Sabtu, 20 Desember 2014

Bisnis Jasa Pengiriman Barang dalam Tinjauan Syari’ah


Bisnis Jasa Pengiriman Barang dalam Tinjauan Syari’ah
Oleh: Muhammad Rakhmat Alam

Bisnis jasa pengiriman barang (Delivery Service Bussiness) merupakan bisnis yang cukup menjanjikan, karena  manusia akan selalu butuh mediasi untuk mengirimkan barang-barangnya kepada orang lain atau mengirim barang miliknya dari suatu tempat ke tempat lain, khususnya ketika mereka tidak memungkinkan untuk membawa atau mengirim barangnya sendiri. Karena itu, bisnis jasa pengiriman barang bisa dikatakan suatu bisnis yang sulit untuk punah, sehingga menjadi kesempatan emas bagi orang yang memiliki jiwa Entrepreneurship untuk menjalankan bisnis ini, tak terkecuali para pebisnis di kalangan Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir).

Pada edisi takyifuna kali ini, kami akan mengupas bisnis jasa pengiriman barang di Masisir dari tinjauan syariah. Ada tiga pembahasan utama terkait bisnis jasa pengiriman barang. Pertama, pembahasan mengenai akad-akad yang digunakan pada transaksi pengiriman barang dalam perspektif fikih Islam. Kedua, pembahasan tentang pertanggungjawaban pelaku usaha jasa pengiriman kepada pihak pengguna jasa jika terjadi kesalahan dan kelalaian dari pihak pelaku usaha sehingga barang rusak, hilang atau tidak sampai tujuan. Ketiga, pembahasan terkait denda dan ganti rugi pada jasa pengiriman barang kepada pengguna jasa.

1.    Akad yang digunakan dalam jasa pengiriman barang

Untuk mengetahui suatu akad atau kontrak yang digunakan dalam sebuah transaksi tentunya harus diketahui bagaimana proses mekanisme transaksi tersebut. Untuk itu, kami telah melakukan observasi pada salah satu kargo jasa pengiriman barang dari kalangan Masisir dan menanyakan proses transaksi dan terjadinya kesepakan pengangkutan dan pengiriman barang antara  pelaku usaha dan pengguna jasa.

Proses transaksinya cukup sederhana dan mudah. Tahap pertama, pengguna jasa cukup melakukan order dengan menghubungi pelaku usaha dan mengirim SMS via telefon selular atau cukup dengan mengirim pesan inbox via situs jejaring social  seperti Facebook dan WhatsApp. Pada tahap ini pengguna jasa  menjelaskan barang yang akan dikirim –mayoritas barang yang dikirim oleh Masisir adalah buku-buku- serta memberikan biodata singkatnya kepada pihak pelaku usaha seperti nama, nomor passport dan alamat lengkap di Mesir dan alamat lengkap di Negara tujuan pengiriman. Adapun pelaku usaha menjelaskan harga  untuk pengiriman barang tersebut dan kapan waktu pengambilan barang ke rumah pengguna jasa.

Pada tahap ini terjadi kesepakatan tidak mengikat antara kedua belah pihak, dimana pihak calon pengguna jasa dapat membatalkan kesepakatannya untuk mengirim barang atau sebaliknya pelaku usaha pun bisa memperpanjang waktu pengambilan barang ke rumah pengguna jasa dan tidak ada dikenakan biaya administrasi apa pun.

Kesepakatan awal ini jika ditinjau dari kaca mata syariah merupakan wa’ad atau janji, di mana jumhur ulama berpendapat wa’ad sifatnya tidak lazim atau tidak wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak melainkan mustahab (dianjurkan) untuk dipenuhi.    Karena pada transaksi jasa pengiriman barang yang terjadi di Masisir tidak dibebani deposit atau uang muka pembayaran (tidak ada unsur mu’awadhah), dan belum terjadi taqabudh , sehingga kesepakatan awal yang terjadi antara pengguna jasa dengan pelaku usaha melalui media sosial dan telefon selular merupakan wa’ad atau janji dari pihak pengguna jasa untuk menggunakan jasa pelaku usaha, dan janji dari pelaku usaha untuk melakukan pengangkutan dan pengiriman barang  milik pengguna jasa.

Tahap kedua, pelaku usaha jasa pengiriman barang akan mengkonfirmasi ulang kepada pengguna jasa, setelah konfirmasi pelaku usaha kemudian menjemput barang di kediaman pengguna jasa.   Pada tahap ini lah terjadinya akad atau kontrak, di mana pengguna jasa melakukan pembayaran kepada pelaku usaha, dan pelaku usaha memberikan kwitansi bukti pembayaran pada pengguna jasa. Selanjutnya pelaku usaha mengangkut barang untuk dikumpulkan dalam gudang kargo sampai gudang atau kapal kargo terisi penuh. 

Kontrak atau akad yang terjadi pada tahap ini jika ditakyif (baca: diadaptasikan) kepada akad fikih Islam, dikenal sebagai akad wakalah bil ujrah yang mengikuti ketentuan-ketentuan prinsip dalam akad Ijarah (sewa). Syaikhul Muhaqqiqin Muhammad Mahyuddin Abdul Hamid dalam karangannya al-Mu’amalat asy-Syar’iyah menjelaskan bahwa ijarah atau sewa ada dua macam, sewa atas suatu benda dan sewa atas suatu amal atau pekerjaan. “Dibolehkan seseorang untuk menyewa orang lain untuk melakukan suatu pekerjaan seperti khidmah atau layanan jasa…”.  “Adapun wakalah bil ujrah, maka akad ini sama ketentuannya dan prinsipnya seperti akad Ijarah…”.  Dengan begitu, posisi pelaku usaha atau wakil diposisikan sebagai ajiir atau muajjir (yang memberikan sewa dan jasa), sedangkan pengguna jasa atau muwakkil (yang memberi kuasa) diposisikan sebagai musta’jir (pihak penyewa jasa) .

Tahap ketiga, pelaku usaha jasa pengiriman mengantarkan barang pengguna jasa ke tempat tujuan yang telah disepakati.  Pada tahap pengiriman barang, biasanya pihak pelaku usaha tidak dapat menjamin waktu yang pasti kapan barang milik pengguna jasa sampai tujuan, pelaku usaha hanya dapat memprediksi sekitar satu bulan dan maksimal dua atau tiga bulan. 

Dari sini timbul permasalahan, bahwa di antara syarat akad  ijarah adalah waktunya harus jelas (muddah ma’lumah). Namun, para ulama berpendapat bahwa syarat waktu yang jelas pada akad ijarah dapat mengikuti ‘urf atau kebiasaan, karena sebagaimana yang dikatakan dalam kaedah fikih al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruti syartan “Sesuatu yang dikenal akan menjadi adat seperti yang disyaratkan menjadi syarat” dan kaedah at-ta’yiin bi al-‘urf ka at-ta’yin bi an-nash  “Penetapan secara adat seperti penetapan secara nash (teks)”. Dengan begitu, syarat yang dibuat oleh pelaku usaha bahwa tidak bisa memastikan waktu barang sampai dan mebuat prediksi 1 bulan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.


2.    Pertanggungjawaban pelaku usaha jasa pengiriman atas barang yang rusak, hilang atau tidak sampai tujuan ketika proses pengiriman.

Di dalam proses pengiriman barang, sering terjadi suatu keadaan yang menyebabkan barang yang diantarkan tidak sampai ke pihak yang diperjanjikan sesuai dengan keadaan yang diperjanjikan, kadang barang rusak atau bahkan hilang. Keadaan tersebut dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa sebab, pertama, apabila pihak perantara lalai dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk menyampaikan barang yang diperjanjikan. Kedua, disebabkan apabila informasi alamat yang kurang jelas dan pembungkusan barang yang tidak kuat oleh pihak pengguna jasa. Ketiga,  karena faktor eksternal seperti bencana alam, kecelakaan transportasi dan pemeriksaan dari pihak bea dan cukai.

Setelah kami menanyakan kepada salah satu pebisnis kargo di Masisir, ia menjelaskan bahwa pihak pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila barang rusak dan hilang disebabkan pemeriksaan dari bea dan cukai atau disebabkan ketidaksempurnaan packing. Adapun jika kerusakan disebabkan karena faktor kelalaian pihak pelaku usaha sehingga barang rusak dan hilang atau kerena bencana alam dan kecelakaan pada transportasi, maka kami bersedia bertanggung jawab atas semua kerugian tersebut dan mengganti dengan nilai harga barang.  Pada kasus pertanggungjawaban tersebut, penulis memandang bahwa bentuk tanggung jawab tersebut sudah adil dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, justru hal itu merupakan bentuk kebaikan dari pihak pelaku usaha yang mau menanggung dan mengganti kerusakan serta kehilangan walau disebabkan  bencana alam dan kecelakaan transportasi.

Mungkin, pihak pelaku usaha juga mendapatkan asuransi dan tanggungan dari pusat penyedia dan pelayanan jasa pengiriman barang, sehingga berani menanggung semua kerugian kepada pengguna jasa. Karena pelaku bisnis jasa pengriman barang di Masisir bisa dikatakan hampir semua adalah agen dari pusat jasa pengiriman barang. Salain itu, bentuk pertanggungjawaban tersebut untuk menjaga citra, amanah dan kredibilitas pelaku usaha terhadap pengguna jasa, karena jika barang yang rusak dan hilang tidak diganti, pelaku usaha akan mendapat resiko besar kehilangan konsumen dan kepercayaannya yang dapat berakibat bangkrutnya bisnis tersebut.

3.    Denda dan ganti rugi pada jasa pengiriman barang kepada pengguna jasa

Dari hasil wawancara tim bulletin Pakeis kepada salah satu pelaku usaha jasa pengiriman barang Masisir, penulis menemukan adanya kesalahpahaman pelaku usaha dalam membedakan antara denda (gharamah  maliyah) dengan ganti rugi (ta’widh).  Jumhur ulama sepakat mengharamkan denda uang apapun sebabnya dan alasannya karena mengandung unsur riba. Hanya sebagian kecil ulama yang membolehkan denda (gharamah maliyah), itu pun dengan alasan untuk menakuti agar pihak yang berakad dapat mamatuhi dan melunasi kewajibannya, selain itu uang hasil denda tersebut harus diberikan untuk kepentingan sosial seperti pembangunan dan perbaikan jalan, rumah sakit dan lainnya.
Ada beberapa macam denda yang penulis temukan dalam klausula perjanjian pengiriman barang.
1.    Denda atas ketidak jelasan alamat pengirim sehingga memakan waktu, tenaga dan ongkos lebih pelaku usaha.
2.    Denda atas biaya penitipan barang di gudang ketika pelaku usaha sudah mengirim ke rumah pengguna jasa namun pengguna jasa tidak ada di tempat sehingga barang dibawa kembali ke gudang.
3.    Denda atas pengisian karton yang melebihi batas ukurannya.
Menurut hemat penulis, kata denda yang tertulis pada klausula di atas hakikatnya adalah ganti rugi. Karena itu merupakan biaya tambahan atas kesulitan dan dharar (kerugian) yang disebabkan pengguna jasa, namun ganti rugi tersebut harus dalam batas yang wajar. 
Terakhir, berdasarkan paparan di atas, penulis melihat bahwa praktek tansaksi dalam bisnis jasa pengiriman barang di masisir sudah memenuhi aspek prinsip syariah. Namun ini berlaku khusus untuk pelaku usaha yang kami wawancarai dan kami teliti. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar