Sabtu, 20 Desember 2014

Akad Sharf dalam Tinjauan Fikih dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah


Akad Sharf dalam Tinjauan Fikih dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah
Oleh: M. Rakhmat Alam , Imam Taufiq  dan Noer Qosin

I.    Pendahuluan

Gairah dunia terhadap ekonomi syariah seakan sudah tak terbendung lagi, hal ini ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi syariah dari setiap komponennya . Adapun komponen ekonomi Islam saat ini yang sedang menjadi trend global adalah perbankan syariah dan pasar uang Islami (Islamic money market) yang dalam pembahasannya terdapat pasar modal (capital market) serta pasar valuta asing (foreign money market). Dr. Muhammad Beltaji mengatakan bahwa pertumbuhan bank syariah tiap tahunnya di seluruh dunia mencapai sekitar 20%, sedangkan pertumbuhan bank konvesional hanya berkisar 3 sampai 4%.  Tidak hanya itu, beliau menambahkan bahwa sekitar 1000 bank konvensional di dunia mengalami bangkrut sejak tahun 2001 -tepatnya sejak peristiwa 11 September WTC (World Trade Center)- hingga tahun 2012. Dan hal yang paling menakjubkan adalah bahwa penyebab utama bangkrutnya bank-bank konvensional dan krisis ekonomi global disebabkan oleh hal-hal yang diharamkan dalam syariat Islam, seperti praktek riba, akad yang tidak jelas, jual beli hutang yang tidak sesuai prinsip Islam dan akhlak atau etika ekonomi yang buruk. Hal inilah yang membuat semua mata dunia melirik ekonomi Islam yang penuh dengan etika dan kejelasan, sehingga banyak bermunculan Institut atau lembaga studi yang khusus mengkaji ekonomi dan keuangan Islam, tidak hanya di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, tapi sudah menjangkau negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah non muslim.

Pertukaran mata uang(money exchange) dan perdagangan valuta asing(foreign money exchange) telah menjadi suatu yang sangat umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara yang mengalami kemajuan tanpa berhubungan dengan pertukaran mata uang dan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu, Islam sebagai agama universal yang fleksibel dengan perkembangan zaman, sudah selayaknya perdagangan valuta asing diterima sebagai suatu kebutuhan di bidang ekonomi Islam, karena transaksi ini sulit sekali dipisahkan dari dunia keuangan modern. Di samping itu, karena tukar-menukar uang juga sudah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah Saw., begitu juga perdagangan valuta asing yang ternyata sesuai dengan prinsip Islam di dalam konsep uang yaitu flow concept, bahwa uang harus berputar dan terus mengalir agar tercipta kesejahteraan dan pertumbuhan  ekonomi.  Melihat urgensinya praktek petukaran mata uang dan perdagangan valuta asing ini, maka dalam makalah ini akan  dibahas mengenai transaksi tukar-menukar atau jual beli mata uang dan perdagangan valuta asing (valas). Bagaimanakah tinjauannya dalam fikih yang dikenal dengan akad sharf, seperti apa prakteknya dalam perbankan syariah dan apa saja ketentuan-ketentuan transaksi tukar-menukar mata uang dan perdagangan valas yang diperbolehkan secara syariat.

II.    Pembahasan

A.    Defenisi Sharf

1.    Secara etimologi

Secara etimologi  sharf memiliki banyak makna, di antaranya:
-    Sharf  bermakna pemindahan/pemalingan (an-naql/at-tahwil), sebagaimana dalam firman Allah Swt.:
"ثم صرفكم عنهم ليبتليكم"
Artinya: “kemudian Allah memalingkan  kamu dari mereka untuk menguji kamu”
-    Sharf  bermakna mengulang (raddu as-syai’), sebagaimana dalam firman Allah Swt.:
"ولقد صرفنا للناس في هذا القراّن من كل مثل", أي رددنا القول.
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Alquran ini setiap macam perumpamaan”.

-    Sharf  bermakna tambahan (fadhl atau ziyâdah):
"صرفت الدراهيم با الدنانير , و بين الدرهمين صرف, أي فضل".
Artinya: “Aku menukar dirham dengan dinar, dan di antara dua dirham ada sharf, yaitu tambahan”.

-    Sharf  bermakna melepaskan (takhliyah):
"صرف الأجير من العمل"
Artinya: “Seorang buruh melepaskan (diri) dari pekerjaannya”

-    Sharf  bermakna jual beli dan tukar-menukar (bay’/ mubâdalah):
"صرفت الذهب بالدراهيم , أي بعته أو بادلته"
Artinya: “Aku menukar emas dengan dirham, maksudnya mejualnya atau menukarnya”.

-    Sharf  bermakna taubat, seperti sabda Rasulullah Saw. yang tertuang dalam hadis:
"لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا"
Artinya: “Allah tidak menerima sharf (taubat) dan ‘adl (fidyah) darinya.

2.    Secara terminologi fukaha
Sudah menjadi kebiasaan para fukaha dalam mazhab fikih ketika mempelajari salah satu pembahasan fikih, selalu dimulai dengan definisi secara lughawi dan ishtilahi. Hal ini untuk membantu mengetahui atau memahami pembahasan fikih tersebut secara sistemasis di dalam setiap bab-nya.

-    Definisi sharf dalam mazhab Hanafi adalah sebuah nama untuk jual beli tsaman mutlak , apakah jual beli tsaman tersebut sama jenisnya atau beda jenis.
-    Definisi sharf dalam mazhab Maliki adalah jual beli uang dengan jenis berbeda, seperti emas dengan perak dan sebaliknya, atau jual beli keduanya (emas dan perak) dengan fulûs. Fulûs adalah mata uang pembantu/pelengkap terbuat dari kuningan/tembaga yang digunakan untuk membeli suatu barang.   Adapun jual beli uang yang sejenis tidak dinamakan sebagai sharf dalam mazhab Maliki.
-    Definisi sharf dalam mazhab Syafi’i adalah jual beli uang dengan uang, sejenis atau beda jenis.  Dilihat dari zahir definisi, yang dimaksud sharf menurut mazhab syafi’I hanya khusus pada uang yang dicetak (madrûb)yang terbuat dari apapun termasuk selain dari emas dan perak, akan tetapi dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i dijelaskan bahwa yang dimaksud naqd atau uang adalah terbatas pada emas dan perak walaupun belum dicetak menjadi uang, maka termasuk dalamnya emas batangan, emas perhiasan dll.  Adapun uang kertas dalam mazhab Syafi’I tidak termasuk sharf.
-    Definisi sharf dalam mazhab Hanbali terdapat dua riwayat. Pertama, sama dengan definisi mazhab hanafi. Kedua, sama dengan definisi mazhab Syafi’i.
-    Definisi sharf menurut jumhur ulama kontemporer, mereka mengkombinasikan dari seluruh definisi empat mazhab di atas, bahwa sharf adalah jual beli tsaman dengan tsaman (seperti emas dan perak) sejenis (seperti emas dengan emas) atau beda jenis (perak dengan emas), atau jual beli fulûs dengan fulûs, atau jual beli fulûs dengan emas dan perak.


B.    Hukum dan dalil legalitas sharf

1.    Hukum sharf
Para fukaha sepakat bahwa akad sharf adalah boleh selama memenuhi semua rukun dan syaratnya.

2.    Dalil legalitas sharf
•    Alquran:
-    “dan Allah telah menghalalkan jual beli”.  Kata jual beli menurut jumhur ulama adalah umum mencakup semua jual beli, kecuali ada dalil lain yang mengkhususkannya.
-    “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan/jual beli) dari Tuhanmu” . Makna ayat ini adalah bahwa ketika Allah memerintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan perbuatan buruk, keji, kotor dan dosa ketika haji, semua kaum muslimin ikut meninggalkan niaga karena takut jatuh pada dosa. Maka turunlah ayat ini sebagai rukhsah dari Allah untuk kaum muslimin dan diperbolehkan melakukan niaga ketika melaksanakan haji.
-    “janganlah kamu memakan harta sesama mu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berkalu atas suka sama suka di antara kalian”.

•    Sunah:
-    Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Malik bin Nâfi’ dari Abdullah bin Umar ra., Rasulullah bersabda: “dua orang yang bertransaksi jual beli, maka masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyâr atas partnernya selama keduanya belum berpisah, kecuali jual beli khiyâr (yaitu ditentukannya pilihan dari awal kontrak)”
-    Hadis riwayat Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda: “emas dengan emas adalah riba kecuali ha’ wa ha’ (beri dan ambil). Maksud ha’ wa ha’ adalah qabdh (serah terima secara kontan/tunai).
-    Hadis riwayat Muslim dari Ubadah bin Shâmit, Rasulullah bersabda:“ (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, dengan syarat semisal, sama (kuantitasnya) serta tunai, jika berbeda ashnaf di atas (jenis dan sifat,) maka juallah sesuka kalian tapi dengan tunai(yad bi yad)”.
-    Hadis riwayat Muslim, dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda: “(juallah) dinar dengan dinar –tapi- tidak boleh ada tambahan (fadhl) -yang diambil- dari keduanya, dirham dengan dirham –tapi- tidak boleh ada tambahan –yang diambil- dari keduanya.

•    Konsesus atau ijmak ulama
Seluruh umat sepakat akan kehalalan jual beli, termasuk jual beli sharf berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan selama memenuhi syarat dan rukun-rukunnya.

•    Dari akal
Hukum asal dari muamalah apapun adalah dibolehkan selagi tidak ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa akad sharf  seandainya pun tidak ada ayat atau hadis yang menetapkan kebolehannya, maka akad itu tetap boleh selagi tidak ada dalil yang melarangnya.



C.    Rukun dan Syarat akad sharf

Rukun akad sharf dalam fikih Islam sama dengan rukun jual beli, karena sharf adalah bagian dari jual beli. Dalam mazhab Hanafi rukun sharf ada satu yaitu shigah (ijab dan qabul), sedangkan dalam mazhab jumhur rukun sharf ada tiga, yaitu shigah (ijab dan qabul), ‘aqidani (penjual dan pembeli yang melakukan akad), ma’qud ‘alaih/mahallu al-‘aqd (objek akad).

Adapun syarat-syarat sharf secara umum sebagai berikut  :
1.    Serah terima saat transaksi berlangsung (taqâbudh)
Seluruh ulama sepakat bahwa syarat wajib untuk dipenuhi, baik barang yang ditukarkan itu sejenis seperti emas dan emas atau perak dan perak, maupun berlainan jenis seperti emas dan perak. Adapun yang dimaksud serah terima disini (taqâbudh) bisa berarti serah terima dalam arti sebenarnya (taqâbudh fi’li), dengan cara setiap pihak yang bertransaksi menyerahkan barang yang ada di tangannya kepada pihak lain di tempat transaksi sebelum keduanya berpisah, ataupun bukan sebenarnya (taqâbudh hukmi), seperti penggunaan cek di bank .
2.    Transaksi dilakukan tanpa khiyâr.
Dalam transaksi sharf tidak boleh dipersyaratkan khiyâr bagi salah satu pihak di awal transaksi, ini menurut pendapat jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiíyah). Adapun yang dimaksud dengan khiyâr di sini adalah khiyâr syarth. Khiyâr menyebabkan kepemilikan belum tetap, dan kalau kepemilikan belum tetap, ketentuan taqâbudh pun hilang. Oleh sebab itu, transaksi ini menjadi tidak sah karena hilang salah satu syaratnya. Adapun khiyâr rukyah dan khiyâr aib tidak menghalangi sahnya transaksi karena keduanya tidak menghalangi kepemilikan.
3.    Tunai saat transaksi (hulul).
Disyaratkan dalam transaksi sharf agar menghindari adanya tenggang waktu penyerahan kedua barang yang ditransaksikan atau salah satunya, karena penangguhan seperti ini bisa menyebabkan syarat taqâbudh rusak.
4.    Kesepadanan (tamatsul)
Syarat ini merupakan syarat khusus jika dua barang yang ditukar merupakan barang yang sejenis. Sebagai contohnya, tukar-menukar emas dengan emas, kedua barang terebut harus sebanding dalam timbangannya.

D.    Jenis-jenis Sharf
Secara garis besar, praktek sharf mempunyai beberapa jenis , diantaranya :
1.    Pertukaran barang sejenis.
Pertukaran barang sejenis merupakan pertukaran yang diperbolehkan berdasarkan kesepakatan seluruh fukaha. Hanya saja para fukaha memberikan beberapa syarat dalam pertukaran semacam ini, diantaranya.

a.    Serah-terima barang saat transaksi berlangsung.
b.    Kesepadanan.
Kesepadanan yang dimaksud di sini adalah kesepadanan dalam hal kadar dan timbangan. Adapun kesepadan dalam hal kualitas, bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan sesuai dengan hadis Rasulullah SAW : جيدها و رديئهها سواء ,artinya “bagus dan jeleknya adalah sama”.
Dalam segi bentuk pun mayoritas ulama tidak mempermasalahkan dalam pertukaran barang sejenis . Keduanya dicetak, ditempa, atau dibentuk dengan cara lain, tidak menjadi masalah selama kadar kedua-duanya sama.
c.    Pengetahuan setiap pihak tentang barang yang ditukar, dari segi kuantitas maupun kualitas.

2.    Pertukaran barang berbeda.
Seluruh ulama sepakat memperbolehkan pertukaran barang berbeda jenis dengan kadar dan timbangan berbeda. Fukaha juga tidak mensyaratkan pengetahuan pihak penukar terhadap takaran dan timbangan barang yang ditukar. Dalam pertukaran semacam ini, hanya ada satu syarat yang wajib dipenuhi, yaitu adanya serah terima tunai di tempat transaksi. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.yang diriwayatkan oleh Ubadah ibn Shâmit di atas.

3.    Pertukaran barang berbeda dengan tambahan di salah satunya atau kedua-duanya.
Jenis pertukaran seperti ini mempunyai dua macam :
a)    Apabila dua barang berbeda dan pada salah satunya atau keduanya tambahan barang lain, seperti emas yang ditukar dengan perak dan kain, maka akad seperti ini dianggap sah selama serah-terima terjadi di tempat transaksi.
b)    Apabila dua barang tersebut sejenis dan pada salah satunya atau keduanya ada tambahan barang lain, seperti tukar-menukar dua dirham dengan satu dirham dan kain, maka disini ulama berbeda pendapat, secara ringkasnya sebagai berikut :
i.    Syafi’iyah dan Hanabilah melarang tukar menukar seperti ini.
ii.    Hanafiyah memperbolehkan tukar-menukar seperti ini dengan syarat adanya kesetaraan nilai antara barang pertama dengan barang kedua dan tambahannya.

4.    Jual-beli sejumlah dinar dirham dengan sejumlah dinar dirham lainnya.
Mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zafr dari Hanafiyah) mengatakan transaksi seperti ini adalah tidak sah. Hal ini dikarenakan tidak diketahuinya kesepadanan dua barang yang ditukarkan.

5.    Tukar-menukar yang masih dalam tanggungan.
Tukar-menukar seperti ini memiliki beberapa ilustrasi, diantaranya :
a.    Tukar-menukar dari hasil hutang, gambarannya : A membeli 10 dirham dari B sebesar 1 dinar, lalu A meminjam C 1 dinar untuk membayar B, dan B meminjam 10 dirham kepada D untuk diberikan ke A.
Secara ringkas pendapat ulama mengenai akad ini :
i.    Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan akad ini sah, karena serah terima masih terjadi di tempat transaksi.
ii.    Menurut Malikiyah, akad hutang menyebabkan akad pertama rusak atau tidak sah. Hal ini, dikarenakan hutang bisa mengulur waktu yang bisa menggagalkan serah terima.
b.    Tukar-menukar dua hutang, gambarannya : A memiliki hutang kepada B 1 dinar, B mempunyai hutang kepada C 10 dirham. Lalu A meminta B membayar A dengan 10 dirham yang ada pada C.
Secara ringkas pendapat ulama tentang akad ini :
i.    Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan akad ini tidak sah, karena termasuk dalam akad jual beli hutang dan hadis sudah menerangkan tentang keharaman transaksi seperti ini.
ii.    Hanafiyah mengatakan akad ini sah.
c.    A memiliki hutang kepada B 10 dirham, lalu B meminta A membayar dengan 1 dinar. Akad seperti ini menurut Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah sah selama serah terima di tempat transaksi.

6.    Tukar-menukar dinar dan dirham yang tidak murni.
Para fukaha sepakat memperbolehkan tukar menukar dinar dan dirham yang tidak murni jika memang sudah laku atau terpakai di kalangan umum.

7.    Tukar-menukar dengan uang.
Yang dimaksud dengan uang disini adalah besi atau tembaga yang dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk bermuamalah.
Seluruh ulama sepakat memperbolehkanjual-beli dengan uang selama uang itu laku di kalangan umum.
E. Praktek Perdagangan Mata Uang Asing (Valuta Asing) Dalam Perbankan Islam

Valas adalah singkatan dari valuta asing. Yang dimaksud dengan valuta asing ialah mata uang luar negeri, seperti dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan international, maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya, importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri untuk membayar barang-barang impor tersebut. Maka, importir membutuhkan mata uang asing.

Demikian juga misalnya, bila sebuah perusahaan di Indonesia mengekspor barang ke Jepang, maka diperlukan pertukaran mata uang asing. Pembayaran oleh Jepang untuk perusahaan Indonesia harus dengan mata uang lokal, rupiah. Sementara importir Jepang hanya memiliki mata uang yen. Maka, dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh, guna memenuhi kebutuhan transaksi antara eksportir Indonesia dan importir Jepang tersebut.

Pertama, bila eksportir Indonesia menagih dalam bentuk rupiah, maka importir Jepang harus menjual yen dan membeli rupiah untuk membayar barang yang diimpor dari Indonesia. Kedua, bila eksportir Indonesia dibayar dengan mata uang yen, maka eksportir Indonesialah yang harus menukar yen itu ke rupiah.
Dengan demikian, akan timbul penawaran dan permintaan devisa di bursa valuta asing. Transaksi antara dua negara dapat juga diselesaikan dengan menggunakan mata uang negara ketiga, misalnya dolar.

Hal ini bisa terjadi bila eksportir maupun importir tidak memiliki mata uang lokal negara masing-masing atau mata uang kedua negara itu sangat jarang diperdagangkan karena mata uangnya sangat lemah. Ini berarti mata uang yang dipergunakan itu adalah mata uang yang populer di kedua negara itu, misalnya dolar. Kurs mata uang tersebut bisa berubah-ubah, tergantung pada situasi ekonomi negara masing-masing. Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu ke waktu secara mekanisme pasar. Bila perubahan itu terlalu tinggi, maka campur tangan pemerintah diperlukan untuk menjaga stabilitas mata uang, karena Islam menginginkan terciptanya stabilitas kurs mata uang. Transaksi jua beli valuta asing sebagaimana yang digambarkan di atas, umumnya diselenggarakan di pasar valuta asing, money changer, bank devisa dan perusahaan bisnis valas.

Perbankan Syariáh sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan international tidak dapat menghindari diri dari keterlibatannya pada pasar valuta asing. Perbankan syariáh harus menyusun pedoman kerja operasional agar dapat mempunyai akses yang luas ke pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Perdgangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan perak (sharf). Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli .

Arahan Rasulullah Saw., dalam hadis Ubadah ibn Shâmit di atas mengindikasikan:
1.    Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukar dengan sejenisnya (Rupiah ke Rupiah atau Dolar ke Dolar) kecuali sama jumlahnya.
2.    Jika berbeda jenisnya (Rupiah ke Yen) dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate dengan catatan harus naqdan atau spot.

G. Norma-norma Syariah dalam Pasar Valuta Asing

Aktifitas perdagangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maisir dan gharar . Dalam pelaksanaannya haruslah memperhatikan beberapa batasan berikut:

1.    Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
2.    Motif pertukaran adalah untuk kegiatan bisnis sektor riil, yaitu transaksi barang dan jasa, bukan dalam rangka spekulasi.
3.    Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya, si A setuju membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
4.    Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5.    Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli) .

Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut, terdapat beberapa tingkah laku perdagangan yang dewasa ini biasa dilakukan di pasar valuta asing konvensional harus dihindari, yaitu antara lain:

1.    Perdagangan tanpa penyerahan (future non delivery trading atau margin trading).
2.    Jual beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage) baik spot maupun foward.
3.    Melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold)
4.    Ekonomi syariah juga melarang transaksi swap.

H. Larangan Spekulasi Dalam Perdagangan Valuta Asing

Pertukaran mata uang atau jual beli valuta asing untuk kebutuhan sektor riil, baik transaksi barang maupun jasa, hukumnya boleh (jaiz) menurut hukum Islam. Namun, bila motifnya untuk spekulasi, maka hukumnya haram. Argumentasi dan dasar pemikiran larangan perdagangan spekulasi valas untuk spekulasi, dirumuskan dalam bentuk poin di bawah ini :

1.    Pendapat Mahathir Muhammad , ia dikenal luas sebagai orang yang mengecam keras praktik perdagangan valas (Margin trading valas) . Larangan keras ini didasarkan pada sejumlah alasan :
a.    Berdagang valuta asing ini tidak ubahnya seperti judi, karena dalam transaksinya penuh dengan spekulasi.
b.    Konstribusi margin trading sangat signifikan terhadap melemahnya rupiah atas dolar AS. Sedangkan melemahnya rupiah atas dolar merupakan bencana bagi ekonomi Indonesia.
c.    Praktik margin trading biasanya tidak mengindahkan fair bussines.
d.    Karena tidak ada proses transaksi riil, para pelaku hanya mengandalkan selisih dari harga valuta pada saat penutupan.

2.    Uang bukan komuditas. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas, telah dijadikan sebagai komoditas.

Menurut Taqiyuddin An-Nabhani  dalam buku An-Nizhâm al –Iqtishadi al-Islâmi,mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada barang dan jasa. Demikian pula Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku ‘ Ilajul Musykilah al-Iqtishâdi bil Islam, memandang uang sebagai medium of  exchange.

Pakar ekonomi Islam sepakat, bahwa perdagangan spekulasi valuta telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia dan senantiasa mengancam ekonomi banyak negara. Oleh karena itu praktik spekulasi valas harus dilarang. Menurut ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor riil, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jada di luar negeri, sebagaimana yang dibutuhkan para jamaah haji, dan lain sebagainya.

Perdagangan valas dalam kegiatan spekulasi adalah sebuah transaksi maya (semu), karena padanya tidak terdapat jual beli sektor riil. Dalam perdagangan valas, yang diperjualbelikan adalah uang itu sendiri, bukan barang atau jasa. Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang atau jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Selisih dan tambahan (gain) yang diperoleh dan jual beli itu termasuk kepada riba. Karena gain itu diperoleh bighairi ‘iwadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.

Tegasnya, gain (harga beli lebih besar dari harga jual) yang diperoleh dalam perdagangan valas adalah riba. Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an pada hakikatnya, merupakan pelarangan terhadap transaksi maya:

وأَحَلّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

 Firman Allah, “Allah menghalalkan jual beli (sektor riil), dan mengharamkan riba. (QS. 2 : 275-279)

I.    Dampak Spekulasi Perdagangan Valuta Asing

1. Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, antara lain menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, justru jual-beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai uang rupiah, karena para spekulan sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi  secara tajam.

Akibat lain adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan sering menimbulkan PHK di mana-mana. APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan dolar. Defisit APBN pun semakin membengkak secata tajam dan lain-lain.

2. Dampak lain transaksi maya dalam perekonomian ialah terjadinya ketidakseimbangan arus moneter dengan arus finansial. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara. Ekonomi konvensional memisahkan antara sektor finansial dan sektor riil, Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang. Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.

Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.

3. Perdagangan mata uang (valas) secar signifikan menimbulkan kerawanan krisis bagi suatu negara. Karena itulah, maka konferensi tahunan Asociation of Muslim scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Islam, menyepakati bahwa  persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.

Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar dijauhkan dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi maya di pasar uang.
J. Fatwa Mui Tentang Sharf
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 28 /DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Sharf) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002, Dewan Syariah Nasional Indonesia,
Menimbang :
1.    Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
2.    Bahwa dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
3.    Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-sharf untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
وأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّب
Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)’ (HR. al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)”.
الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فاذا اءختلف الأصناف فبيعوا كيف شئتم اءذا كان يدا بيد
Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”.
Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai’’.
Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Ulama sepakat (ijma’) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.
Memperhatikan :
1.    Surat dari pimpinan Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878.
2.    Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
Memutuskan:
Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF).
Pertama : Ketentuan Umum
1. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
b.    Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c.    Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing
1.    Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2.    Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3.    Transaksi SWAP, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4.    Transaksi OPTION, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
III.    Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sharf merupakan akad yang dibolehkan dalam Islam selama memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Adapun perdagangan valas atau mata uang asing yang sudah menjadi kebutuhan primer dalam dunia modern, berdasarkan penyesuaian fikih (at-takyif al-fiqhi) dapat dianalogikan dengan sharf, maka hukumnya adalah boleh selama memenuhi rukun, syarat dan ketentuan syariat (dhawabit syar’i). Dengan begitu praktek muamalah Islam tidak kaku harus seperti teks zhahir pada kitab-kitab fikih klasik. Di sinilah tugas kita sebagai penuntut ilmu yang takhasus dalam syariah untuk menjawab berbagai tantangan dan fenomena-fenomena mutakhir dalam ranah ekonomi mau pun di ranah lainnya, dengan menggabungkan pemahaman teks-teks ulama terdahulu dengan realita yang ada. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Jashas. Ahkam al-Quran. Darul Mushaf. Vol 2.
Alquran dan terjemahannya, wakaf kerajaan Saudi.
An-Naqrawi, Ibn Mihna. al-Fawakih ad-Diwani. Cetakan Musthafa Halabi, 1374 H. Vol 2.
Antonio, Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani, 2001. Cet. Ke-12.
Ar-Razi, Abdul Qadir. Mukhtar as-Shihah. Darul Ma’rifah, 2008.
Dewan Syariah Nasional-MUI. Himpunan Fatwa.  Jakarta, 2006.
Hasan, Ahmad. al-Awraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami “qimatuha wa ahkamuha”. Damaskus: Darul Fikr. Cet. Ke-2, 2007.
Markaz ad-Dirâsât al-Fiqhiyyah wa al-Iqtishâdiyyah. Mawsû'ah Fatâwâ al-Mu'âmalât al-Mâliyah.  Kairo: Dâr as-Salam. 2010. Vol. 11
Muqirri, al-Fayoumi.  al-Misbah al-Munir fi Gharibi Syarhil Munir.  Maktabah waqfiyah. Vol I.
Syarbini, Khatib. Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj. Kairo:Musthafa Halabi. Vol 2.
Utsman, Rif’at dan Sayid Salamah. Buhuts fi fiqh al-Ibadat wa al-Mu’amalat “dirasah muqaranah”. Kairo: Diktat Kuliah Syariah wal Qonun Universitas al-Azhar, 2010.
Wizâratul Awqâf wa as-Syuûn al-Islâmiyyah.  al-Mausûáh al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Kuwait. vol. 26.


1 komentar:

  1. Assalamaualaikum
    Mohon maaf jika ingin bertanya lebih mendalam adakah kontak yang bisa saya hubungi?
    Wassalam

    BalasHapus