Rabu, 29 Februari 2012

Kesalahan dalam Hukum Pidana (الخطأ الجنائي)


Kesalahan dalam Hukum Pidana ) ( الخطأ الجنائي[1]
Oleh: Muhammad Rakhmat Alam

Pendahuluan
Adanya kehendak bebas/memilih (hurriyah ikhtiyar) dan intelektualitas/kedewasaan seseorang tidak cukup untuk perkara pidana, akan tetapi mesti adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Kesalahan merupakan esensi pilar maknawi/immaterial dalam delik/tindak kejahatan/jarimah, yang tanpanya tidak ada tampat untuk perkara pidana.  Kesalahan adalah perbuatan melawan hukum, dimana seseorang dipertanggungjawabkan secara hukum pidana atas perbuatannya. Ada dua bentuk kesalahan: a. kesalahan disengaja, b. kesalahan tidak disengaja. Kesalahan disengaja yaitu jika seseorang melakukan tindak kejahatan, mengetahui dan menghendaki akibat dari perbuatannya tersebut. Seperti membunuh seseorang dengan sengaja. Sedangkan kesalahan tidak sengaja yaitu jika seseorang melakukan tindak kejahatan, mengetahui akibat dari perbuatannya tanpa menghendaki akibat dari tindakannya tersebut, seperti seseorang yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di jalan yang ramai yang kemudian menabrak kendaraan lain.
Untuk lebih jelas dan lengkapnya, penulis akan membahas tentang kesalahan dalam hukum pidana dalam 5 sub bahasan:
       I.          Kesalahan disengaja/al-Khata’’Amdi/Dolus
     II.          Kesalahan tidak sengaja/al-Khata ghairu ‘Amdi/Culpa
    III.          Unsur non materi dalam pelanggaran (ringan)
    IV.          Pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain
     V.          Hal-hal yang menghalangi/meniadakan pertangungjawaban pidana

I.       Kesalahan disengaja/al-Khata’ ‘Amdi/al-Qashdul Jina’i

Dalam pembahasan kesalahan sengaja akan dibahas mengenai esensi kesengajaan,  unsur-unsur kesengajaan dan jenis-jenis kesengajaan.

a.      Esensi dan pengertian kesengajaan

Kesalahan disengaja merupakan bentuk biasa yang terjadi dan merupakan bentuk kesalahan yang paling tinggi pada kehendak manusia yang menyebabkannya mendapatkan sanksi hukum atau pidana, karena pelaku kejahatan  itu menginsyafi, menghendaki dan mengetahui melakukan perbuatan yang melawan hukum. Misal: seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, ia menghendaki dan sadar akan perbuatannya.

Ada dua teori tentang kesengajaan:

1.      Teori Pengetahuan / membayangkan

Teori ini mengatakan bahwa sengaja berarti mengetahui dan dapat membayangkan kemungkinan akan akibat yang timbul dari perbuatannya tanpa ada kehendak atau maksud untuk akibat tersebut[2].

2.      Teori Kehendak

Teori ini mengatakan bahwa inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Artinya bahwa pelaku kejahatan berkehendak melakukan perbuatan –yang dipidana hukum- dan menginginkan akibatnya[3]. Teori ini adalah yang paling kuat.
Dari penjelasan dan teori di atas dapat disimpulkan bahwa kesalahan disengaja  (القصد الجنائي) adalah menghendaki dan mengetahui  perbuatan yang dilakukan, yang mana perbuatan itu dipidana secara hukum, serta menghendaki akibat dari perbuatan tersebut.[4]

b.     Unsur-unsur Kesengajaan
Kesengajaan memiliki dua unsur:
1.      Kehendak / al-Iradah

Kehendak merupakan unsur kesengajaan  yang merupakan syarat perbuatan dikenakan pidana secara hukum. Kehendak adalah perbuatan batin yang menginginkan tercapainya tujuan tertentu[5]. Maksudnya adalah kehendak untuk sengaja melakukan tindak kejahatan, dan menginginkan terjadinya akibat dari perbuatan tersebut yang melanggar hukum. Jika terdapat unsur kehendak ini, maka suatu perbuatan tersebut sudah memiliki salah satu dari unsur kesengajaan dan bertanggung jawab dalam kasus tindak pidana sengaja.

Kehendak dalam kesalahan disengaja berbeda dengan kehendak dalam kesalahan tidak disengaja, di mana kehendak dalam kesalahan tidak sengaja hanya sebatas kehendak untuk melakukan perbuatan tanpa ada kehendak tercapainya akibat. Maka, jika seseorang menggunakan senapan api untuk berburu hewan, kemudian menimpa salah seorang di sekitarnya, ia –orang yang menggunakan senjata api tersebut- akan dipidana atas kasus tindak pidana tidak sengaja. Hal itu karena pelaku hanya bermaksud dan berkehendak menggunakan senapan api untuk berburu hewan, bukan berkehendak menembak seseorang yang terkena tembakan api.

2.      Mengetahui atau pengetahuan / al-‘ilm
Pengetahuan merupakan unsur kedua dari kesengajaan yang merupakan syarat perbuatan dapat dikenakan pidana secara hukum. Maksud pengetahuan di sini adalah mengetahui seluruh unsur-unsur pembentuk tindak kejahatan sebagaimana yang telah ditetapkan hukum. Karena itu, jika seseorang melakukan perbuatan dan ia bodoh atau tidak tahu bahwa tindakannya itu dipidana hukum, maka tidak ada unsur kesengajaan dalam tindakkannya[6].
Untuk itu, perlu dibedakan jenis pengetahuan ini, yaitu pengetahuan tentang hukum dan pengetahuan tentang kejadian-kejadian/realita.

Pertama: Pengetahuan tentang hukum
Di antara kaedah umum yang ditetapkan hukum adalah tidak bolehnya membela diri dengan beralasan tidak mengetahui hukum atau undang-undang. Hal ini karena mengetahui hukum merupakan suatu kewajiban. Ini merupakan kaedah yang dipakai disebagian besar Negara di dunia. Dalam hukum Mesir disebutkan bahwa wajib mengamalkan hukum setelah sepuluh hari sejak disebarkannya hukum atau undang-undang, dan penyebaran atau pemberitaan hukum ini merupakan indikasi adanya pengetahuan tentang hukum bagi seluruh masyarakat. Dan maksud mengetahui hukum di sini adalah mengetahuinya dengan bentuk atau pemahaman yang benar.
Hikmah dilarangnya beralasan tidak mengetahui hukum adalah demi supremasi, kepastian dan ketegakan hukum dalam suatu Negara. Namun, untuk menetapkan pengetahuan tentang hukum yang ada merupakan masalah yang sulit. Dalam realita, kaedah umum ini sulit diterapkan, karena banyaknya undang-undang bahkan bagi para aktivis dan pegiat hukum sendiri. Dikarenakan hal itu, para hakim dan pakar hukum melakukan peringanan pada dasar kaedah umum tersebut, yaitu dengan membatasinya bahwa tidak boleh atau dilarang melakukan alasan atau berapologi tidak mengetahui hukum yang ada dalam teks hukum pidana. Di samping itu, dibolehkan beralasan tidak mengetahui hukum pada bererapa keadaan, seperti seseorang yang diblokade dalam suatu tempat disebabkan gempa, perang dan lainnya, kemudian pada waktu itu hukum atau undang-undang disebarkan dan ia tidak mengetahuinya. Apabila orang tersebut melakukan tindak kejahatan maka ia boleh beralasan tidak mengetahui hukum, dengan begitu ia tidak bisa dikenakan pidana.


Kedua: Pengetahuan tentang kejadian/peristiwa
Dalam kaedah umum, seseorang diharuskan mengetahui seluruh kejadian-kejadian penting yang masuk dalam struktur atau rumusan hukum yang merupakan syarat adanya unsur kejahatan atau delik. Hal ini karena ketidaktahuan (al-Jahl) atau kekeliruan (al-Ghalt) dalam kejadian-kejadian tersebut dapat mempengaruhi adanya unsur kesengajaan yang merupakan syarat adanya delik atau kejahatan.
Yang dimaksud dengan ketidaktahuan/al-jahl adalah tidak mengetahui suatu hukum dan tidak pula memahaminya. Sedangkan kekeliruan/ghalt adalah mengetahui dan memahami suatu hukum namun dengan pemahaman yang tidak benar atau salah. Walaupun ketidaktahuan dan kekeliruan adalah suatu yang berbeda akan tetapi pengaruhnya sama dalam kesalahan disengaja. Namun, pengaruh keduanya –ketidaktahuan dan kekeliruan-  berbeda dalam keadaan apabila ketidaktahuan dan kekeliruan itu terjadi pada rukun kejahatan, atau pada keadaan diberatkan dalam kejahatan, atau pada korban dalam kejahatan.

Sebelum membicarakan pengaruh ketidaktahuan dan kekeliruan dalam beberapa keadaan di atas, di sini akan dibahas sebuah kaedah umum bahwa “pembuat undang-undang atau peraturan tidak mempertimbangkan sarana atau wasilah yang digunakan dalam melakukan kejahatan, tidak juga mempertimbangkan waktu melakukan kejahatan dan tempat melakukan kejahatan, kecuali jika peraturan butuh hal tersebut untuk mempertimbangkan terjadinya kejahatan”[7].

Sebuah peraturan, walaupun tidak mempertimbangkan sarana yang digunakan untuk kejahatan, terkadang mempertimbangkannya pada beberapa keadaan. Sebagi contoh: Kejahatan pembunuhan dengan racun.  Kejahatan ini tidak dianggap sempurna rukun delik atau tindak kejahatannya, kecuali jika sarana yang digunakan untuk membunuh adalah materi atau bahan yang sangat mematikan. Begitu juga peraturan terkadang mempertimbangkan waktu melakukan kejahatan pada beberapa keadaan. Seperti yang disebutkan dalam butir 78 UU Pidana Mesir, bahwa setiap orang yang mendorong atau memerintahkan tentara Negara  ketika masa perang  untuk bergabung dan membantu tentara asing akan dihukum gantung. Peraturan terkadang juga mempertimbangkan tempat melakukan kejahatan pada beberapa keadaan. Seperti dalam butir 277 UU Pidana Mesir, bahwa dihukum dengan tahanan selama kurang dari enam bulan seorang suami yang berzina di dalam rumah istri. Berdasarkan keadaan di atas, jika pelaku kejahatan tidak mengetahui bahan mematikan (sarana) atau tidak mengetahui waktu dan tempat ketika ia melakukan kejahatan, maka unsur kesengajaan dianggap tidak ada.

Macam-macam ketidaktahuan dan kekeliruan serta pengaruhnya:

1-     Ketidaktahuan dan kekeliruan pada rukun kejahatan atau tindak pidana.
Para ahli hukum sepakat[8] bahwa dalam keadaan tidak tahu atau keliru pada rukun kejahatan, maka kejahatan tersebut bukan merupakan kesengajaan. Sebagai contoh pada kejatahan pembunuhan, pelaku kejahatan harus mengetahui tempat terjadinya kejahatan terdapat manusia. Jika seseorang menggunakan senapan api, dan dia memiliki prasangka kuat bahwa ada hewan buas dari jarak jauh yang akan menerkamnya padahal itu adalah manusia, kemudian ia melesatkan senjatanya, maka dalam keadaan ini ia tidak dipidana dengan pembunuhan sengaja. Contoh lain adalah jika seseorang masuk ke Mesjid dan melepaskan sendalnya, kemudian ketika keluar ia memakai sandal orang lain dan berprasangka kuat bahwa yang ia pakai adalah sandalnya, maka ia tidak dianggap sebagai pencuri. Contoh kejahatan di atas tidak dianggap sengaja karena salah satu rukun tindak pidana atau kejahatan tidak ada, yaitu rukun non materi atau kehendak –membunuh orang dan mencuri- dan mengetahui.
2-     Ketidaktahuan dan kekeliruan dalam keadaan diberatkan hukuman
Jika seorang pembantu mencuri harta atau barang majikannya, maka hukuman untuk dia diberatkan sesuai undang-undang. Akan tetapi jika ia tidak tahu harta itu adalah milik majikannya, maka dia dihukum dengan pidana pencurian biasa. Jika seseorang kembali melakukan kejahatan, dalam hal ini ia akan diberikan hukuman lebih berat sesuai undang-undang, akan tetapi jika ia tidak tahu bahwa ia telah melakukan kejahatan tersebut dua kali maka hukumannya tidak diberatkan.
3-     Kekeliruan pada korban kejahatan
Contohnya, jika si A menargetkan membunuh B, ketika akan beraksi yang terbunuh adalah si C. Dalam contoh ini para ahli hukum sepakat si pelaku dihukum dengan pidana kejahatan sengaja, karena si A sedari awal meniatkan menghilangkan nyawa seseorang yaitu si B, dan hukum menjamin setiap jiwa insan.
c.      Jenis-Jenis atau Bentuk Kesengajaan

1.      Kesengajaan umum dan khusus  (القصد العام و الخاص)
Kesengajaan umum ialah kesengajaan yang memiliki dua unsur yaitu kehendak atau maksud dan pengetahuan atau mengetahui. Kesengajaan ini merupakan syarat umum dalam setiap tindak pidana. Selain itu ada beberapa kejahatan atau tindak pidana yang ditetapkan hukum sebagai tambahan dari kesengajaan umum, yaitu niat khusus si pelaku kejahatan, di mana niat ini merupakan factor pendorongnya untuk melakukan kejahatan. Niat khusus ini dinamakan kesengajaan khusus. Contohnya adalah delik pemalsuan dokumen / jarimah at-tazwir. Delik ini tidak cukup adanya kehendak si pelaku untuk memalsukan dokumen dan mengetahui perbuatan pemalsuannya tersebut. Tetapi, mesti ada niat khusus atau terselubung dari tindakan pemalsuannya itu, yaitu niat untuk menggunakan dokumen yang dipalsukannya.
2.      Kesengajaan ditentukan dan tidak ditentukan (القصد المحدد و غير المحدد)

Kesengajaan ditentukan ialah kesengajaan yang objek akibat kejahatannya ditentukan. Seperti si A yang bermaksud membunuh si B. Orang yang ingin dibunuh si A sudah ditentukan yaitu si B. Kesengajaan tidak ditentukan ialah kesengajaan yang objek akibat kejahatannya tidak ditentukan. Seperti seorang yang meletakkan bahan peledak ditengah lapangan yang dilalui orang banyak, ledakkan itu menyebabkan terbenuhnya beberapa orang yang lewat dan mengenai orang disekitarnya.  Jenis kesengajaan ini meski berbeda namun sama di dalam pertanggungjawaban hukum.

3.      Kesengajaan biasa dan kesengajaan berencana  (القصد البسيط و القصد المصحوب بسبق إصرار)

Kesengajaan biasa adalah kesengajaan yang tidak didahului perencanaan dan antisipasi. Pelaku kejahatan tidak memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan kejahatannya. Sedangkan kesengajaan berencana adalah adalah kesengajaan yang telah direncakan, dirancang, dipikirkan dan memiliki waktu/jeda  yang cukup antara rencana dengan timbulnya kejahatan.

4.      Kesengajaan langsung dan tidak langsung (القصد المباشر و القصد غير المباشر)
Kesengajaan langsung adalah kesengajaan yang langsung tertuju atau terkena pada orang yang dituju. Sedangkan kesengajaan tidak langsung adalah kesengajaan yang akibat dari kejatahan itu ada kemungkinan akan terjadi kejatahan lain. Contohnya: si A hendak membunuh B, si A mengirimkan kue beracun ke rumah B, ia tahu B tinggal bersama istri dan anak-anaknya, A menyadari ada kemungkinan istri B dan anaknya memakan racun itu akan mati, tapi ia tetap mengirim kue beracun tersebut. Pada keadaan ini, jika istri B atau anaknya mamakan kue dan kemudian meninggal, maka A dianggap memiliki unsur kesengajaan yang tertuju pada istri dan anak si B, kesengajaan ini dinamakan tidak langsung.
·        Menetapkan ada dan tidak adanya kesengajaan
Kesengajaan merupakan perkara batin yang sulit dilihat, karena itu untuk menetapkannya perlu adanya indikasi-indikasi eksternal yang menunjukkan adanya kesengajaan.

II.     Kesalahan tidak disengaja/kealpaan/al-Khata ghairu ‘Amdi/Culpa
Pada umumnya, setiap kejahatan atau tindak pidana adalah disengaja, karena adanya unsur-unsur kesengajaan, yaitu kehendak untuk melakukan kejahatan dan kehendak terwujudnya akibat serta mengetahui seluruh unsur-unsur kejahatan yang ditetapkan hukum. Akan tetapi, terdapat pengecualian pada beberapa kejahatan atau delik yang merupakan kesalahan tidak disengaja atau kelapaan. Untuk lebih  jelasnya akan dibahas pengertian kealpaan, bentuk-bentuk kealpaan dan jenis-jenis kealpaan.
a)      Pengertian Kealpaan
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Tapi, para pakar dan ahli hukum pidana membuat definisi kealpaan, yaitu “mengarahkan kehendak untuk melakukan kejahatan, tetapi tidak mengarahkan kehendak untuk terwujudnya akibat dari perbuatan tersebut, dan terjadinya akibat tadi merupakan hasil dari kesalahan pelanggar/al-jani karena ia dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat bahkan dapat mencegah terjadinya akibat tersebut”[9]
Di dalam peraturan atau hukum Mesir, kesalahan tidak disengaja atau kealpaan tidak memiliki tanggung jawab pidana, kecuali pada beberapa hal. Sebagai contoh, jika seorang polisi penjaga lalai dalam menjaga tahanan, kemudian tahanan tersebut kabur, maka polisi penjaga tadi dikenakan sanksi pidana. Pada sanksi kesalahan ini, disyaratkan terjadinya kejahatan dan adanya hubungan sebab-akibat, serta bahaya. Karena itu, jika polisi penjaga lalai namun tidak menyebabkan tahanan kabur, maka penjaga terbebas dari kesalahan pidana. Penyebab kealpaan diantaranya teledor, sembrono, lalai, tidak hati-hati dll.
Beberapa pakar hukum pidana berpendapat tidak adanya pertanggungjawaban pidana pada kejahatan atau tindak pidana tidak disengaja, hal ini karena pelanggar tidak menginginkan/berkehendak akibat. Akan tetapi, faktanya bahwa kehendak manusia dalam kejahatan itu tidak terlepas dari dosa atau kesalahan. Karena manusia diharuskan menjauhi segala keadaan atau kesalahan yang dapat menyebabkan bahaya terhadap orang lain. Oleh sebab itu, sebagain pakar hukum berpendapat bahwa pelanggar memiliki tanggung jawab pidana.
b)      Bentuk-bentuk Kealpaan

1.      Kealpaan yang disadari (الخطأ مع التوقع)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.
2.      Kealpaan yang tidak disadari (الخطأ مع عدم التوقع)
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
c)      Jenis-jenis Kealpaan

1.      Kealpaan berat dan kealpaan ringan
Kealpaan berat yaitu kealpaan yang terjadi pada kejahatan hukum pidana. Sedangkan kealpaan ringan yaitu kealpaan yang terjadi pada kejahatan hukum perdata/madani. Pembagian ini tidak begitu kuat, dan mayoritas ahli hukum tidak membedakan pembagian ini.

2.      Kealpaan materi dan kealpaan teknis
Kealpaan materi maksudnya adalah tidak memperhatikan keharusan untuk berhati-hati atau tidak memperhatikan larangan yang ditekankan pada seseorang. Seperti seorang dokter yang sedang memeriksa pasien dan dokter tersebut dalam keadaan mabuk/kurang hati-hati, kemudian dokter tersebut salah memberikan obat pada pasien, atau ketika operasi lupa mengeluarkan alat operasi dari tubuh pasien. Kealpaan teknis adalah kesalahan yang dilakukan oleh para ahli dalam bidang tertentu. Seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien namun tidak mengikuti prosedur yang ada, atau seorang arsitek tidak melakukan prosedur pembangunan yang ada sehingga terjadi keruntuhan.  Pembagian ini juga ditentang para ahli hukum.

III.    Unsur nonmateri dalam pelanggaran (ringan) (الركن المعنوى فى المخالفات)

Dalam kaedah umum pelanggarang ringan disebutkan bahwa hukum tidak mensyaratkan terjadinya pelanggaran ini adanya kesalahan disengaja atau tidak disengaja yang merupakan unsur maknawi. Ahli hukum Perancis berpendapat bahwa terdapat pelanggaran yang cukup dengan unsur materi. Akan tetapi, kenyataanya bahwa tidak ada kejahatan tanpa adanya unsure maknawi/nonmateri. Kaedah ini dipakai dalam hukum modern, karena itu dalam pelanggaran disyaratkan adanya unsur non materi. Apabila tidak dijelaskan secara jelas unsur nonmateri dalam hukum atau undang-undang, maka hal ini diserahkan pada hakim dan lembaga peradilan, sehingga hakim dapat meperberat hukuman tau meringankannya.

IV.   Pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain
Dalam peraturan hukum pidana modern terdapat dasar atau asas tanggung jawab pidana pribadi dan asas sanksi pribadi. Begitu juga hukum mensyaratkan tidak adanya sanksi kecuali pada seseorang yang telah ditetapkan atas kesalahannya. Akan tetapi, terdapat pengecualian , yaitu dihukumnya seseorang yang tidak ikut dalam penyertaan tindak pidana dengan sifat serikat. Contohnya adalah, diberikannya sanksi pada pimpinan redaksi sebuah majalah atau Koran atas kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan pada medianya. Si pemimpin redaksi tersebut tidak dapat pemaafan kecuali jika mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan medianya.
V.     Hal-hal yang menghalangi/meniadakan pertangungjawaban pidana (موانع المسئولية الجنائية)
Ada beberapa hal atau alasan seseorang yang melakukan tidan pidana tapi tidak dijatuhi pidana atau bertanggung jawab terhadap tindak pidana. Alasan tersbut adalah sebagai berikut:
1.      Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, yakni :

a)      Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau gangguan kejiwaan atau gila.
b)      Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana, melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
2.    Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu, yaitu:
a)      Daya paksa atau overmacht;
Contoh: A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya antara menyerahkan atau tidak. Di sini harus dilihat mana daya yang kuat, si A atau si B, jika daya tekan A lebih kuat, dan B terpaksa menyerahkan uang, maka B tidak dijatuhi pidana. Akan tetapi jika daya B kuat dan mempunyai daya untuk tidak menyerahkan, maka jika B menyerahkan uang pada A, ia akan dikenakan pidana.

b)      Pembelaan terpaksa atau noodweer;
Contoh: Si A mengajak kelahi dengan si B, A mengeluarkan pisau dan ada kinginan membunuh si B, B terpaksa mengambil batu dan memukul kepala si A sehingga A mati.
c)      Dalam keadaan darurat;
Contoh: Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau keduaduanya
tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO). Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

d)      Melaksanakan perintah jabatan .
Contoh: seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.

Perbedaan antara keadaan darurat danpembelaan darurat:
1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative.


[1]  Makalah ini disampaikan dalam kajian fakultatif FSQ, 26 Februaru 2012.
[2]  Dr. Samih Sayyid Jad, Syarh Qonun Uqubat, 2007, hal. 355. Disadur  dalam buku Manuale de diritto penale parte generale Giuffre Milano, 1969, hal. 33-34, karangan Antolisei.
[3]  Ibid.
[4]  Ibid. Hal. 356
[5]  Ibid. Hal. 357
[6]  Ibid. Hal. 358
[7]  Ibid. Hal. 361
[8]  Dr. Said Mustafa, al-Ahkamul ‘amah fi Qonunil ‘Uqubat, 1960, hal. 414
[9]  Dr. Samih Sayyid Jad, op. cit., hal. 375-376

Minggu, 26 Februari 2012

Apakah Cinta Sejati itu?"


Pada suatu hari Aristoteles bertanya pd Gurunya : "Apakah Cinta Sejati itu?"

Guru: Berjalanlah lurus di taman Bunga yg Luas, Petiklah 1 bunga yg Terindah menurutmu, Dan jangan pernah berbalik ke belakang !

Kemudian Aristoteles melaksanakannya dan
kembali dgn tangan hampa..

Guru: mana Bunganya?

Aristotles menjawab: Aku tidak bisa mendapatkannya, sebenarnya aku telah menemukannya, tpi aku berfikir, didepan ada yg LEBIH Bagus lagi....ketika aku telah sampai di ujung taman, aku baru sadar bahwa yg aku temui pertama tadi adalah yg terbaik, tapi aku.tidak bisa kembali lg ke belakang...

Guru: seperti itulah Cinta Sejati,
semakin kau mencari yg terbaik, maka kau tak akan pernah menemukannya..
Jika kau sudah menemukan cinta dan terikat dalam sebuah hubungan, janganlah sekali-sekali mencoba tuk berpaling kelain hati, karena itulah awal sebuah kehancuran.
Jangan pernah mengabaikan cinta yang sudah kau raih, hanya karena pesona cinta semu disekitarmu, karena itu hanya dipermukaan saja yang kau lihat.

Perhatianmu kepada cinta yang lain, biasanya melebihi dari cinta yang telah kau dapat, itulah yang mengawali sebuah perselingkuhan hati, hentikan jika itu sudah merasukimu, kembalilah kepada keabadian cintamu.

Jangan pernah sia-siakan cinta yg pernah tumbuh dihatimu..
Karena waktu tidak akan pernah berputar dan kembali..

Kamis, 23 Februari 2012

Turba DP, DNM dan BPRG KMM Mesir ke Zagazig


Cairo-Samanut-Zagazig, 20 Februari 2012

Mengawali proyek kegiatan KMM Mesir di term II, DP bersama DNM (Dewan Niniak Mamak) dan  BPRG (Badan Pengelola umah Gadang) KMM Mesir melakukan kunjungan silaturahim ke beberapa daerah di Mesir tempat warga KMM menetap, Samanut dan Zagazig. Kunjungan ini adalah salah satu program kerja DP KMM di term II sejak pembukaan kegiatan KMM rabu lalu (15/02/12) yang menghadirkan Bapak Dubes RI Mesir, Drs Nurfaizi, MM serta Bapak Atase Pendidikan KBRI Cairo, Prof. Dr. Sangidu, M.Hum. Beberapa kegiatan DP KMM di term ini sudah terlaksana diantaranya adalah “Temus Cup” yang dijuarai oleh Mantiqah Bawwabah, Madrasah dan Saqar. Sedangkan yang sedang berlangsung sampai sekarang adalah “Pelatihan Mawarits”.
Tepat jam 10.20, senin pagi (20/02/12) rombongan bertolak dari tajammu’ awal menuju Samanut. Beberapa nama yang ikut dalam rombongan diantaranya: Ust. Lasri Nijal, Ust. Riki Saputra Ust. Afdhal Syukri dan Ust. Rakhmat Alam untuk perwakilan DP. Kemudian Ust. Jasriwaldi, Ust. Joni Ferdi dan  Ust.Fakhru Ridho untuk perwakilan BPRG. Selanjutnya, Ust. Zulfi Akmal MA untuk perwakilan DNM dan Ust. Edo bertindak sebagai pengemudi. Dengan mobil mungil Toyota Avanza, rombongan dari DP, DNM dan BPRG KMM yang berjumlah 9 orang harus berlapang hati dengan bersempit kursi selama perjalanan. Perjalanan dari Cairo-Samanut kurang lebih memakan waktu 3 setengah jam. Sesampai di Samanut, rombongan dari Cairo disambut oleh tuan rumah Ust. Agil dan Ust. Riko Abdullah Lc, yang kemudian melaksanakan sholat zuhur berjama’ah di Mesjid dekat kediaman rumah Ust. Riko Abdullah.
 Setelah melaksanakan shalat zuhur dan menjama’nya dengan ashar, rombongan menuju rumah Ust. Riko. Silaturahim antara DP KMM di Cairo dengan dun sanak KMM di Samanut berlangsung harmonis, tidak terlalu formal dan penuh kecintaan akan tali persaudaraan. Rombongan yang sedari pagi menahan lapar dan haus dahaga, disuguhi aneka macam makanan buah tangan dari Ummu Muslim. Pertemuan diawali dengan maota lamak dibarengi santap hidangan pembuka. Selanjutnya, masuk ke acara inti yaitu sambutan dari tuan rumah dan beberapa patah kata dari DP, BPRG dan DNM yang diprotokoli oleh Uts. Ridho. Sambutan tuan rumah disampaikan oleh Ust. Riko dengan bahasa arab. Kefasihan bahasa arab, intonasi dan pengucapan beliau cukup memberi rasa kagum pada kami dari rombongan Cairo, karena beliau memang cukup terkenal dan sering memberikan khutbah jum’at bagi warga Mesir, sebuah prestasi yang tidak biasa bagi mahasiswa asing. Isi sambutan beliau adalah hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang keutamaan silaturahim dan mengunjungi sahabat dan kerabat karena Allah, bukan karena maksud lain. Matan hadits itu menjelaskan bahwa Allah mengirim malaikat pada sesorang yang sedang dalam perjalanan untuk menziarahi saudaranya, dan Allah pun mencintai seseorang yang mencintai saudaranya karena -Nya.
Sambutan selanjutnya disampaikan oleh ketua KMM, Ust. Lasri Nijal. Beliau menyampaikan sepatah kata dan situasi Kairo terkini serta beberapa program KMM term II. “Ternyata jarak Cairo ke daerah cukup jauh, dan kami yang tinggal di Kairo harus memaklumi jika kawan-kawan di daerah tidak bisa menghadiri acara di Kairo, karena harus mengorbankan waktu, tenaga, dan uang”, ujar Nijal.
Sambutan selanjutnya disampaikan oleh direktur BPRG, Ust. Jasriwaldi. Beliau menjelaskan bagaimana kondisi rumah gadang. Jasri menuturkan bahwa “rumah gadang adalah rumah kita bersama, jika ada kawan dari daerah datang ke Cairo, bisa mampir dan bermalam agak barang sehari dua hari atau lebih di rumah gadang”. Terakhir sambutan disampaikan oleh Ust. Zulfi Akmal. Beliau mengatakan bahwa ziarah ini bukan hanya kunjungan seremonial belaka, tapi kunjungungan ini merupakan sarana tukar pendapat dan juga menambah ilmu. Setelah acara inti selesai, acara paling inti pun dimulai, yaitu makan basamo dengan menu rendang spesial. Usai makan, rombongan Kairo berpamitan untuk pergi menuju Zagazig.

Insiden di tengah perjalanan menuju Zagazig
Hidup tak selamanya indah, begitu juga jalan tak selamanya mulus, dan itu yang menimpa pada perjalanan rombongan menuju Zagazig. Di tengah perjalanan, terjadi tabrak lari. Sebuah truk besar menabrak pengendara sepeda motor dan menyeretnya hingga tewas mengenaskan. Tidak tahu siapa yang sebenarnya salah, si penabrak langsung dibawa lari dengan tramco oleh orang tak di kenal, dengan tujuan menyelamatkannya dari amukan warga sekitar dan karib kerabat korban. Rombongan terjebak di TKP selama beberapa jam akibat ban yang dibakar dan diletakkan di tengah jalan. Kemacetan jalan akhirnya kembali normal, ketika truk besar yang menabrak korban dibakar oleh oknum tak bertanggung jawab yang memberikan nyala api begitu besar.  Iklim dingin berubah menjadi hangat dan panas, rombongan dengan ligat menjauh dari TKP dan secepatnya menuju Zagazig agar tak terlambat dan kemalaman.
Setiba di Zagazig, rombongan disambut salah seorang warga KMM, Ust. Kasmon. Selanjutnya rombongan mengunjungi rumah Ust. Lingga yang istrinya baru melahirkan beberapa hari lalu. Anak beliau bernama Yahya. “Insya Allah akan dibari nama Yahya el Fakhri”, terang Lingga. Setelah itu, rombongan menuju kediaman Ust. Kasmon yang berjarak tidak jauh dari kediaman Ust. Lingga.
Di kediaman Ust. Kasmon beserta kawan-kawan lainnya, sempat diadakan pelatihan Ruqyah, menyingkap rahasia ruqyah dan alam ghaib berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang langsung dipaparkan oleh pakarnya Ust. Zulfi Akmal. Banyak hal-hal baru yang selama ini belum diketahui sekarang diketahui. Para pendengar sangat antusias dan menikmati serta meresapi ceramah dari Ust. Zulfi. Usai pelatihan ruqyah, seluruh rombongan dan warga Zagazig yang hadir dalam acara makan bersama dengan menu yang tidak jauh beda dari menu di Samanut, yaitu rendang. Kali ini rendangnya adalah buah tangan Ust. Doni Lc, pakar masak-memasak KMM.
Hari sudah larut malam, seluruh rangkaian acara sudah dilaksanakan, selanjutnya para rombongan kembali pulang menuju Kairo. Sebelum pulang, rombongan diberikan hadiah buku oleh Ust. Kasmon yang berjudul “adwaus sunnah”. Dan, sekitar jam 12 lewat, rombongan sampai di tajammu’ awal dengan selamat. -The End-






Kamis, 09 Februari 2012

Sistem Ekonomi Islam dan Kapitalis

Sistem Ekonomi Islam dan Kapitalis

Oleh : Muhammad Rakhmat Alam[1]

Pendahuluan

Keruntuhan dan lumpuhnya system ekonomi modern –kapitalis dan sosialis- disertai guncangan krisis berkala yang menimpa system ekonomi tersebut, secara jelas dan pasti perlunya memikirkan dan menemukan sistem ekonomi lain yang lebih mapan, tahan dan mampu membawa kesejahteraan serta keadilan. Dan sistem yang sedang mencuat saat ini adalah sistem ekonomi Islam.

Jack Ostri –ilmuwan ekonomi berkebangsaan Perancis- mengatakan: “jalan perkembangan ekonomi tidak terbatas pada dua sistem ekonomi yang sudah ma’ruf yaitu kapitalis (ra’sumali) atau sosialis (isytiraki), akan tetapi terdapat mazhab ekonomi ketiga, –ia merajihkan- mazhab ekonomi ketiga tersebut adalah ekonomi Islam. Ekonomi Islam akan memimpin dunia di masa mendatang, karena sistemnya yang sempurna dan integral serta sesuai untuk setiap masa dan zaman”.[2]

Pengakuan ini untuk membongkar sisi-sisi kekurangan yang terdapat pada mazhab ekonomi kapitalis dan sosialis. Karena pemikiran kedua ekonomi tersebut berasal dari kecondongan manusia, dimana kapitalis condong pada kepemilikan individu sedangkan sosialis condong kepada kepemilikan bersama. Selain itu, kedua mazhab ekonomi ini tidak menaruh perhatian terhadap nilai-nilai akhlak dan agama, tidak memperhatikan yang halal dan haram, adil dan zalim, akan tetapi hanya mementingkan bagaimana tercapainya manfaat dan keuntungan[3]. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang komprehensif (kamil) dan universal (syamil) serta mejadi rahmat bagi semesta alam yang insya Allah akan dijelaskan pada pembahasan berikut .

Adapun pembahasan dalam makalah ini mencakup tiga sub pembahasan:

1.     Ta’rif atau definisi ekonomi Islam serta karakteristiknya.
2.     Prinsip atau unsur pokok ekonomi Islam.
3.     Sistem Kapitalis

I.      Definisi ekonomi Islam dan karakteristiknya

Pada sepertiga akhir abad 20, muncul ilmu baru yang menggabungkan studi fikih dan ekonomi dimana para peneliti menggunakan istilah “ilmu ekonomi Islam”. Hal itu ditetapkan pada konferensi internasional pertama ekonomi Islam di Makkah tahun 1976 M. Selepas konferensi tersebut perbankan Islam mulai tersebar ke seluruh dunia. Berbagai penilitian, pembahasan, buku-buku tentang ekonomi Islam pun banyak diperbincangkan.

1.     Definisi Ekonomi Islam.

Ekonomi Islam tersusun dari dua kata “Ekonomi” dan “Islam”. Ekonomi terambil dari lafadz Yunani yaitu “pengaturan urusan rumah tangga”[4], sedangkan dalam kamus arab ekonomi memiliki makna keseimbangan, pertengahan, moderat dan lurus. Dalam mafhum fuqaha, ekonomi merupakan suatu yang terkait dengan muamalah yang berhubungan dengan harta serta perilaku hidup yang bersumber dari dasar agama Islam.  Adapun kata Islam yaitu agama yang bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunah.

Dari sini para ahli ekonomi Islam mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu yang membahas metode pengaturan dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi yang terbatas yang diproduksi dalam bentuk barang dan jasa, untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas dan beraneka macam, dalam naungan nilai-nilai Islam, tradisi, dan kebudayaan suatu masyarakat”[5]. Ia juga merupakan ilmu yang membahas metode pendistribusian produk ekonomi yang kegiatan produksinya berdasarkan nilai dan prinsip Islam.


2.     Karakteristik Ekonomi Islam

Ekonomi Islam memiliki keistimewaan dengan ciri dan karaketristik khusus yang tidak didapati pada ekonomi kapitalis atau sosialis. Karena referensi ekonomi Islam adalah syariat Islam yang dilahirkan dari Sang Pencipta Allah SWT bukan dari pemikiran manusia. Syariat Islam dipenuhi dengan nilai-nilai universal, keutamaan dan adab seperti keadilan, kebebasan, musyawarah, kesabaran, tanggung jawab, dan independensi.

Di antara sifat dan karakteristik ekonomi Islam sebagai berikut:

a.      Ekonomi Islam adalah ekonomi ilahi/rabbani. Maksudnya adalah Allah SWT sebagai pembuatnya, sehingga dasar-dasar dan tasyri’ nya bersifat tetap dan tidak dapat dirubah atau ditukar seiring dengan peribahan zaman dan umat. Akan tetapi, pada bagian furu’ atau cabangnya tidak dilarang adanya interfensi manusia melalui ijtihad demi kemaslahatan umum. Karena ekonomi Islam bertumpu pada kaedah fiqih "أن الشريعة مبنية على التيسير ورفع الحرج" (syariat Islam dibina atas kemudahan dan mengangkat kesukaran)[6], dan berdasarkan firman Allah SWT “وما جعل عليكم في الدين من حرج  (Allah tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama) {al-Hajj:78}.

b.     Ekonomi Islam adalah ekonomi ‘aqidi. Ini merupakan ciri terpenting, dimana dalam al-Qur’an dan Sunah lafadz akidah datang dengan lafadz al-Iman yang memiliki tujuan al-amn atau keamanan, Allah SWT menjelaskan, (orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk) {al-An’am:82}. Dan yang menunjukkan hubungan dan kaitan antara ekonomi dengan iman adalah firman Allah SWT, (dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan) {al-A’raf:96}. Dari ayat ini jelaslah bahwa iman dan takwa merupakan sebab utama majunya dan terwujudnya kesejahteraaan dalam ekonomi Islam.

c.      Ekonomi Islam adalah ekonomi akhlaqi. Maksudnya adalah seorang muslim harus menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Sunah dalam setiap muamalahnya, diantaranya:
v Sifat amanah dan jujur dalam setiap muamalah dan interaksi. Allah SWT menerangkan, (wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui) {al-Anfal:27}. Kemudian dari Sa’id al-Khudri, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “pedagang yang amanah dan jujur bersama para Nabi, orang-orang jujur dan para syuhada”.
v Memperhatikan yang halal dan yang haram dalam melaksanakan aktifitas ekonomi, dengan melakukan apa yang dihalalkan dan menjauhi apa  yang diharamkan. Allah SWT berfirman, (dan Allah telaah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba) {al-Baqarah:275}.

d.     Ekonomi Islam adalah ekonomi waqi’i. Ekonomi Islam bersifat riil bukan khayalan, ekonomi Islam memiliki tujuan dan arah yang jelas karena prinsipnya selaras dengan realita manusia. Dalam pandangan Islam, manusia harus bersandar pada kemungkinan dan zuruf lingkungannya, dan manusia tidak dibebani dengan apa yang tidak dapat mereka sanggupi[7]. Dalam al-Qur’an dijelaskan, (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya) {al-Baqarah:286}.

e.      Ekonomi Islam adalah ekonomi syamil (universal). Ekonomi Islam tidak hanya mementingkan aspek materi, tetapi menjangkau aspek ma’nawi, spiritual dan akhlak serta mencakup seluruh kebutuhan manusia. Ekonomi Islam berusaha mengadakan kebutuhan pokok manusia seperti makanan, minuman, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, kebebasan dan kebutuhan lainnya dengan tetap menjaga hak-hak individu dan umum.

II.    Prinsip atau Unsur Pokok Ekonomi Islam

Ekonomi Islam berdiri atas tiga pondasi, yaitu:

1.     Milkiyah Muzdawijah (kepemilikan ganda).

Kepemilikan dalam Islam memiliki perbedaan esensi jika dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya. Dalam sistem ekonomi kapitalis kepemilikan terpusat pada pribadi atau individu. Seseorang memiliki hak milik dan penguasaan penuh dan mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi dan kekayaan tanpa ada batas dan syarat, hatta jika itu bertentangan dengan maslahat umum. Kemudian kepemilikan dalam sistem ekonomi sosialis terpusat pada pemilikan bersama, yaitu pemilikan untuk seluruh masyarakat[8].

Adapun kepemilikan dalam Islam pada asalnya adalah milik Allah SWT. Dalam al-Quran dikatakan (dan milik Allah kerajaan langit dan bumi, dan Allah berkuasa atas segala sesuatu) {al-Imran:189}. Manusia hanya menjadi pengganti dalam kerajaan Allah di langit dan bumi dan mengelola serta memanfaatkannya demi keberlangsungan hidup. Karena itu, walaupun seorang muslim memiliki hak pemilikan, tapi ia harus tunduk dengan ketentuan syariat Islam. Manusia disyaratkan harus menjaga bumi dan langit Allah, mengelolanya dengan cara yang adil, tidak menyiakan dan merusaknya. Selain itu Islam juga memberikan wali amri atau pemerintah untuk melindungi, mengawasi dan menjaga sumber-sumber kekayaan alam untuk kepentingan umat.

Di samping itu,  Islam juga membolehkan kepemilikan bersama atau umum, dimana seseorang dilarang memilikinya karena terikat dengan kepemilikan bersama, dan harus memanfaatkannya secara bersama. Seperti jembatan, lalu lintas, dan taman-taman umum.

2.     Al-Hurriyah al-Muqayyadah (kebebasan yang dibatasi).

Asal muamalah dalam ekonomi Islam adalah mubah dan bebas kecuali jika ada nash atau dalil yang mengharamkannya. Maka, seorang muslim bebas melakukan muamalah yang ia sukai dan tidak ada yang melarangnya kecuali jika didapati hal tersebut bertentangan dengan syariat Islam[9].

Kebebasan dalam Islam tidak mutlak atau absolute, tapi terkait dan dibatasi oleh nilai-nilai akhlak dan syariat. Jika terjadi pertentangan antara maslahat individu dengan maslahat umum maka didahulukan maslahat umum. Dalam ekonomi Islam dilarang menyia-nyiakan tanah, menimbun harta, memonopoli barang, riba, penipuan dan berbuat keburukan pada orang lain.  

3.     Al-‘adalah Ijtima’iyah (keadilan sosial).

Keadilan sosial merupakan salah satu asas ekonomi Islam, karena masyarakat sosial adalah makhluk terhormat dan mulia. Keluarga diikat dengan kasih sayang dan hubungan erat, masyarakat saling tolong menolong dalam kebaikan dan manfaat, yang kuat menolong yang lemah, yang berilmu mengajarkan yang bodoh.

Di antara contoh keadilan dalam Islam adalah adil dalam pendistribusian pendapatan. Islam mengharamkan penimbunan karena tindakan tersebut menjadikan harta berputar pada satu kelompok tertentu. Islam telah memberikan cara pendistribusian pendapatan atau kekayaan dengan cara mewajibkan zakat. Zakat diambil dari harta orang kaya kemudian dibagikan kepada para fakir miskin. Selain itu Islam juga menganjurkan sedekah, sehingga harta dapat dirasakan seluruh umat dan tidak ada kesenjangan sosial.

III.   Sistem Kapitalis

Kapitalisme merupakan sebuah ideologi terbesar dan terkuat saat ini, paham kapitalisme telah tersebar ke seluruh dunia. Ideologi ini telah masuk ke berbagai aspek kehidupan, seperti politik dan ekonomi yang kemudian menjadi sebuah teori dan sistem bagi dua aspek tersebut. Kekuatan dan kebesaran sistem kapitalis tak lepas dari kemenangan Amerika sebagai pemenang perang dunia II, kekuatan politik Amerika yang bercorak kapitalis telah mempengaruhi corak sistem politik dan ekonomi dunia. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengupas secara ringkas sistem kapitalis seputar definisi, karakteristik dan kelemahannya.

a.      Definisi Sistem Kapitalis

Sistem Kapitalis adalah sistem yang dibangun atas kepemilikan individu sebagai unsur produksi, kebebasan pengaturan bagi individu dalam menjalankan kegiatan ekonominya dan kebebasan persaingan setiap usaha antara masing-masing individu dengan tujuan mendapatkan materi dan keuntungan sebesar-besarnya.[10]

b.     Karakteristik Sistem Kapitalis

1.     Kepemilikan pribadi sebagai unsur produksi[11].

Sebagaimana definisi di atas, kapitalisme dibangun atas kepemilikan individu, kepemilikan individu ini diakui dan dijaga oleh undang-undang. Setiap individu memiliki kebebasan mutlak mentasharufkan apa yang dimilikinya dan bebas mengeksploitasinya selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

2.     Orientasi atau motif keuntungan[12].

Keuntungan adalah factor utama dalam menambah produksi, dan penggerak utama dalam setiap keputusan yang diambil oleh para pengusaha. Setiap pengusaha dalam sistem kapitalis bebas melakukan kegiatan ekonominya sesuai yang ia inginkan dan sesuai dengan maslahatnya tanpa melihat maslahat umum.

3.     Siyadatul mustahlik (kekuasan konsumen)

Maksudnya adalah jumlah produksi barang ditentukan dengan tingkat konsumsi dari konsumen atau selera pasar.

4.     Munafasah (persaingan)

Dalam sistem kapitalis para pedagang saling berlomba dan bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari penjualan barang dan jasanya, persaingan antara pedagang ini menyebabkan persaingan antara para konsumen, dan dampak dari persaingan ini adalah naiknya harga barang atau tidak ada keseimbangan harga.

c.      Kelemahan Sistem Kapitalis

1.     Adanya monopoli (ihtikar) dan persaingan ekonomi yang tidak sehat.

2.     Buruknya pendistribusian pendapatan dan kekayaan.

3.     Menambah pengangguran dan adanya krisis berkala.

4.     Kebebasan yang tak terkendali.

Penutup

Alhamdulillah makalah ini dapat penulis rampungkan sebagai syarat untuk mendaftar keanggotaan PAKEIS. Makalah yang sangat ringkas ini sedikit menjelaskan bagaimana karakteristik dan prinsip ekonomi Islam serta karakteristik sistem kapitalis. Dari pembahasan yang telah dipaparkan, kita dapat mengetahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna, Islam telah memberikan dasar-dasar dan prinsip ekonomi yang mampu membawa kesejahteraan manusia karena ia datang dari Sang Pencipta. Dan itu sudah terbukti sejak 14 abad lalu, dan kini ekonomi Islam juga mampu melawan badai krisis yang terus menimpa sisem kapitalis. Moga pembahasan sederhana sebagai langkah awal untuk mengkaji dan menelusuri lautan ekonomi Islam yang terbentang luas, walau kebanyakan para cendikiawan lebih focus pada sector perbankan dan keuangan. Wallahu a’lam.


[1]  Penulis adalah mahasiswa fakultas syari’ah wal qonun, tingkat 2. Makalah ini ditujukan sebagai persyaratan penerimaan anggota PAKEIS 2012.
[2]  Mahmud al-Khalidi, Mafhum Iqtishad fil Islam, 1988, hal 28-29.
[3]  Ahmad Najjar, Madkhal ila nazariyatil iqtishadiyah fil manhajil Islami, cetakan II, Darul Fikr,  1974, hal 14-15.
[5]  Ibrahim fadhil, al-Iqtishadul Islami Dirasah wa tatbiq, cetakan I, Darul manahij, Yordan, 2008, hal. 16.
[6]  Hamid bin Abdullah al-Ali, Taysir ba’dil ahkam al-buyu’ wal muamalat, 1423 H.
[7]  Hamdi bin Abdurrahman Janidal, Minhajul bahitsin fil Iqtishad Islami, Jilid 1, Riyadh, 1406 H, hal. 13
[8]  Falaq Ali, Tamwil al-istimarat fil iqtishad Islami, 2002, hal. 13
[9]  Ridha Shahib Abu Hamid, al-Khutut al-Kubra fil Iqtishad Islami, Dar majdalawi, Yordan, 2006, hal. 29
[10]  Ali faisal ali anshari, al-furuq aljauhariyah bainal iqtishadil islami wa ar-ra’sumali, 2009, hal. 17
[11]  Yusuf Kamal, al-Islam wal mazahib al-Iqtishadiyah al-mu’ashirah, darul wafa’, hal. 30
[12]  Ibid, hal 32