Kamis, 09 Oktober 2025

Analisis Permohonan Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama: Tinjauan Hukum Acara Perdata, Hukum Materil Perdata, dan Hukum Islam (al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah)

Analisis Permohonan Perwalian Anak untuk Persyaratan Administratif TNI di Pengadilan Agama: Tinjauan Hukum Acara Perdata, Hukum Materil Perdata, dan Hukum Islam (al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah)

 

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi normatif (doktrinal) mengenai permohonan perwalian anak yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk memenuhi persyaratan administratif Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kajian mengulas kewenangan peradilan agama, konstruksi hukum acara (voluntair/non‑kontentius), kriteria dan prioritas wali menurut hukum Islam dan hukum nasional, serta batas dan ruang lingkup penetapan perwalian yang dimohonkan untuk kepentingan administratif. Sumber hukum meliputi peraturan perundang‑undangan nasional (UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Perlindungan Anak, HIR/RBg, KHI), doktrin, dan putusan pengadilan sebagai batu uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) permohonan perwalian untuk tujuan administratif pada prinsipnya dapat dikabulkan dengan model perwalian terbatas (limited guardianship) selama tidak menimbulkan sengketa hak yang bersifat kontentius; (ii) asas kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the child), perlindungan anak, dan prinsip kehati‑hatian hakim menjadi dasar utama; (iii) kehadiran ibu kandung sebagai pihak terkait (apabila ayah meninggal) merupakan praktik yang baik untuk memastikan tidak ada keberatan; dan (iv) dalam hal timbul keberatan atau sengketa keperdataan yang nyata, mekanisme beralih ke gugatan kontentius. Penelitian merekomendasikan rumusan amar penetapan yang spesifik‑tujuan, pengawasan perwalian, dan sinkronisasi administrasi antarlembaga.

Kata kunci: perwalian anak, Pengadilan Agama, administrasi TNI, hukum acara perdata, KHI, kepentingan terbaik anak.

1. Latar Belakang Masalah

Dalam praktik, satuan TNI kerap mensyaratkan kelengkapan administrasi bagi calon prajurit yang masih di bawah perwalian, misalnya persetujuan wali sah untuk tindakan administratif tertentu, penandatanganan dokumen, atau verifikasi status keluarga. Ketika ayah (wali nasab) telah meninggal dunia dan ibu kandung telah menikah kembali, muncul kebutuhan untuk mempertegas siapa wali yang sah atau menunjuk wali pengganti/pendamping melalui penetapan Pengadilan Agama. Kebutuhan administratif tersebut menuntut kejelasan dan kepastian hukum yang sejalan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak serta tidak menimbulkan sengketa hak baru.

Secara normatif, kewenangan absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan mencakup perwalian, sebagaimana ditegaskan dalam Undang‑Undang tentang Peradilan Agama. Di sisi lain, perwalian dalam perspektif hukum Islam (al‑Aḥwāl al‑Syakhṣiyyah) membedakan wilayah atas jiwa (‘ala al‑nafs) dan atas harta (‘ala al‑māl) dengan prioritas wali dari garis ayah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur tata cara penunjukan dan tugas wali, sementara UU Perlindungan Anak menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai parameter. Maka, diperlukan suatu analisis normatif yang terstruktur untuk menjawab bagaimana permohonan perwalian yang berbasis kebutuhan administratif TNI seharusnya ditangani oleh Pengadilan Agama.

2. Rumusan Masalah

• Bagaimana konstruksi kewenangan dan hukum acara permohonan perwalian anak di Pengadilan Agama untuk keperluan administratif TNI?

• Bagaimana kriteria, prioritas, dan batas kewenangan wali menurut hukum Islam dan hukum nasional dalam konteks permohonan yang bersifat administratif?

• Bagaimana praktik terbaik (best practice) dalam merumuskan amar penetapan perwalian yang spesifik‑tujuan (limited guardianship) agar efektif, akuntabel, dan melindungi kepentingan terbaik anak?

• Bagaimana peralihan forum dari permohonan (voluntair) menjadi gugatan (kontentius) jika muncul keberatan atau sengketa hak?

3. Pembahasan

Permohonan perwalian untuk tujuan administratif berbeda dari perwalian penuh yang menyentuh seluruh aspek keperwakilan anak. Untuk keperluan pendaftaran atau pemenuhan syarat administratif TNI, kebutuhan hukum lazimnya terbatas pada pemberian kewenangan untuk menandatangani dokumen tertentu, mewakili dalam tindakan administratif, dan/atau mengakses data yang diperlukan atas nama anak. Konsepsi ini sejalan dengan penetapan perwalian terbatas yang membatasi kewenangan wali pada ruang lingkup yang didalilkan dan dibuktikan.

Dari sisi hukum acara, permohonan perwalian merupakan perkara voluntair (non‑kontentius) yang diputus dengan penetapan. Pemohon menguraikan fakta relevan (misalnya: ayah meninggal, ibu menikah kembali, anak berdomisili bersama kakek), menyertakan alat bukti surat (akta kelahiran, akta kematian, kartu keluarga, surat keterangan domisili, dan jika dimungkinkan: surat pernyataan persetujuan ibu kandung), serta menghadirkan saksi keluarga. Kehadiran ibu kandung sebagai pihak terkait untuk menyatakan tidak keberatan merupakan praktik baik, karena menghindari potensi sengketa. Bila timbul keberatan yang substansial (misalnya sengketa hak asuh atau tuduhan ketidaklayakan wali), maka hakim dapat menyatakan permohonan tidak dapat diterima dan mengarahkan para pihak menempuh gugatan kontentius.

4. Analisis Peraturan dan Perundang‑undangan

a. Kewenangan Peradilan Agama.

   • Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009,      Pasal 49 huruf (a) menetapkan kewenangan absolut pengadilan agama di bidang perkawinan yang meliputi perwalian.

b. Hukum Materil Perkawinan dan Perwalian

   • Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 menegaskan tujuan perkawinan      untuk membentuk keluarga, perlindungan anak, dan tanggung jawab orang tua.
   • Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991), khususnya Pasal 107 s.d. Pasal 112, mengatur definisi perwalian, prioritas,      pengangkatan wali, tata cara, tanggung jawab, dan pengawasan. KHI menekankan bahwa wali wajib bertindak demi kemaslahatan anak.
   • KUH Perdata (BW) Pasal 345 dst. memberi rujukan umum konsep perwalian (untuk non‑Muslim), yang dalam praktik menjadi perbandingan doktrinal      guna memperkaya penafsiran tentang kehati‑hatian dan pengawasan wali.

c. Perlindungan Anak

   • Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016      menempatkan asas kepentingan terbaik bagi anak sebagai prinsip pokok penanganan setiap perkara yang menyangkut anak.

d. Hukum Acara

   • HIR/RBg sebagai rujukan umum acara perdata; untuk perkara voluntair, praktik peradilan agama menggunakan mekanisme permohonan yang diputus dengan penetapan.      Peraturan Mahkamah Agung mengenai mediasi tidak berlaku untuk perkara voluntair.

e. Administrasi TNI (Kebutuhan Praktis)

   • Ketentuan internal TNI dapat mensyaratkan bukti kewenangan wali; meskipun bukan norma peradilan, syarat administratif tersebut dapat dipenuhi dengan      penetapan perwalian yang spesifik‑tujuan agar proporsional dan tidak melebihi kebutuhan.

5. Teori Hukum dan Kajian Pustaka

Penelitian menggunakan teori kepentingan terbaik anak (best interests of the child) sebagai parameter utama, diperkuat oleh teori kewenangan negara dalam melindungi anak (parens patriae) yang tercermin dalam pengawasan perwalian. Dalam perspektif fiqh, konsep wilāyah ‘ala al‑nafs dan ‘ala al‑māl menjadi fondasi untuk membedakan representasi personal dan harta anak. Kajian pustaka merujuk pada literatur hukum keluarga Islam Indonesia, komentar KHI, serta doktrin hukum acara perdata terkait perkara voluntair.

6. Kajian Konseptual

• Perwalian Umum vs. Perwalian Terbatas: Untuk kebutuhan administratif TNI, penetapan sebaiknya berbentuk perwalian terbatas—hanya untuk tindakan administratif tertentu dan untuk jangka waktu yang wajar.
• Pihak Terkait: Ibu kandung (bila ayah wafat) sebaiknya dimintai pendapat/ persetujuan guna mencegah sengketa; keluarga sedarah prioritas garis ayah menjadi pertimbangan utama sesuai KHI.
• Pengawasan: Hakim dapat memerintahkan pelaporan singkat bila perwalian menyentuh aspek harta; untuk aspek murni administratif, pengawasan cukup berupa ketentuan bahwa penetapan ini tidak memberikan kewenangan di luar yang dirinci dalam amar.

7. Hasil Penelitian

Sintesis normatif menunjukkan: (1) Permohonan perwalian untuk kepentingan administratif TNI berada dalam kewenangan Pengadilan Agama; (2) Model penetapan yang dianjurkan adalah perwalian terbatas dengan rumusan amar spesifik‑tujuan; (3) Kehadiran ibu kandung sebagai pihak terkait dan bukti surat lengkap memperkuat dasar yuridis; (4) Jika muncul sengketa hak yang substansial, forum bergeser ke gugatan kontentius; (5) Asas kepentingan terbaik bagi anak, proporsionalitas, dan kehati‑hatian menjadi parameter utama penilaian hakim.

8. Kesimpulan

Permohonan perwalian anak untuk persyaratan administratif TNI pada prinsipnya dapat dikabulkan sebagai perwalian terbatas yang dirumuskan secara spesifik‑tujuan, berdasarkan kewenangan Pengadilan Agama dan berlandaskan KHI serta UU Perlindungan Anak. Penetapan harus menjaga proporsionalitas dan tidak boleh menggantikan atau meniadakan hak keperdataan pihak lain di luar ruang lingkup administratif yang dimohonkan. Dalam hal timbul keberatan yang bersifat sengketa hak, perkara seharusnya diproses melalui mekanisme gugatan kontentius.

9. Penutup

Penelitian ini menawarkan kerangka kerja praktis untuk hakim dan para pihak dalam menangani permohonan perwalian yang bermotif administratif TNI. Direkomendasikan agar amar penetapan memuat: (i) penunjukan wali dengan ruang lingkup kewenangan yang tegas, (ii) jangka waktu dan batasan tindakan, (iii) klausul bahwa penetapan tidak berlaku untuk pengalihan/penjaminan harta kecuali dengan izin pengadilan, serta (iv) imbauan koordinasi dengan instansi administratif yang memerlukan dokumen tersebut.

10. Referensi

Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.

Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), khususnya Pasal 107–112.

Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016.

Kitab Undang‑Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 345 dan seterusnya (perbandingan doktrinal).

Herzien Indonesisch Reglement (HIR) / Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) – ketentuan umum acara perdata perkara permohonan.

Literatur fiqh munakahat dan al‑aḥwāl al‑syakhṣiyyah terkait konsep wilāyah ‘ala al‑nafs dan ‘ala al‑māl (beberapa referensi standard).

Direktori Putusan Mahkamah Agung – putusan‑putusan perwalian di lingkungan peradilan agama (sebagai batu uji praktik peradilan).

Lampiran: Contoh Rumusan Amar Penetapan (Perwalian Terbatas untuk Administratif TNI)

Mengadili:

1.     Mengabulkan permohonan Pemohon;

2.     Menetapkan Pemohon, [identitas lengkap], sebagai wali dari anak [identitas lengkap, TTL, NIK],    dengan ruang lingkup kewenangan terbatas untuk melakukan tindakan administratif yang diperlukan dalam proses seleksi/pendaftaran/pendidikan TNI,    termasuk menandatangani formulir, menyampaikan pernyataan yang diperlukan, dan mewakili anak di hadapan instansi terkait;

3.     Menyatakan bahwa penetapan ini tidak memberikan kewenangan kepada wali untuk mengalihkan, membebankan, atau menjaminkan harta anak,    kecuali dengan izin pengadilan sesuai peraturan perundang‑undangan;

4.     Memerintahkan Panitera mengirimkan salinan penetapan ini kepada instansi terkait apabila dimohonkan;

5.     Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar