yang saat ini menjadi trend masalah fikih kontemporer.

A.      Definisi Wakaf

Secara bahasa wakaf merupakan kata serapan bahasa arab yaitu al-waqf, kata tunggal dari kata al-awqaf, yang memiliki arti menahan (al-habs), mencegah (al-man’u) dan berhenti (as-saknu).[1]   

Secara istilah fikih (syafi’iah) wakaf adalah penahanan harta yang dapat dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan barang tersebut, untuk digunakan dalam hal-hal yang dibolehkan (secara syariat), dan pewakaf tidak berhak dalam ikut serta pengelolaan hartanya.  [2]

B.      Landasan Pensyariatan Wakaf

1.       Alquran

لن تنالوا الير حتى تنفقوا مما تحبون  وما تنفقوا من شيء فان الله به عليم.

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S Ali Imran: 92)

2.       Sunah

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمر فيها فقال: يارسول الله أصبت أرضا بخيبر لم أصب مضالا قط هو أنفس عندي منه فما تأمرني به. فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم, إن شْئت حبست أصلها وتصدقت بها فتصدق بها عمر, أنها لاتباع ولاتوهب ولاتورث. قال وتصدق بها فى الفقراء وفى القربى وفى الرقاب وفى سبيل الله وابن السبيل والضيف لاجناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول مالا(متفق عليه) واللفظ لمسلم وفي رواية للبخاري: تصدق بأصلها لايباع ولايوهب ولكن ينفق ثمره.

Artinya Dari Ibnu Umar RA. berkata, bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau suka, kau tahan tanah itu dan engkau shodaqohkan. Kemudian Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (Muttafaq ‘Alaih) susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfakkan hasilnya. (H.R Muslim)

3.       Konsesus Ulama

Seluruh ulama sepakat bahwa wakaf disunahkan dan dianjurkan dalam syariat Islam, berdasarkan amalan Rasulullah saw.  dan para sahabat dan tak ada yang mengingkarinya.

C.      Rukun dan Syarat Wakaf

Menurut  fiqih wakaf  dinyatakan  sah  apabila  semua  rukun  dan  syaratnya  terpenuhi  secara  lengkap.  Rukun  (unsur-unsur  yang  membentuk)  wakaf  terdiri  atas:  orang  yang  berwakaf  (waqif),  harta  yang  diwakafkan  (al-mauquf),  penerima  wakaf  (al-mauquf  ‘alaih),  dan  akad  atau  pernyataan  berwakaf  (‘aqd  al-waqf  aw  shigat  al-waqf)  dari  orang  yang  berwakaf. Keempat rukun ini, masing-masing memilikisyarat-syarat.

Orang  yang  berwakaf  harus  mempunyai  kecakapan  bertindak  secara  hukum  Islam, yaitu  dewasa,  sehat  akalnya,  tidak  dibatasi  hak  penguasaannya  atas  hartanya  (ghair  mahjur ‘alaih),  dan  memiliki  harta  yang  hendak  diwakafkannya.  Adapun  benda  yang  diwakafkan harus berwujud barang  yang sah diperjualbelikan, dimilki sepenuhnya oleh  waqif  pada saat  wakaf  dilaksanakan,  bermanfaat,  dan  substansinya  tetap  (baqa`u  ‘ainihi),  dikatakan  dengan jelas jenis, jumlah dan batasnya. Pernyataan wakaf dari waqif harus tegas dan jelas tujuannya, tidak  dibatasi  oleh  waktu,  dan  tidak  dipertautkan  dengan  suatu  syarat  (kepentingan) yang dilarang secara syariat. Sedangkan  penerima  wakaf  dapat  berupa  perorangan,  kelompok  orang  dan  badan  atau lembaga harus disebutkan secara jelas di dalam pernyataan wakaf.

D.      Macam-Macam Wakaf dan Objeknya[3]

1.  Wakaf ditinjau dari pewakafnya ada dua macam:

a.  Wakaf  Khairi,  yaitu : Wakaf ini sejak semula diperuntukan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum (orang banyak), sekalipun dalam jangka waktu tertentu dan  setelahnya  menjadikan  pewakafan  itu  kepada  pribadi  tertentu  atau  orang tertentu. Seperti mewakafkan tanah untuk  membangun masjid, rumah Sakit dan sekolah. Wakaf umum inilah yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk  menafkahkan  sebagian  kekayaan  umat  Islam  untuk  kepentingan  umum yang  lebih  besar  dan  mempunyai  nilai  pahala  jariyah  yang  tinggi.  Artinya meskipun pewakaf telah meninggal dunia, ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang  benda  yang  diwakafkan  tersebut  tetap  dipergunakan  untuk kepentingan umum.

b.  Wakaf  Ahli  (Wakaf  Dzurri), yaitu : Wakaf ini sejak semula ditentukan kepada pribadi  tertentu  atau  sejumlah  orang  tertentu sekalipun  pada  akhirnya  untuk kemaslahatan  atau  kepentingan  umum.  Seperti  mewakafkan  sesuatu  atas  nama pribadi, anak keluarga, lingkungan kerabat sendiri.

2.  Wakaf ditinjau dari objeknya terdiri dua bentuk:

a.  Harta tidak bergerak adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan dari tempat aslinya ketempat yang lain. Pada asalnya harta statistis berbentuk tanah, baik tanah itu sudah dibangun atau belum.  Contohnya: Tanah, rumah, sumur, masjid, rumah sakit, asrama, sekolahan, dsb.

Menurut pendapat azhar ulama Syafiiah, akad wakaf tersebut batal ketika pewakaf tidak menyebutkan pengelola wakaf dalam sigatnya.

b.  Harta  Bergerak  adalah  setiap  harta  yang  mungkin  dipindahkan  dari  tempat aslinya ketempat lain. Contohnya: Buku, baju, pedang, kendaraan, hewan, dan lain-lain.

E.       Fungsi  Wakaf

Wakaf Dilihat  dari  fungsi  wakaf  sebagai  salah  satu  instrumen  distribusi  kekayaan  dalam rangka  peningkatan  kesejahteraan  sosial  secara  menyeluruh,  maka  dimensi  muamalahnya memerlukan  perhatian  yang  lebih  khusus.  Sejarah  umat  Islam  telah  membuktikan  besarnya peranan wakaf dalam  rangka menciptakan keadilan sosial ekonomi.  Informasi  yang didapat dari catatan wakaf di Istanbul, Jerussalem, Kairo dan kota-kota lainnya menunjukkan bahwa tanah-tanah  wakaf  meliputi  sebahagian  besar  dari  keseluruhan  wilayah  yang  dipergunakan masyarakat.

 Di  Turki,  sekitar  sepertiga  dari  tanah  yang  dimanfaatkan  adalah  harta  wakaf. Selain  dalam  bentuk  tanah,  di  dunia  Islam,  wakaf  juga  terdiri  atas  rumah  sakit,  sekolah, mesjid, kuda dan kebutuhan publik lainnya, seperti wisma, kamar mandi, sumber air minum, jembatan  dan  taman  kota. Hasil  wakaf  juga  dipergunakan  untuk  membiayai  pengelolaan pendidikan, para guru, para pelajar, dokter, perawat dan pasien.[4]

F.       Nazhir Wakaf (Pengelola Wakaf)

Nazhir  wakaf  adalah  orang  atau  sekelompok  orang  atau sebuah badan dan yayasan yang bertanggungjawab untuk mengurusi, mengelola, menjaga dan mengembangkan barang wakaf. Nazhir   dapat  dilakukan  oleh  orang  yang   berwakaf  atau  orang  lain  yang ditunjuk   oleh   pewakaf,  atau   pihak  penerima  wakaf  (orang  atau  pihak  yang  menerima  hasil wakaf, menurut salah satu   pendapat madzhab), atau oleh hakim (pemerintah) apabila pewakaf tidak  menunjuknya.  Apabila  pewakaf  menunjuk  nazhir  kepada  beberapa  orang  secara berurutan, seperti: saya tunjuk si A menjadi nazhir wakaf saya, dan kalau dia meninggal supaya diganti si B, dan kalau dia meninggal supaya   diganti si C. Maka, penunjukan pewakaf tersebut harus dipenuhi.

Adapun persyaratan nazhir wakaf Berdasarkan  Pasal  9  UU  No.  41  Tahun  2004 Republik Indonesia:

1)      Perseorangan

a)  warga negara Indonesia;

b)  beragama Islam;

c)  dewasa;

d)  amanah;

e)  mampu secara jasmani dan rohani; dan

f)  tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.



2)      Nazir organisasi menurut Pasal 10 (2)

a)  Pengurus  organisasi  yang  bersangkutan  memenuhi  persyaratan  nazhir

perseorangan; dan

b)  organisasi  yang  bergerak  di  bidang  sosial,  pendidikan,  kemasyarakatan,

dan/atau keagamaan Islam.



3)      Nazir badan hukum menurut Pasal 10 (3)

a)  Pengurus  badan  hukum  yang  bersangkutan  memenuhi  persyaratan  nazhir perseorangan;

b)  Badan  hukum  Indonesia  yang  dibentuk  sesuai  dengan  peraturan  perundangundangan yang berlaku; dan

c)  Badan  hukum  yang  bersangkutan  bergerak  di  bidang  sosial,  pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.


G.     Wakaf Dengan Uang Tunai[5]

Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, suatu kelompok, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham dan cek.

 Sebelum membahas hukum wakaf tunai, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menetapkan salah satu syarat wakaf adalah harta yang diwakafkan harus bersifat tetap (tsabit), yaitu barang tersebut bisa dimanfaatkan tanpa merubah bentuknya.  Barang tetap  (tsabit) ini terbagi menjadi dua; pertama: barang yang tidak bisa dipindah-pindahkan (ghairu al-manqul), seperti tanah dan bangunan, kedua: barang yang bisa dipindahkan (al-manqul).



 Mereka sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang (ghairu al-manqul), tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum wakaf barang yang bisa dipindah (al-manqul). Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:



 Pendapat Pertama: Tidak boleh wakaf dengan barang al-manqul secara mutlak. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan riwayat dari imam Ahmad.



Pendapat Kedua: Boleh wakaf dengan barang al-manqul, jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan, seperti wakaf senjata. Ini pendapat Abu Yusuf.



Pendapat Ketiga:  Boleh wakaf dengan barang al-manqul jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan hal tersebut, seperti wakaf senjata atau dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat bahwa barang tersebut diwakafkan. Ini pendapat Muhammad al-Hasan.



Dasarnya adalah Istihsan bi al-‘Urfi, (kebiasan masyarakat), seperti wakaf buku untuk para penuntut ilmu dan wakaf mushaf al-Qur’an untuk masyarakat.



Oleh karena itu, jika mewakafkan barang yang bisa dipindahkan tetapi belum membudaya di masyarakat, hukumnya kembali ke asal, yaitu tidak boleh. Pendapat Muhammad al-Hasan ini bertentangan dengan pendapat Abu Yusuf. Tetapi yang dijadikan fatwa dan qadha dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Muhammad al-Hasan.  (Hasyiatu Ibn Abidin: 3/408, Fathu al-Qadir: 5/ 48)



Hukum Wakaf Tunai

Dari perbedaan pendapat ulama di atas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang membolehkan wakaf al-manqul, karena lebih dekat kemaslahatan umat.



 Tetapi, para ulama yang membolehkan wakaf al- manqul pun masih berbeda pendapat tentang hukum wakaf tunai (uang), walaupun uang sendiri bagian dari al-manqul, tetapi uang mempunyai sifat-sifat sendiri yang berbeda dengan sifat-sifat barang lain. Perbedaan ulama tersebut teringkas dalam dua pendapat berikut:



      Pendapat Pertama: Wakaf tunai hukumnya tidak boleh. Ini pendapat Ibnu Abidin dari Hanafiyah dan madzhab Syafi’i.  (Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, 412)



Ibnu Abidin berkata: “wakaf tunai (dengan dirham) merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Romawi, bukan dalam masyarakat kita. Begitu juga  wakaf kapak dan pisau pernah berlaku pada zaman terdahulu, tetapi tidak lagi pernah terdengar pada zaman kita. Untuk itu, tidak sah kalau diterapkan sekarang, seandainya-pun ada, maka sangat jarang terjadi dan itu tidak dianggap. (Sebagaimana diketahui) bahwa yang dijadikan standar adalah kebiasaan masyarakat yang sudah menyebar.“   (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/375)

Mereka mempunyai dua alasan:

Pertama: Uang zatnya bisa habis dengan sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dan dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf adalah harta yang tetap. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai.


Kedua: Uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya

Pendapat Kedua: Wakaf tunai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Imam Zuhri, seorang ahli hadist, Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, ini juga pendapat sebagian ulama mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah dan sebagian ulama dari kalangan Syafii, sebagaimana disebutkan Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir, bahwa Abu Tsaur meriwayatkan hal itu dari Imam Syafi’i.

