Senin, 10 Oktober 2011

Samakah Revolusi dengan Bughat?



Di akhir tahun 2010, dunia dihebohkan dengan revolusi, dunia Arab dihempas badai revolusi yang hingga kini badai revolusi itu belum juga bertemu titik akhirnya. Bermula dari Tunisia, kemudian Mesir, Libia, hingga Bahrain dan Syiria, revolusi telah menyita perhatian seluruh penjuru dunia dan menjadi topic hangat yang terus diperbincangkan serta diperdebatkan. Banyak silang pendapat, pro dan kontra dari berbagai kalangan mengenai revolusi. Pecahnya revolusi di jazirah Arab telah mengangkat sejumlah pertanyaan penting seputar legalitasnya. Ada yang menimbangnya berdasarkan undang-undang Negara, ada yang menimbang dengan pandangan agama. Namun penulis di sini insya Allah akan mengupas dan menimbang bagaimanakah status legalitas (masyru’iyah) revolusi dalam Islam? Revolusi seperti apakah yang dibolehkan Islam? Apakah revolusi sama dengan bughat? Apakah batas sehingga pemimpin atau pemerintah boleh dijatuhkan atau kita boleh tidak mentaatinya? Hal ini sangat sensitive, mengingat ada beberapa ulama yang mengharamkan revolusi karena menjatuhkan pemerintah yang sah sama dengan menentangnya dan memeranginya, bahkan para aktivis revolusi wajib diperangi karena mereka tak ubahnya seperti kaum khawarij yang keluar dari barisan pemerintah Islam pada zaman pemerintahan Ali bin abi Thalib ra. Sebelum mengupas lebih dalam, kita harus mengetahui apa itu defenisi revolusi? Bagaimana latar belakang terjadinya suatu revolusi.


Definisi Revolusi dan latar belakang terjadinya revolusi


Dalam teori ilmu hukum, secara umum revolusi merupakan bentuk penentangan mayoritas rakyat dari ketaatan terhadap pemimpin atau pemerintah dikarenakan beberapa sebab. Adapun secara terminologi, revolusi merupakan perubahan besar-besaran yang berlangsung mufaja’ah atau tiba-tiba dalam system politik, ekonomi, dan sosial yang dianut dalam masyarakat atau Negara tertentu.[1]

Dari definisi global dan khusus teori ilmu hukum di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa revolusi merupakan sebuah harakah as-Syu’b (gerakan rakyat) yang datang dengan tiba-tiba disebabkan oleh pelbagai problematika yang telah kompleks atas kezaliman pemerintah demi sebuah perubahan fundamental dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi kearah yang lebih baik sebagaimana yang rakyat cita-citakan. Hal ini logis, karena rakyat lah yang terlebih dahulu ada sebelum terbentuknya suatu Negara dan pemerintahan. Rakyat pula lah yang membentuk pemerintahan suatu Negara, maka jika terjadi suatu ketidakadilan dan kezaliman dalam tubuh pemerintah yang sudah tidak bisa dikompromikan lagi, hak-hak rakyat pun sudah dikebiri, rakyatlah yang langsung bertindak menurunkan mereka dengan cara revolusi. Tsauroh atau revolusi berbeda dengan inqilab (kudeta), kudeta muncul dari oknum atau bagian pemerintah itu sendiri seperti kudeta yang terjadi di Negara Libya oleh Muammar Qadhafi terhadap raja Idris.


Secara teori hukum, revolusi merupakan satu dari dua cara untuk melakukan amandemen dustur (undang-undang) selain melalui lembaga peradilan. Revolusi merupakan cara yang tidak lazim yang biasanya terjadi pada pemerintahan yang diktator, dan ini merupakan yang sering dipakai hampir di seluruh Negara semisal Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917, Revolusi Jerman 1918-1923, Revolusi Spanyol tahun 1936, Revolusi Hongaria tahun 1919 dan 1956, Revolusi Cina 1925-1927, Revolusi Portugal tahun 1974, dan penggulingan Shah Iran tahun 1979.


Status legalitas revolusi dalam syari’at?


Membaca definisi diatas atau melihat gerakan revolusi secara real di lapangan, kita akan mendapati beberapa kalangan berpendapat bahwa revolusi merupakan tindakan anarkis yang membawa mudharat, melawan pemimpin yang sah, mengacaukan stabilitas kemanan dan perekonomian. Mereka mengatakan revolusi tak lain adalah bughat, mereka mengharamkannya secara mutlak. Gerakan revolusi selalu diringi dengan tindakan dalam bentuk ihtijaj (protes) dan tazhaharat (demonstrasi), dan tindakan protes serta demonstrasi adakalanya dengan cara-cara salimah (baik dan damai) adakalanya dengan cara anarkis dan brutal.


Di dalam literature Islam, tindakan memberontak, melawan pemimpin atau pemerintah yang sah, tidak mentaatinya dan tidak melakukan yang seharusnya mereka tunaikan pada imam atau pemimpin dinamakan bughat atau  al-Khuruj[2]. Dalam kitab al-Ayat al-Ahkam juz 2, bughat didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak menaati pemerintahan yang adil. Karena itu al-Imam al-‘Alamah Ibn al-‘Abidin rahimahullah –ulama dan fuqaha’ hanafiyah-berpendapat orang yang menentang pemerintah dengan cara yang hak karena mereka dizalimi bukanlah termasuk kategori bughat[3]. Hal ini didukung oleh ulama kontemporer saat ini semisal Syekh Yusuf al-Qardhawy, beliau mengatakan bahwa menentang pemerintah zalim, pemimpin dictator dengan cara protes atau demonstrasi yang baik dan damai tanpa dilengkapi senjata atau pun dengan senjata demi difa’ asy-Syar’I (pembeleaan diri) tidaklah dilarang. Dalam al-Qur’an dijelaskan: ( وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ ), “dan (bagi) orang-orang yang diperlakukan dengan zalim mereka membela diri”{asy-Syura:48). Qardhawy pun menfatwakan bahwa muslim yang mati ketika revolusi di Mesir demi menuntut atas kezhaliman terhadap dirinya nya sebagai syahid. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang dibunuh karena menuntut atas kedzaliman terhadap dirinya, maka ia syahid”. (Hadits riwayat an-Nasai juz 13 hal 55 no: 4113).


Dari beberapa pendapat ulama dan dalil di atas, jelaslah bahwa untuk konteks sekarang, revolusi untuk menjatuhkan pemerintahan zalim dan merubah system pemerintahan yang tidak adil dengan cara yang baik dan damai adalah memiliki status legalitas dalam syari’at, revolusi adalah rahmat. Karena revolusi adalah usaha darurat untuk merubah suatu hal yang buruk menjadi lebih baik, memutihkan sendi-sendi pokok Negara yang sudah menghitam, usaha darurat untuk menghilangkan segala kezaliman, kediktatoran  pemerintah terhadap rakyat, walau pun revolusi harus melakukan tindakan sedikit anarkis, karena tindakan anarkis seperti membakar gedung pemerintah yang terlarang tidak sebanding dengan kezaliman yang dilakukan pemimpin terhadap rakyat. Dalam qa’idah ushuliyah dijelaskan :  (الضرورات تبيح المحظورات), “darurat itu membolehkan hal yang terlarang”,  (الضرر يزال ) ,“mudarat itu harus dihilangkan”, (تقدم المصلحة الكبيرة على المصلحة الصغيرة، وتقدم مصلحة الأمة على مصلحة الفرد), “maslahat yang besar didahulukan dari pada maslahat yang kecil dan maslahat jamaah didahulukan dari maslahat individu.” Akan tetapi, apakah batasan atau ukuran sehingga pemimpin dan sebuah pemerintahan boleh direvolusi? Syekh Yusuf Qardhawy mengatakan bahwa pemimpin yang harus ditaati adalah pemimpin yang dipilih dengan bebas dan jujur oleh rakyat, rakyat meridhoinya, ia adalah seorang muslim dan iltizam terhadap Islam, tidak melarang berbagai kegiatan dakwah Islam, amanah dan lain-lain. Sedangkan pemimpin yang tidak harus ditaati adalah pemimpin yang tidak dipilih karena keridhoan rakyat, mayoritas rakyat tidak menginginkannya, ia memaksakan dirinya sendiri sebagai pemimpin dengan berbagai kecurangan, menghambat dakwah Islam, mencuri dan mengumpulkan uang rakyat untuk diri sendiri dan keluarganya dan kalangan tertentu sehingga kemiskinan merajalela, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya yang rasanya sulit untuk dimaafkan. Jika pemimpin itu selama masa pemerintahannya telah banyak membunuh rakyat dengan cara yang tidak hak, maka wajib dihukum qishas. Wallahu a’lam wa a’la

 *Penulis adalah mahasiswa universitas al-Azhar, anggota senat Fakultas Syari'ah wal Qonun dan pimred buletin Mitra.


[1] . DR. Bakar Ahmad Raghib Asy-Syafi’I, al-Qonun ad-Dusturi, (Kairo: 2011), hal.91

[2] . al-Imam ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), VIII/382.

[3] . al-Imam Ibn al-‘Abidin, rad al-Muhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar,  (Beirut: Dar al-kutub ‘Ilmiyah, 1992), II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar