Sabtu, 15 Oktober 2016

Membaca Fatwa MUI Haram Pilih Pemimpin Non Muslim



Kalau orang yang benar-benar memahami maqashid atau tujuan-tujuan syariah dan hakikat syariah, insya Allah pendapat-pendapatnya atau fatwa-fatwanya akan menentramkan dan mendamaikan kedua-belah pihak yang berbeda, berselisih baik secara keyakinan, kultur, ras atau pun suku. Fatwa-fatwanya akan jauh dari penyulut fitnah yg berbahaya.

Hukum itu memang pasti dan tidak berubah, tapi fatwa itu bersifat fleksibel dan dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain. 

Hukum makan babi memang haram sampai kiamat. Tapi fatwa memakan daging babi belum tentu selamanya haram, karena pada kondisi seorang tak ada makanan yg dapat dimakan kecuali babi, maka pada kondisi ini hukum nya boleh makan daging babi.

Seorang Mufti ketika mengeluarkan fatwa tidak hanya cukup mengetahui hukum syariah atas suatu masalah ini halal & itu haram, tapi wajib mengetahui kondisi-kondisi, kemungkinan2, dampak2 yang akan terjadi dari keluarnya fatwa tsb, apakah akan menyebabkan fitnah yg lebih besar atau tidak.
Mufti juga tidak diwajibkan untuk menjawab semua permasalahan yg ada.

Mufti yg sejati tidak akan terpengaruh oleh opini publik orang-orang awam yang hanya memiliki logika singkat, bahkan tidak akan terpengaruh oleh pendapat2 terdahulu yang berbeda kondisinya, ia hanya mengambil metode ulama terdahulu dalam proses pembentukan fatwa, karena seorang Mufti yang sudah mencapai kapasitas berijtihad harus mengikuti Ijtihadnya, terlepas apakah hasil ijtihadnya nanti sama atau pun berbeda dengan Mujtahid yg lain.

Fitnah itu tertidur, celakalah orang-orang yg menyulut api fitnah.
(الفتنة نائمة لعن الله من أيقظها)
#indonesia_damai
#Nusron_wahid
#MUI
#Ahok