Di bawah ini beberapa nash dari mereka :

عَنِ الزُّهْرِي قَالَ:  فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِيْنَارٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ دَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ يَتَّجِرُ بِهَا، وَجَعَلَ رُبْحَهُ صَدَقَةٌ لِلْمَسَاكِيْنَ وَالْأَقْرَبِيْنَ

Dari  Imam Zuhri bahwasanya ia berkata: “Tentang seseorang yang mewakafkan seribu dinar di jalan Allah, dan uang tersebut diberikan kepada pembantunya untuk diinvestasikan, kemudian keuntungannya disedekahkan untuk orang-orang miskin dan para kerabat. “ (Shahih Bukhari: 4/14)

جَاءَ فِي حَاشِيَةِ ابْنِ عَابِدِيْنَ :  وَعَنِ الْأَنْصَارِيْ ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ زُفَرِ ، فِيْمَنْ وَقَفَ الدَّرِاهِمَ أَوْ مَا يُكَالُ أَوْ مَا يُوْزَنُ أَيَجُوْزُ ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيْلَ: وَكَيْفَ؟ قَالَ: بِدِفْعِ الدَّرَاهِمَ مُضَارَبَةٌ ثُمَّ يَتَصَدَّقُ بِهَا فِي الْوَجْهِ الَّذِي وَقَفَ عَلَيْهِ

Dari Al-Anshari, dia adalah salah satu sahabat Zufar, ditanya tentang orang yang berwakaf dengan dirham atau dalam bentuk barang yang dapat ditimbang atau ditakar, apakah itu dibolehkan? Al-Anshari menjawab: Iya, boleh. Mereka bertanya bagaimana caranya? Beliau menjawab: dengan cara menginvestasikan dirham tersebut dalam mudharabah, kemudian keuntungannya disalurkan pada sedekahan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.” (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/374)

Di dalam al-Mudawanah al-Kubra Imam Malik disebutkan:

أَوْ قِيْلَ لَهُ فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا حَبَّسَ مِائَةَ دِيْنَاٍر مَوْقُوْفَةٍ يسْلَفَهَا النَّاسُ وَيَرُدُّوْنَهَا عَلَى ذَلِكَ جَعَلَهَا حُبُسًا هَلْ تَرَى فِيْهَا زَكَاةٌ؟ فقال: نَعَمْ أَرَى فِيْهَا زَكَاةٌ

 “Ditanyakan kepada beliau tentang hukum seorang laki-laki yang menjadikan uangnya sebesar seratus dinar sebagai wakaf untuk dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan dikembalikan kepadanya lagi untuk disimpan lagi, apakah harta seperti ini  terkena kewajiban zakat? Beliau menjawab: Ya, saya berpendapat wajib dikeluarkan zakatnya.”  (al-Mudawanah al-Kubra: 1/ 380)

Pendapat Yang Rajih

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan wakaf tunai hukumnya boleh, karena tujuan disyariatkan wakaf adalah menahan pokoknya dan menyebarkan manfaat darinya. Dan wakaf uang yang dimaksud bukanlah dzat uangnya tapi nilainya, sehingga bisa diganti dengan uang lainnya, selama nilainya sama.

Kebolehan wakaf tunai ini telah ditetapkan pada konferensi ke- 15, Majma’ al-Fiqh al-Islami  OKI, No : 140 , di Mascot, Oman, pada tanggal 14-19 Muharram 1425 H/ 6-11 Maret 2004 M.  Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf tunai, pada tanggal 11 Mei 2002.

Wakaf Tunai juga sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 4/ 2009 dan dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 diatur dalam pasal 28 sampai pasal 31. Wallahu A’lam .

Penutup

Wakaf merupakan instrument ekonomi dan keuangan Islam yang terbukti dapat mensejahterakan masyarakat muslim bahkan non muslim. Pengembangan dan pengelolaan harta wakaf perlu dioptimalkan dan ditingkatkan produktifitasnya agar tujuan wakaf tercapai. Selain itu, wakaf dengan uang tunai diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.


[1] Ibn Manzur, Muhammad Ibn Mukarram, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Sadr, 2009, juz .9, hal. 359.

[2] Al-Khathîb al-Syarbîny, Mughnî al-Muhtâj, Kairo, Darul Hadits, 2006, juz 3, hal. 452.

[3] Mausû’ah al-Fiqh al-Islâmiy wa al-Qadhâyâ al-Mu‟âshirah, Beirut, Dar al-Fiqr, juz 9, hal.159-160.

[4] Monzer Kahf, Waqf and Its Sociological Aspects, Waqf Website, 1993, h.19.

[5] http://ahmadzain.com/read/ilmu/420/hukum-wakaf-tunai/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar