Sabtu, 20 Desember 2014

Hukum Jaminan pada Akad Mudharabah di Bank Syariah


Dalam fatwa DSN-MUI tentang akad mudharabah disebutkan pada ketentuan nomor:

6.  LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari  mudharabah  kecuali  jika  mudharib  (nasabah)  melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

7.  Pada  prinsipnya,  dalam  pembiayaan  mudharabah  tidak  ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS  dapat  meminta  jaminan  dari  mudharib  atau  pihak  ketiga. Jaminan  ini  hanya  dapat  dicairkan  apabila  mudharib  terbukti melakukan  pelanggaran  terhadap  hal-hal  yang  telah  disepakati bersama dalam akad.

Dalam kitab-kitab fikih, jumhur ulama sepakat bahwa yad mudharib atau penguasaan harta oleh mudharib pada akad mudharabah adalah yad amanah atau penguasaan harta atas dasar amanah, karena itu mudharib tidak dibebani jaminan atas kerugian usaha kecuali disebabkan oleh factor kelalaian disengaja dan kesalahannya. Selain itu jaminan kerugian mudharabah diambil dari modal pemilik dana (shohibul mal) dan tidak diperbolehkan adanya jaminan yang dibebankan pada mudharib (pengelola), baik sebelum terjadinya akad mudharabah atau sesudahnya. Karena jika terjadi kerugian, mudharib (pengelola) akan terkena dua beban, pertama adalah beban tenaga dan waktunya mengelola usaha, dan kedua adalah beban mengganti modal pemilik dana (shahibul mal).

 Akan tetapi sebagian fuqaha malikiah, membolehkan jaminan/dhaman bagi mudharib setelah terjadinya akad mudharabah. (عقد الضمان في الفقه الإسلامي, د. محمد نجدات, دار المكتبي 277:, بداية المجتهد, الجزء الثاني, ص 179:, تحفة الفقهاء,السمرقندي, الجزء الثالث, ص 21 )

Adapun jika yang menjamin atau memberikan dhaman adalah pihak ketiga, seperti pemerintah atau lembaga lain, maka diperbolehkan. (Hasil keputusan majma’ fikih Islami di Jedah, Saudi Arabia, 6-11 Februari 1988).

Kemudian, apakah alasan  bank syariah meminta jaminan ketika memberikan pembiayaan mudharabah  pada nasabah atau menjamin tabungan mudharabah nasabah??
Alasan pertama adalah mengingat bank merupakan suatu badan hukum (Syakhsiyah I’tibariyah/qonuniyah) -karena tidak seluruh ketentuan yg ada pada syakhsiyah haqiqi/thabi’i harus disamakan dengan syakhsiyah I’tibariyah-, alas an kedua karena menimbang dana bank adalah sebagian besar dana masyarakat, yang sangat memiliki resiko tinggi dan  diawasi oleh bank sentral, kementrian keuangan serta otoritas jasa keuangan, dan ketiga adalah mengingat salah satu fungsi bank agar menjaga stabilitas moneter Negara yg menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, atas asas hajat  maslahat serta mencegah mafsadat, bank yang bertindak sebagai pemilik dana dibolehkan meminta jaminan pada mudharib (pengelola) ketika memberikan pembiayaan mudharabah kepada nasabah. Begitu juga, bank dibolehkan dengan keinginannya sendiri menjamin tabungan mudharabah nasabah, agar nasabah -yang masih bermental kapitalis- tidak menarik seluruh uangnya di bank, sehingga berdampak buruk bagi perekonomian negara.  Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar