Kamis, 01 Juni 2017

Bunga Hutang Piutang Dalam Perspektif Fikih Islami




Bunga Hutang Piutang Dalam Perspektif Islam


A.    Pendahuluan
Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt. sebuah analisa tentang ekonomi yang khas di daerah Arab. Hal yang lebih menarik adalah bahwa analisa ekonomi tersebut tidak mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu, tetapi adalah untuk seluruh dunia. Jadi sesungguhnya hal tersebut merupakan hidayah dari Allah Swt., yang mengetahui sedalam-dalamnya akan isi dan hakikat dari segala sesuatu. Kemudian struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah suatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan, yang dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu, institusi pemodal seperti bank tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fikih muamalah muncul ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di satu pihak, bunga bank (interest bank) “mirip” dengan riba, di sisi lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar. Bahkan, masyarakat lebih memilih meminjam uang ke bank karena mudah dan cepat. Tentunya, pada konteks ini bank tak acuh dengan tujuan pinjaman yang dilakukan oleh nasabah.
Dari segi manifestasi bunga pinjaman, Indonesia sempat mengalami krisis moneter pada tahun 1997. Tercatat, akumulasi utang swasta luar negeri meningkat signifikan dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga 95% kenaikan hutang luar negeri berasal dari sektor swasta ini dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun[1]. Tentu, ini adalah manifestasi buruk dari bunga pinjaman.
Persoalan bunga hutang-piutang sebenarnya sudah ada di Irak sejak 3000 tahun sebelum masehi. Nadzir ‘Adnan Abdurrahman As-Sholih mengatakan bahwa ketentuan bunga pinjaman pada zaman itu telah diatur dalam undang-undang yang telah diketahui masyarakat. Besaran bunga yang dibebankan kepada peminjam sebesar 20 %.[2]
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban umat manusia, tentu tidak melupakan fenomena ini. Dalam Islam, transaksi hutang-piutang dilakukan atas dasar tolong-menolong, bukan mengambil keuntungan dari pihak lain.[3] Oleh karena itu, untuk mengetahui hukum pengambilan bunga hutang-piutang, pada kesempatan ini penulis akan memaparkan berbagai bentuk bunga pinjaman, analisa hukum riba, berbagai jenis pinjaman dan dampak riba dalam kehidupan. Setelah itu, penulis akan mengkomparasikan riba dengan bunga pinjaman.



B.     Deskripsi Bunga
Banyak trik yang dilakukan lembaga simpan pinjam dalam mendapatkan konsumen, diantaranya bersaing dalam sistem bunga yang diterapkan. Sebagai konsumen kita harus mengerti bagaimana cara perhitungan bunga yang diterapkan sehingga kita tidak merasa dirugikan. Di sini penulis akan berusaha memperjelas pengertian bunga beserta jenis-jenis bunga tersebut.
Pengertian “bunga” (secara umum) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pendapatan atas setiap investasi modal. Namun, apabila kita persempit lagi dalam istilah, “bunga hutang-piutang” memiliki arti sebagai imbalan jasa untuk penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu tertentu berdasarkan ketentuan atau kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari modal pokok.[4] Penulis akan membatasi pembahasan kali ini hanya dalam persoalan bunga hutang-piutang. 
Setelah mengetahui definisi bunga, sekarang ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis yang terdapat dalam bunga hutang-piutang. Ketika mengajukan permohonan kredit ke bank, Anda perlu memahami cara bank menghitung bunga kredit. Hal ini karena masing-masing bank memiliki metode perhitungan bunga yang berbeda sehingga biaya bunga menjadi berbeda. Secara umum ada 2 metode dalam perhitungan bunga yaitu, efektif dan flat. Namun dalam praktek sehari-hari ada modifikasi dari metode efektif yang disebut dengan metode anuitas.
Untuk memudahkan pemahaman konsep metode perhitungan bunga di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut:[5]
1.      Sistem Bunga Efektif
Sistem bunga efektif yaitu, porsi bunga dihitung berdasarkan pokok hutang tersisa. Sehingga porsi bunga dan pokok dalam angsuran setiap bulan akan berbeda, meski besaran angsuran per-bulannya tetap sama. Sistem bunga efektif ini biasanya diterapkan untuk pinjaman jangka panjang semisal KPR atau kredit investasi.
Dalam sistem bunga efektif ini, porsi bunga di masa-masa awal kredit akan sangat besar di salam angsuran perbulannya, sehingga pokok hutang akan sangat sedikit berkurang. Jika kita hendak melakukan pelunasan awal maka jumlah pokok hutang akan masih sangat besar meski kita merasa telah membayar angsuran yang jika ditotal jumlahnya cukup besar.
Sistem bunga efektif akan lebih berguna untuk pinjaman jangka panjang yang tidak buru-buru dilunasi di tengah jalan.
Rumus
Contoh Masalah
Bunga perhitungan bunga adalah:
Bunga= SP x i x (30/360)
Keterangan:
SP: saldo pokok pinjaman bulan         sebelumnya
i: suku bunga per-tahun
30: jumlah hari dalam satu bulan
360: jumlah hari dalam satu tahun
Anda mengajukan kredit dengan jangka
waktu 24 bulan sebesar Rp 24.000.000,00 dengan bunga 10% per-tahun. Anda berniat melakukan pembayaran pokok pinjaman Rp 1.000.000,00 per-bulan sampai lunas. Asumsi bahwa suku bunga kredit tidak berubah (tetap) selama jangka waktu
kredit.

Rounded Rectangle: Penyelesaian:
Bunga efektif bulan 1
= Rp 24.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari)
= Rp 200.000,00
Angsuran pokok dan bunga pada bulan 1 adalah
Rp 1.000.000,00 + 200.000,00 = Rp 1.200.000,00
Bunga efektif bulan 2
= Rp 23.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari)
= Rp 191.666,67
Angsuran pokok dan bunga pada bulan 2 adalah
Rp 1.000.000,00 + 191.666,67 = Rp 1.191.666,67
Angsuran bulan kedua lebih kecil dari angsuran bulan pertama. Demikian pula untuk bulan-bulan selanjutnya, besar angsuran akan semakin menurun dari waktu ke waktu.

















2.      Sistem Bunga Anuitas
Merupakan modifikasi dari metode efektif. Metode ini mengatur jumlah angsuran pokok dan bunga yang dibayar agar sama setiap bulan.
Rumus
Contoh Masalah
Bunga perhitungan bunga adalah:
Bunga= SP x i x (30/360)
Keterangan:
SP: saldo pokok pinjaman bulan         sebelumnya
i: suku bunga per-tahun
30: jumlah hari dalam satu bulan
360: jumlah hari dalam satu tahun
Anda mengajukan kredit dengan jangka
waktu 24 bulan sebesar Rp 24.000.000,00 dengan bunga 10% per-tahun. Anda berniat melakukan pembayaran pokok pinjaman Rp 1.000.000,00 per-bulan sampai lunas. Asumsi bahwa suku bunga kredit tidak berubah (tetap) selama jangka waktu
kredit.


Biasanya Bank memiliki aplikasi software yang secara otomatis menghitung bunga anuitas. Dalam kasus di atas, tabel perhitungan akan muncul sebagai berikut :
Bulan
Saldo
Bunga Aunitas
Angsuran Pokok
Total Angsuran
0
24.000.000
0
0
0
1
23.092.522
200.000
901.478
1.107.478
2
22.177.481
192.438
915.040
1.107.478


Rounded Rectangle: Penyelesaian:
Bunga efektif bulan 1
= Rp 24.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari)
= Rp 200.000,00
Angsuran pokok dan bunga pada bulan 1 adalah
Rp 907.478,00 + 200.000,00 = Rp 1.107.478,00
Bunga efektif bulan 2
= Rp 23.092.522,00 x 10% x (30 hari/360 hari)
= Rp 192.438,00
Angsuran pokok dan bunga pada bulan 2 adalah
Rp 915.040,00 + 192.438,00 = Rp 1.107.478,00
Terlihat bahwa angsuran bulan kedua sama dengan angsuran bulan pertama dan  seterusnya dimana besarnya angsuran akan tetap sama sampai dengan selesainya jangka waktu kredit.




















3.      Sistem Bunga Flat
Dalam metode ini, perhitungan bunga selalu menghasilkan nilai bunga yang sama setiap bulan, karena bunga dihitung dari prosentasi bunga dikalikan pokok pinjaman awal.
Rumus
Contoh Masalah
Bunga perhitungan bunga adalah:
Bunga= (P x i x t) : jb
Keterangan:
Ppokok pinjaman awal
i: suku bunga per-tahun
t: jumlah tahun jangka waktu kredit
jb: jumlah bulan dalam jangka waktu kredit
Anda mengajukan kredit dengan jangka
waktu 24 bulan sebesar Rp 24.000.000,00 dengan bunga 10% per-tahun. Anda berniat melakukan pembayaran pokok pinjaman Rp 1.000.000,00 per-bulan sampai lunas. Asumsi bahwa suku bunga kredit tidak berubah (tetap) selama jangka waktu
kredit.

Rounded Rectangle: Penyelesaian:
Karena bunga dihitung dari pokok awal pinjaman, maka biasanya suku bunga flat lebih kecil dari suku bunga efektif. Dalam contoh kasus di atas misalkan bunga flat sebesar 5,3739 % per tahun.
Bunga flat tiap bulan selalu sama.
= (Rp 24.000.000,00 x 5,3739% x 2 ) : 24
= Rp 107.478,00
Angsuran pinjaman 
Angsuran pokok dan bunga adalah
Rp 1.000.000,00 + 107.478,00 = Rp 1.107.478,00










C.    Sejarah Hutang-Pitang dan Bunga
Di suatu negeri antara dua sungai (Irak) 3000 SM, penduduk Somreon telah mengenal hutang-piutang. Mereka sering melakukan hutang-piutang, sebagai contoh, pihak yang meminjam menetapkan bunga untuk peminjam yang sama-sama telah diketahui kedua belah pihak. Nur Ad-Din Hathum berkata: “Dan sungguh praktek ini telah dilakukan dalam perdagangan, bertambahnya perhatian pada perdagangan menyebabkan terbentuknya peraturan untuk mengatur keuangan yang disaksikan penduduk dua sungai dari dahulu dalam bidang ini. Hutang-piutang dengan bunga telah berkembang dilingkungan mereka, dan jenis bunga ini terdapat pada penghasilan sebagaimana juga terdapat pada uang. Sejak tahun 3000 SM undang-undang negara tersebut membatasi bunga berdasarkan penghasilan dengan  30%, bunga pada uang 20% saja.[6]
Masalah bunga juga telah melilit kalangan Romawi dan Kristen.[7] Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi hingga abad IV masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunganya sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak dibolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat 4 jenis tingkat bunga pada masa Romawi yaitu:
1.      Bunga maksimal yang dibenarkan (8% - 12%)
2.      Bunga pinjaman biasa di Roma (4% - 12%)
3.      Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6% - 100%)
4.      Bunga khusus Byzantium (4% - 12%)
Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Aristoteles dalam karyanya “Politics” telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa bunga merupkan sistem yang tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya. Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosof Yunani yang paling terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosofi Yunani tentang bunga.[8]
Sementara itu, Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap mendapat sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang yang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuat baiklah kepada mereka dan pinjamkanlah dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik bagi orang-orang yang tidak tahuberterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut menyebabkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga.
Tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII[9], pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan. Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka menyebar luaskan pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang Indonesia yang melarang dan mempraktekkan bunga. Mereka membedakan bunga dan riba.

D.    Hutang-Piutang sebagai Tabaruk
Qardh atau hutang-piutang dalam bahasa arab berarti pemotongan (al-qath’u). Selain kata qardh ada juga istilah salaf  yang biasa digunakan oleh penduduk Hijaz. Dalam al-qur’an disebutkan:

`¨B #sŒ “Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ  
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245).

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah hutang-piutang masuk dalam wilayah tabaruk atau tukar-menukar?
Jika melihat kasus pinjam-meminjam sekarang, akan muncul pertanyaan tentang hukum hutang-piutang. Karena banyak kasus yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa dalam hutang-piutang bukanlah suatu solusi untuk memecahkan problema keuangan. Tidak sedikit masyarakat yang meminjam uang kepada rentenir atau bank yang akhirnya mendapatkan kesulitan karena berlipatnya bunga yang dimiliki penghutang.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hutang-piutang murni transaksi tabaruk. Debitur mendapatkan manfaat dari piutang, sedangkan yang kreditor hanyalah penyumbang kebaikan tanpa mendapatkan imbalan di dunia. Hal ini disetujui oleh para pemerhati undang-undang bahwa, asal dari transaksi hutang-piutang ini adalah tabaruk.
Menurut penulis, transaksi hutang-piutang yang notabene adalah transaksi tabaruk bersifat sosio-religius. Sifat sosialnya bisa dilihat dari kreditor yang memberikan wewenang kepada debitor untuk memanfaatkan piutangnya dalam jangka waktu tertentu. Sifat religiusnya tampak dari dilarangnya mensyaratkan imbalan atau tambahan dari piutang ketika dikembalikan. Jika disyaratkan imbalan atau tambahan, maka transaksi tabaruk dalam hutang-piutang tadi menjadi transaksi tukar-menukar (mu’awadhâh) dan tambahan tadi tidak lazim serta wajib atas penghutang kecuali ketika disyaratkan.
Hutang-piutang ribawi diharamkan dalam Islam dari dua cara; pertama, dari cara hutang-piutang yang bersyarat tambahan atas nilai piutangnya, sehingga mengandung riba karena piutang tersebut. Kedua, dengan cara riba penjualan, karena ia merupakan pertukaran dua barang yang sejenis dengan tambahan dan penangguhan waktu, hutang-piutang di dalamnya menjadi riba jual-beli dan tukar-menukar.
Dari uraian di atas, selanjutnya perlu diketahui perbedaan antara transaksi hutang-piutang dengan kegiatan ekonomi lainnya:
1.      Jual beli, pertukaran barang dengan uang atau barang lainnya yang memiliki nilai jual. Dalam jual beli, hak kepemilikan berpindah tangan dari penjual ke pembeli secara menyuluruh. Sedangkan dalam hutang-piutang, hak kepemilikan memang berpindah, akan tetapi si penghutang terikat transaksi pengembalian barang sejenis dalam kurun waktu tertentu.
2.      Jual beli salam, dalam jual beli ini, harga (barang) yang ditukar berbeda dengan barang hasil tukaran. Sedangkan dalam hutang-piutang, barang yang dihutang harus sejenis dengan barang yang dikembalikan.
3.      Hibah[10], perpindahan hak milik dalam hibah berpindah tangan kepada yang dihibahkan secara menyeluruh dan tidak diminta pengembalian barang tersebut. Sedangkan hutang-piutang, perpindahan hak milik suatu barang dengan ketentuan mengembalikan barang sejenis dalam kurun waktu tertentu. Dari satu sisi hibah dan hutang-piutang termasuk akad tabaruk.
4.      Titipan, hak kepemilikan barang yang dititipkan tidak berpindah kepada orang yang dititipkan, akan tetapi hak kepemilikan tetap di tangan penitip dan berhak meminta kembali barang titipan tersebut (barang asli). Sedangkan dalam hutang-piutang, hak kepemilikannya berpindah dari kreditor kepada debitur dengan ketentuan debitur harus mengembalikan barang yang sejenis kepada kreditor. Dalam penitipan juga orang yang dititipkan tidak boleh memanfaatkan barang titipan dan penitipan boleh bersyarat upah sebagai imbalan jasa, sedangkan hutang-piutang tidak boleh.
5.       I’ârah atau pinjaman, memberikan wewenang kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari barang yang dimiliki tanpa meminta imbalan, tapi dengan ketentuan mengembalikan barang tersebut setelah diambil manfaatnya. Juga bisa disebut dengan hibah manfaat. Syarat barang dalam i’ârah haruslah bermanfaat dan barang tersebut tidak habis setelah diambil manfaatnya (bukan barang konsumsi). Jika barang tersebut adalah barang konsumsi, maka ia termasuk qardh.[11]

E.     Deskripsi Riba Hutang-Piutang
Riba secara etimologi —ditinjau dalam bahasa arab— berarti; tambahan dan tumbuh.[12] Adapun secara terminologi dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.[13] Sedangkan dalam bahasa Inggris, riba sering diterjemahkan sebagai “usury”, yang artinya dalam “The American Heritage Dictonary of the English Language”, adalah[14]:
a.    Tindakan meminjamkan uang pada tingkat yang terlalu tinggi atau ilegal dari bunga.
b.    Seperti tingkat bunga berlebihan.
c.    Tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama. Tindakan atau praktek peminjaman uang pada setiap tingkat bunga.
Bentuk riba hutang-piutang sendiri ada dua. Pertama, tambahan yang diperoleh ketika debitur tidak mampu membayar piutang setelah jatuh tempo. Biasanya, kreditor memperpanjang tempo pelunasan piutang dan mensyaratkan adanya tambahan sebagai konsekuensi keterlambatan pembayaran piutang. Kasus seperti ini sangat banyak ditemukan di kalangan orang arab jahiliah. Kedua, ketika melakukan transaksi hutang-piutang, kreditor mensyaratkan adanya tambahan tertentu. Biasanya berbentuk persentase dari pokok piutang.[15]
Banyak kalangan beranggapan bahwa tidak ada dalil  —al-qur’an dan as-sunnah— yang menyatakan keharaman riba dalam transaksi hutangg-piutang. Namun, banyak pula di kalangan awam yang menggunakan istilah atau kaidah “ كلّ قرض جرّ منفعة فهو ربا[16] “ sebagai suatu landasan hukum —menganggapnya sebagai sabda Nabi—.
Perlu penulis perjelas bahwa, kaidah tersebut di atas bukanlah hadits. Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuhu,[17] menjadikannya sebagai suatu kaidah. Beliau menganggap tidak ada yang salah dengan kaidah tersebut, tetapi harus dipahami bahwa maksudnya adalah qardh yang disyaratkan di dalamnya pemberian manfaat bagi muqridh, atau hal tersebut telah menjadi adat.
Sedangkan Dr. Yusuf Qaradhawi[18] menolak hadits tersebut digunakan sebagai landasan hukum haramnya riba hutang-piutang. Menurutnya, tidak ada fukaha yang memberikan sanad pada hadits tersebut, walaupun hadits tersebut dituturkan di sebagian kitab. Setiap hutang-piutang diperbolehkan asalkan manfaat yang didapat tidak disyaratkan dalam transaksi. Kalaupun si penghutang mengembalikan piutangnya melebihi piutang pokok, maka itu masuk wilayah makarimal akhlaq. Masih menurut Dr. Yusuf Qaradhawi, dalil yang palil tepat untuk dijadilan landasan hukum haramnya riba hutang-piutang dan batasan makna riba tersebut adalah Al-Qur’an. Allah Swt. berfirman;

$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râ‘sŒur $tB u’Å+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷s•B ÇËÐÑÈ   bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qß™u‘ur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ‘ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279).

Lain halnya dengan Dr. Rafiq Yunus al-Misri, beliau berpendapat bahwa kaidah ini bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan penambahan harta pada pembayaran, saat hal itu tidak disyaratkan oleh kreditor. Nabi Muhammad Saw. menyebutnya dengan husnu’l qadhâ’. Ibnu Hazm berpendapat bahwa setiap hutang-piutang (qardh) pasti mendatangkan manfaat, bagi kreditor hal ini dapat menjaga hartanya dengan gratis, dan bagi debitor dia dapat memenuhi kebutuhannya.[19]
Hukum haramnya riba hutang-piutang ini bersifat universal, dalam arti tidak memandang tujuan debitur dalam penggunaan piutangnya. Namun, sebagian kecil ulama kontemporer barat berpendapat bahwa keharaman riba hutang-piutang ini hanya berlaku pada debitur yang menggunakan piutangnya untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan debitur yang mengorientasikan piutangnya untuk kebutuhan produksi ataupun perniagaan, tidak berlaku hukum riba dalam hutang-piutangnya karena lebihan dari piutang pokok yang diberikan kepada kreditor dianggap sebagai imbal jasa. Selain itu, praktek persyaratan pengembalian piutang dengan tambahan tersebut dianggap sebagai transaksi baru karena semakin banyaknya inovasi yang dilakukan manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup yang maksimal di era modern ini.[20]
Dr. Rafiq Yunus al-Misri membantah keras pendapat tersebut. Penuturan kata riba dalam hutang-piutang oleh teks al-Qur’an dan Hadits bersifat universal, baik hutang untuk konsumsi maupun untuk produksi dan perniagaan. Tidak ada spesifikasi tertentu dalam mengkategorikan keharaman riba hutang-piutang. Begitupula sikap para ulama dari zaman Nabi Muhammad Saw. hingga saat ini tidak membedakan antara hutang untuk konsumsi dengan hutang untuk produksi dan perniagaan. Status ketiganya adalah sama, yaitu transaksi tabaruk yang tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun darinya.[21]
Sikap sama ditunjukkan oleh Dr. Yusuf Qaradhawi. Menurutnya, transaksi hutang-piutang zaman jahili serupa dengan transaksi hutang-piutang zaman ini. Orang arab pada zaman dahulu hutang dengan tujuan untuk berniaga, bukan sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum. Salah satu contoh kasus nyata yaitu riba yang dilakukan oleh paman nabi Muhammad Saw., Abbas bin Abdul Muthallib.[22]
Dalam konteks pemberian dana atau modal, banyak alternatif yang ditawarkan Islam agar terhindar dari transaksi hutang-piutang ribawi. Manifestasi ketika dapat menghindari transaksi hutang-piutang ribawi adalah eksistensi hutang-piutang yang bersifat sosio-religius atau tabaruk dapat terjaga.

Dan beberapa alternatifnya adalah institusi pemodal semisal bank bisa menggunakan transaksi musyarakah[23] atau mudharabah[24] dengan para pengusaha dan pedagang. Sedangkan untuk masyarakat yang hanya sekedar ingin memenuhi kebutuhannya, pihak institusi pemodal bisa menggunakan transaksi murahabah[25].

F.     Komparasi Riba dan Bunga
Pada tahun 1989, Darul Ifta (Lembaga Fatwa Mesir) mengeluarkan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan terkait dihalalkannya sertifikasi obligasi[26] yang dikeluarkan oleh Bank Nasional Mesir yang secara total masih menganut sistem bunga. Ditambah pernyataan Mufti pada saat itu, almarhum Dr. Sayid Thanthawi pada konferensi pers yang kemudian diterbitkan oleh koran dan media-media Mesir pada tanggal 8 September 1989.[27] Sontak, pernyataan tersebut menuai berbagai protes dari kalangan ulama sepeti Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan yang lainnya. Kemudian diikuti dengan penolakan secara resmi oleh sekitar 33 ulama Al- Azhar di Mekah 2 tahun kemudian. Padahal, hampir satu abad Darul Ifta (Lembaga Fatwa Mesir) turut konsisten dalam mengharamkan hal-hal yang terkait dengan bunga bank itu sendiri yaitu dari tahun 1900 s/d 1989.
Tentunya yang menjadi titik permasalahan dari perbedaan pendapat para ulama tersebut (wajhul ikhtilaf) adalah, apakah sistem bunga yang diberlakukan di bank-bank konvensional tersebut sama dengan riba yang diharamkan oleh Islam. Para ulama yang memandang keduanya sebagai hal yang muradif sudah pasti akan mengharamkannya, namun berbeda ceritanya jika kedua hal tersebut di pandang sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali. Maka yang muncul adalah dihalalkannya praktek bunga bank tersebut.
Diantara beberapa pendapat tentang perbedaan antara riba dan bunga menurut sebagian kalangan ulama yang memperbolehkannya adalah sebagai berikut:
1.      Dalam praktik riba, yang terjadi adalah pelipatgandaan modal (ro’sul maal) di luar batas wajar hingga menimbulkan semacam eksploitasi satu pihak terhadap pihak yang lain. Sedangkan dalam praktik bunga, tidak ditemui adanya hal-hal tersebut karena suku bunga yang didapat masih dalam taraf wajar dan tidak memberatkan. Adapun jika hal tersebut terjadi dan telah melewati batasnya, seperti terjadinya pelipatgandaan di dalamnya ataupun adanya perkara yang memberatkan salah satu pihak, maka hal tersebut termasuk hal yang diharamkan.
2.      Adapun yang dimaksud dengan riba adalah apa yang terjadi pada kaum jahiliah, yaitu ketika si debitur tak mampu melunasi hutangnya kepada si kreditur pada waktu yang telah ditentukan, maka si kreditur akan memaksa si debitur tersebut untuk membayarnya saat itu atau menangguhkannya di waktu yang akan datang dengan syarat di tambahkannya pembayaran tersebut menjadi berkali lipat. Praktik riba seperti ini disebut juga dengan riba istihlak. Dan tentunya hal ini akan menimbulkan kesengsaraan bagi si debitur dan menyebabkannya tenggelam didalam hutang yang akan semakin sulit untuk dilunasi. Hal ini berbeda dengan bunga saat ini karena lebih condong kepada pemenuhan kesejahteraan bagi si kreditur tanpa sedikitpun mengurangi kesejahteraan sang debitur.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah A. Hasan Bangil salah seorang tokoh Persatuan Islam (PERSIS), Prof. Dr. Nur Kholis Majid, Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashr, Dr. Alwi Shihab, termasuk Dr. Sayid Thanthawi pada saat beliau masih menjabat sebagai Mufti Mesir dll.
Allah SWT berfirman dalam surah An- Nisa’ :
ãNÏdÉ‹÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ô‰s%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRô‰tGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#x‹tã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya : “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa’: 161)

Secara eksplisit al-Qur’an dengan tegas melarang orang-orang yang memakan harta riba dan serta merta mengancamnya dengan azab yang pedih. Karenanya, bagaimana mungkin Allah SWT mengancam hambanya sedangkan larangan yang diberikan tersebut tidak begitu jelas. Maka, mayoritas ulama pun memberikan argumen-argumennya serta pandangan tentang persamaan antara riba dan bunga bank itu sendiri.
Diantara penjelasan antara kesamaan praktik bunga dengan riba itu sendiri adalah sebagai berikut:
1.      Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan riba hanyalah yang sifatnya berlipat ganda adalah buah dari pada kekeliruan memahami kata“adh`afan mudho`afah”(berlipat ganda) yang terdapat pada surah Ali Imran ayat 130.[28] Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
a.       Kata “adh`afan mudho`afah” dalam ayat tersebut sesungguhnya tidak berarti apa-apa karena karena ia berfungsi sebagai sebuah keterangan tentang hal yang terjadi saat itu, dengan kata lain kalimat tersebut adalah demonisasi dari praktik riba yang terjadi saat itu karenanya ia tidak masuk kedalam kriteria mafhum mukholafah.[29]
b.      Riba yang di maksud pada ayat tersebut adalah riba nasi’ah, dan menurut sebagian besar ulama, riba nasi’ah itu selamanya haram walaupun tidak berlipat ganda.[30]
Karenanya praktik bunga baik itu yang sifatnya berlipat ganda ataupun tidak ia adalah jenis riba yang diharamkan.
2.      Adapun pendapat yang mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang terjadi pada masa jahiliah yaitu antara kreditur dan debitur (riba istihlak) dan sifatnya menyengsarakan salah satu pihak yaitu si debitur (peminjam) adalah pendapat yang ditentang oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Diantara pandangan beliau adalah:
a.       Riba yang terjadi saat itu bukanlah riba istihlak, namun riba tijaroh atau riba yang terjadi antara rombongan kafilah-kafilah pedagang saat melakukan perjalanan di musim panas dan dingin. Maka apabila riba yang diharamkan tersebut hanya dibatasi pada praktik dalam hal hutang piutang maka hal tersebut adalah keliru.[31]
b.      Meskipun praktik tersebut bersifat tarodhin seperti praktik bunga bank saat ini, maka ia adalah hal yang diharamkan karena ilat dari pada pengharaman riba itu bertujuan agar harta tidak melahirkan harta dengan sendirinya dan uang tidak melahirkan uang dengan sendirinya.[32]
Jika kita melihat deskripsi bunga dan berbagai bentuknya di atas, maka bisa kita tarik sebuah konklusi bahwa berbagai bentuk bunga tersebut mempunyai kesamaan dengan bentuk riba kedua, yaitu adanya pensyaratan tambahan dari pokok piutang. Baik sistem bunga efektif, sistem bunga anuitas maupun sistem bunga flat, ketiganya mensyaratkan besaran persentase yang diambil dari piutang pokok.
Maka cukup jelas bahwa pengklasifikasian antara riba dan bunga bank adalah sebuah hal yang keliru karena pada sejatinya, keduanya memiliki persamaan yaitu bertambahnya modal tanpa adanya sebuah proses usaha dan kerja keras yang dilakukan si pemiliknya. Dan praktik bunga sendiri adalah bentuk dari pada riba nasi’ah yang menurut mayoritas ulama adalah hal yang selamanya haram entah sifatnya berlipat ganda ataupun tidak
G.    Kesimpulan
Dari uraian data dan analisa di atas, dapat kita simpulkan bahwa transaksi hutang-piutang adalah transaksi sosio-religius yang tidak boleh dikomersilkan. Tindakan pengambilan bunga dalam transaksi tabaruk ini tidaklah dibenarkan karena sama dengan riba menurut mayoritas ulama. Pungutan bunga dari transaksi ini tidak bisa dianggap sebagai imbalan jasa karena akan merusak sifat sosio-religius hutang-piutang.
Keharaman pungutan bunga bersifat universal tanpa memandang tujuan penggunaan piutang, baik untuk konsumsi, produksi dan perniagaan. Untuk menghindari transaksi ribawi dan menyelamatkan eksistensi transaksi tabaruk, pemberian dana untuk konsumsi bisa melalui transaksi murahabah, sedangkan pemberian modal untuk produksi dan perniagaan bisa melalui transaksi musyarakah atau mudharabah. 
Demikianlah sedikit penjelasan dan analisa penulis terhadap bunga hutang-piutang. Semoga dengan tulisan singkat ini dapat menjadi stimulan bagi kita untuk lebih hati-hati dalam bertransaksi dan selalu menjunjung tinggi keadilan. 


[1] Lepi T. Tarmidi, Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran, dalam makalah revisi dan updating pidato pengukuhan Guru Besar Madya pada FEUI dengan judul “Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF”, Jakarta, 10 Juni 1998.
[2] Nadhir ‘Adnan Abdurrahman As-Shâlih, Al-Qurudh Al-Mutabâdilah, Dâr an-Nafâis, Yordania, cet. I, 2011, hal. 23.
[3] HM. Dumairi Nor, et. al., Ekonomi Syariah Versi Salaf, Pustaka Sidogiri, Pasuruan, cet. I, 2007, hal. 100.
[4] Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Reality Publisher, Surabaya, cet. I, 2008, hal. 152.
[5] Bank Indonesia, Memahami Bunga Kredit
[6] Hathum, Nur Ad-Din dan Aqil, Maujiz Fi tarikh al-Hadharah, Damaskus, 1965, hal 187.
[7] http://tazkia.com/ riba dalam perspektif agama dan sejarah.html. Diakses pada Jum’at, 23 maret, pukul 10:19
[8] http://zonaekis.com/sejarah-ringkas-bunga. Diakses pada hari Sabtu, 17 Maret 2012
[9] Henry VIII (28 Juni 1491 – 28 Januari 1547) adalah Raja Inggris dan Penguasa Irlandia, kemudian Raja Irlandia pada periode 22 April 1509 hingga meninggalnya. Ia merupakan keturunan kerajaan kedua dalam Dinasti Tudor, menggantikan ayahnya, Henry VII.
Ia naik tahta pada 24 Juni 1509.
[10] Yang dimaksud hibah disini adalah hibah barang bukan manfaatnya.
[11] Rafiq Yunus Masri, al-Jâmi` fî Ahkâmi al-Ribâ, Damaskus, Dâr al-Qalam, cet. II, 2001, hal. 216.
[12] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, Kairo, Dar Al-Hadits, 2003, Jilid 4, Hal. 54
[13] Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, cet. I, Kencana, Jakarta,  2005, hal. 25.
[14] Ibid., hal. 25.
[15] Yusuf Qaradhawi, Fawaidul Bunuk Hia Ar-Riba Al-Muharram, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. VII, 2008, hal. 72
[16] Artinya: “Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba.
[17] Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu’l Islâmi wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, Damaskus, cet IX, 2006, juz V hal. 3746.
[18] Yusuf Qaradhawi, Fawaidul Bunuk Hia Ar-Riba Al-Muharram, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. VII, 2008, hal. 54
[19] Rafiq Yunus al-Misry, al-Jâmi’ fî ushûl al-Ribâ, Dâr al-Qolam, Damaskus, cet. II, 2001 hal. 275
[20] Rafiq Yunus Al-Misri, Ribal Qurudl Wa Adillatu Tahrimihi, Dar Al-Maktabi, Cet.. II, 2009, hal. 30
[21] Ibid., hal. 33
[22] Yusuf Qaradhawi, Fawaidul Bunuk Hia Ar-Riba Al-Muharram, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. VII, 2008, hal. 45
[23] Adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
[24] Adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola
[25] Adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah
[26] Obligasi adalah suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yaitu berupa suatu pernyataan hutang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
[27] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Muharrom, Mu’assasat al-Risalah, Beirut, Cet. II, 1996, Hal. 82.
[28] Prof. Dr. H. Veithzal Rival, S.E., M.M., M.B.A., et. al. Islamic Financial Management, Penerbit Ghalia Indonesia, Cet. 1, Hal 280.
[29] Khulasoh Tafsir Ayat al-Ahkam Tingkat II, Fakultas Syari’ah Islamiyah, Hal. 16.
[30] Prof. Dr. H. Veithzal Rival, S.E., M.M., M.B.A., et. al. Islamic Financial Management, Op. Cit., Hal. 280.
[31] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Muharrom, Op. Cit., Hal. 37.
[32] Ibid.,  Hal. 38.

1 komentar:

  1. Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIA. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Tapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati

    BalasHapus