Minggu, 28 November 2010

Teori Pemisahan kekuasaan dalam pemikiran Undang-Undang Dasar (Part 2)


1)   Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam pemikiran Undang-Undang Dasar.

  1. Sentralisasi/markaziyah dan Desentralisasi/allaa markaziyah.

a)        Definisi Sentralisasi dan Desentralisasi[1]


Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat.. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.[2]
Sementara desentralisasi menurut Hoogerwarf, merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri mengambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang pemerintahan (bestuursdaad).
Menurut Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema mengatakan: “Decentralization is the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local government, or non-gevernmental organizations/desentralisasi adalah pelimpaan wewenang atau otoritas dalam perencanaan, membuat keputusan, atau urusan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, pemerintah lokal, atau organisasi non pemerintah ”. [3]
Adapun menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.

Dampak Positif dan Negatif Sentralisasi

• Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan oleh sistem sentralisasi ini adalah perekonomian lebih terarah dan teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang mengatur perekonomian. Sedangkan dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di jadikan sapi perahan saja dan tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing- masing sehingga terjadi pemusatan keuangan pada Pemerintah Pusat.

• Segi Sosial Budaya
Dengan di laksanakannya sistem sentralisasi ini, perbedaan-perbadaan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat di persatukan.Sehingga, setiap daerah tidak saling menonjolkan kebudayaan masing-masing dan lebih menguatkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang di miliki bangsa Indonesia.
Sedangkan dampak negatif yang di timbulkan sistem ini adalah pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya.

• Segi Keamanan dan Politik
Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan sentralisasi ini adalah keamanan lebih terjamin karena pada masa di terapkannya sistem ini, jarang terjadi konflik antar daerah yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional Indonesia. Tetapi, sentralisasi juga membawa dampak negatif dibidang ini. Seperti menonjolnya organisasi-organisasi kemiliteran. Sehingga, organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih daripada organisasi lain.
Dampak positif yang dirasakan di bidang politik sebagai hasil penerapan sistem sentralisasi adalah pemerintah daerah tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana secara maksimal karena pemerintah daerah hanya menerima saja.
Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya kemandulan dalam diri daerah karena hanya terus bergantung pada keputusan yang di berikan oleh pusat. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk menghasilkan suatu keputusan atau kebijakan memakan waktu yang lama dan menyebabkan realisasi dari keputusan tersebut terhambat.


Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi[4]

• Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”.
Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004 (www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”.
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD”.
• Segi Sosial Budaya
Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut.
Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah masing- masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-masing. Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri.

• Segi Keamanan dan Politik
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar daerah. Sebagaimana pada artiket Asian Report 18 juli 2003 ”Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan”
”……………..Indonesia memindahkan kekuasaannya yang luas ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota – tingkat kedua pemerintahan daerah sesudah provinsi – diikuti dengan pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat. Peraturan yang mendasari desentralisasi juga memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan cara pemekaran atau penggabungan unit-unit administratif yang eksis. Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.
Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya……..”
Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.

b)       Desentralisasi di Negara Indonesia

Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut (pola zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi) seiring dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa. Bird dan Vaillancourt (2000: 160) mengatakan, secara konstitusi Indonesia adalah Negara kesatuan yang desentralistis, namun dalam prakteknya menunjukkan sistem pemerintahan yang sangat sentralistis. Pada tahun 1998, secara internal bangsa Indonesia tengah dilanda multikrisis, yang diawali dengan krisis ekonomi maupun krisis kepercayaan, yang diikuti oleh ancaman disintegrasi bangsa.

Agar bangsa Indonesia secepatnya keluar dari belenggu krisis multidimensional, maka pemerintah melakukan reformasi total dan mengambil langkah kebijakan strategis dengan pemberian status otonomi seluas-luasnya kepada kabupaten/kota dengan azas desentralisasi, dan pemerintahan provinsi berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dengan azas dekonsentrasi. Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A, dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. 

Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki 7 (tujuh) undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah, yaitu:

a.         UU 1/1948;
b.        UU 22/1948;
c.         UU 1/1957;
d.        UU 18/1965;
e.         UU 15/1974;
f.         UU 22/1999;
g.        UU 32/2004.

Dengan pemberian otonomi seluas-luasnya, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memonitor dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antardaerah dan mendorong timbulnya inovasi.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Keempat elemen tersebut menurut Rondinelli (dalam Litvack dan Seddon, 1999: 2), adalah desentralisasi politik (Political Decentralization), desentralisasi administrasi (Administrative Decentralization), desentralisasi fiskal (Fiscal Decentralization), dan desentralisasi ekonomi (Economic or Market Decentralization. [5]

c)        Otonomi khusus di Papua/Papuan Special Autonomy

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.[6]

  1. Pengertian Otonomi Khusus (Otsus) Papua[7]

Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya – termasuk dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya berlaku di
Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.

  1. Nilai-nilai Dasar Otsus Papua[8]

Terdapat 7 butir nilai dasar otsus Papua :
a.       Perlindungan hak-hak dasar penduduk asli papua
b.      Demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi
c.       Penghargaan terhadap etika dan moral
d.      Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
e.       Supremasi hukum
f.       Penghargaan terhadap plurarisme
g.      Persamaan kedudukan, dan kewajiban sebagai warga Negara

  1. Garis-garis besar pokok pikiran Otsus papua[9]

Garis-garis Besar Pokok pikiran tersebut meliputi aspek-aspek berikut ini :

a.       Pembagian kewenangan antara pemerintah antara pusat dan provinsi papua
b.      Pembagian Daerah Provinsi Papua
c.       Pembagian Kewenangan Dalam Provinsi Papua
d.      Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli
e.       Bendera, Lambang dan Lagu

Terdapat perbedaan antara Otonomi Khusus di Papua dengan otonomi biasa di
daerah-daerah, yaitu dalam badan legislative dan yudikatif. Badan legislatif Papua terdiri dari DPRD dan MRP ( Majelis Rakyat Papua ), dalam badan yudikatif Papua memiliki peradilan adat dan peradilan biasa.


[1] Desentralisasi dalam pengertian dekonsentrasimerupakan pelimpahan beban tugas atau beban kerja dari pemerintah pusat kepada wakil pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti oleh pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan. Sebaliknya, desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan (transfer of authority) berisi penyerahan kekuasaan untuk mengambil keputusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi pemerintahan daerah yang berada di luar jangkauan kendali pemerintah pusat. Sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi merupakan penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pusat kepada pemerintahan daerah. Dengan penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom dan tanpa dikontrol oleh pemerintah pusat yang telah menyerahkan hal itu kepada daerah.
[2]  Lihat http://dikot.blogspot.com/2009/11/makalah-sentralisasi-dan-desentralisasi.html
[3]  Jimly asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, hal. 26-27.
[5]  Lihat http://docs.google.com/viewer?url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 19634/4/Chapter%2520I.pdf&chrome=true
[7]  Anung Razaini F, pdf Makalah Otonomi Khusus Papua, 2007, hal. 3. Lihat http://hmibecak.wordpress.com/2007/06/09/makalah-otonomi-khusus-papua
[8]  Ibid
[9]  Ibid

Kamis, 25 November 2010

Teori Pemisahan kekuasaan dan Penerapannya dalam Sistem Pemerintahan Modern Part 1


Oleh : Muhammad Rakhmat Alam*
Prolog

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Selanjutnya kita akan membahas apakah maksud dari prinsip ini? Bagaimana perkembangannya? Serta bagaimana praktek penerapannya dalam suatu negara? Begitu juga adakah pembagian kekuasaan dalam Islam dan seperti apakah?

1)   Prinsip Pemisahan Kekuasaan / The principle of Separation of powers / Mabda al-fashl baina As-sulthaat.

1.        Mafhum Prinsip Pemisahan/separation atau Pembagian/division[1] Kekuasaan.
Prinsip pemisahan kekuasaan merupakan asas perlawanan yang bersandar dari sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip ini memandang perlunya memberikan jaminan kebebasan/al-hurriyah serta menghapus kediktatoran dan kesewenang-wenangan/al-istibdad. Maksudnya, prinsip ini memberikan kekuasaan Negara kepada beberapa lembaga yang berbeda dan independent tanpa memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau lembaga.   [2]

Prinsip ini tegak atas 2 (dua) dasar [3] :
a)      Memberikan kekuasaan pada lembaga-lembaga khusus atau tertentu, yang mana masing-masing lembaga tersebut menjalankan tugasnya yang telah di tentukan dan di tetapkan.
b)      Memberikan kebebasan pengaturan bagi lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan. Akan tetapi setiap lembaga tidak dapat menginterfensi urusan lembaga lainnya. Dan tidak boleh menjalankan fungsi yang bukan fungsinya.

2.        Sejarah munculnya teori pemisahan atau pembagian kekuasaan.
Pada dasarnya, prinsip pemisahan kekuasaan telah lama dibicarakan pada masa sebelum masehi/ashr al-qadim oleh tokoh filsafat Yunani yaitu plato ( 427-347 SM ) dan aristoteles ( 322-384 SM ). Akan tetapi kemunculannya dalam bentuk yang lebih matang muncul pada era modern/ashr al-hadits ketika terjadi revolusi perancis abad 17 atau tepatnya 1690 masehi oleh filsuf berkebangasaan inggris, John locke dengan bukunya " Pemerintahan Sipil/al-hukumah al-madinah/Civil Goverment "[4].  Yang selanjutnya diterangkan dalam bentuk yang jelas oleh filsuf politik Perancis Montesquieu[5] dalam bukunya " L'Esprit des lois/ruh al-qawanin/the spirit of laws " (1748) yang mengikuti jalan pemikiran John Locke walau ada sedikit perbedaan.


2)   Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam teori politik kenegaraan (konstitusional).

1)      Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, ketika masa pemerintahan parlementer/al-hukumah an-niyabiyah dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:

1.         Kekuasaan Legislatif/Sulthah Tasyri'iyah (membuat undang-undang)
2.         Kekuasaan Eksekutif/Sulthah Tanfidziyah (melaksanakan undang-undang)
3.         Kekuasaaan Federatif/Sulthah Ittihadiyah atau Ta'ahudiyah (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang dan perdamaian, dan menetapkan perjanjian-perjanjian).

Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

2)      Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu

Menurut Montesquieu dengan teorinya trias politica yang tercantum dalam bukunya “L’esprit des Lois” selaras dengan pikiran John Locke, membagi kekuasaan dalam tiga cabang :

1.      Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang
2.      Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana UU
3.      Kekuasaan Yudikatif yang bertugas menghakimi.

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan Negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive function), dan yudisial (the judicial function).[6]
 
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.

3)      Pemisahan Kekuasaan Menurut Rousseau

Menurut Rousseau filsuf kelahiran Geneva/jenewa abad 18, kekuasaan terbatas pada eksekutif yang merupakan hak rakyat semata. Dan kekuasaan ini tidak di lakukan kecuali hasil kesepakatan rakyat. Adapun legislatif menurutnya hanyalah penengah dan perantara rakyat dengan kekuasaan eksekutif yang menetapkan undang-undang dan tunduk sepenunya pada kekuasaan eksekutif yang merupakan representasi dari keinginan umum rakyat. Dia juga setuju dengan adanya kekuasaan yudikatif.

Dan dari pemikirannya ini, sebagian ahli hukum berpendapat bahwa Rousseau bukanlah pendukung gagasan pemisahan kekuasaan Negara, karena kekuasaan menurutnya hanya pada rakyat yang sekaligus bertindak sebagai eksekutor. Dan legislative hanyalah perantara belaka.[7]

Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.

Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:

  1. Fungsi Pengaturan (legislasi)

Fungsi legislasi ini menyangkut 4 kegiatan:

1.)      Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
2.)      Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3.)      Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4.)      Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement treaties or other legal binding documents).[8]

  1. Fungsi Pengawasan (control)

Fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:

1.)      Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
2.)      Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
3.)      Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of budgeting)
4.)      Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of budget implementations);
5.)      Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
6.)      Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of political appointment of public officials).[9]

  1. Fungsi perwakilan (representation)

Ada 3 (tiga) system perwakilan yang di praktikkan di berbagai Negara demokrasi, ketiga fungsi itu adalah :[10]

1.)      System perwakilan politik (political representation);
2.)      System perwakilan territorial (territorial or regional representation);
3.)      System perwakilan fungsional (functional representation).

Cabang kekuasaan eksekutif terdiri dari :

  1. Sistem pemerintahan
  2. Kementerian Negara

Cabang kekuasaan yudikatif terdiri dari :

  1. Kedudukan kekuasaan kehakiman

Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara Negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara
(state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang. Jika Negara dirugikan oleh warga negara, karena warga Negara melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusan-keputusan negara, baik melalui perkara tata
usaha negara maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antarwarga negara sendiri atau pun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama Negara juga harus memutusnya dengan seadil-adilnya pula.

Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistim hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).[11]

Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono[12] ada empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:

1) Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat;

2) Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip presedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris;

3) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah; dan

4)      Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).

  1. Prinsip Pokok Kehakiman

Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai pra syarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality).[13]

  1. Struktur Oerganisasi Kehakiman

Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman, terdapat beberapa fungsi yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan kehakiman itu, terdapat pula pejabat-pejabat hukum yaitu (a) pejabat penyidik, (b) pejabat penuntut umum, dan (c) advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum. Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat (i) polisi, (ii) jaksa, (iii) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan iv) penyidik pegawai negeri sipil, yang dewasa ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 52 macam. Mereka yang menjalankan fungsi penuntutan adalah (i) jaksa penuntut umum, dan (ii) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, dalam lingkungan internal organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya 3 (tiga) jabatan yang bersifat fungsional, yaitu (i) hakim, (ii) panitera, dan (iii) pegawai administrasi lainnya. Ketiganya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki kedudukan yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Hakim adalah pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan negara di bidang yudisial atau kehakiman. Sementara itu, panitera adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan fungsional sebagai administratur perkara yang bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara. Sedangkan, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk pada ketentuan kepegawainegerian pada umumnya.[14]


[1]  Istilah division of power, distribution of power, dan separation of power sebenarnya dapat saja dipertukarkan maknanya satu sama lain. Lihat Jimly asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, hal. 14-20.
[2]  Fuad Muhammad An-Naadi, An-nuzhum As-siyasiyah, hal. 201.
[3]  Ibid
[4]  Lihat http://www.brooonzyah.net/vb/t8677.html. lihat juga Fuad muhammad Naadi, An-nuzum As-siyasiyah, hal.202.
[5]  Nama lengkap Montesquieu adalah Charles de Secondat Baron et de Labriede Montesquieu.
[6]  Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, hal.13
[7] Fuad Muhammad An-naadi, An-nuzum as-siyasiyah, hal.205.
[8]  Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,hal. 34.
[9]  Ibid, hal. 36.
[10] Ibid, hal. 40.
[11]  Ibid, hal. 47-48.
[12]  Djokosoetono, Hukum Tata Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 117

[13]  Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, hal. 52.
[14]  Ibid, hal 56-57.