Hukum Menabung Tabungan Umroh yang Dikelola Oleh Penyelenggara
Travel Umroh dalam pandangan Syariah?
Pertanyaan:
Saya ingin melaksanakan umroh pada salah satu badan
usaha travel umroh dengan biaya 2400 USD untuk paket A, akan tetapi dengan cara
membayar cicilan selama 12 bulan atau setiap bulan saya membayar 200 USD kepada
pihak travel umroh tersebut dan masuk rekening tabungan pihak penyelenggara travel
umroh. Jika sudah mencapai 12 bulan dan lunas, maka saya baru bisa pergi
berangkat umroh.
Selain itu selama masa pembayaran cicilan, saya
tidak boleh mengambil uang yg sudah saya setor, dan kadang (mungkin) pihak
travel menggunakan uang yg sudah disetor tsb.
Bagaimanakah status transaksi tabungan umroh antara
saya dengan penyelenggara travel umroh ini dalam pandangan Fikih Islami?
Jawaban:
Berdasarkan pertanyaan yang dikemukakan, maka
transaksi tabungan umroh antara penabung dengan pihak penyelenggara perjalanan
umroh jika disesuaikan (ditakyif) dengan akad muamalah fikih Islami transaksi
tersebut merupakan akad “Ijarah Mausufah fi az-zimmah” artinya
sewe-menyewa suatu (barang/jasa) dengan cara tangguh, atau sewa-menyewa dengan
ketentuan penyewa -barang/jasa- membayarkan upah di awal, sedangkan pemberi
sewa -barang/jasa- menyerahkan manfaat barang/jasa pada masa mendatang (waktu sesuai
kesepakatan). Dan akad ijarah mausufah fi az-zimmah ini diperboehkan
secara syariah.
Dengan begitu, deskripsi transaksi tersebut adalah
sebagai berikut; penabung yang bertindak sebagai (musta’jir) atau yang menyewa
jasa dari pihak penyelenggara umroh membayar upah (fee) di awal akad/kontrak,
sedangkan pihak penyelenggara travel umroh yang bertindak sebagai (muajjir)
atau pemberi sewa jasa travel umroh menyerahkan jasa perjalanan umrohnya pada
waktu yang akan datang.
Transaksi Ijarah mausufah fi az-zimmah, menurut
jumhur atau mayoritas ulama (syafi’I, maliki, hanbali) diperbolehkan, dengan
syarat pembayaran upah/fee sewa jasa dibayar di awal akad. Adapun dalam mazhab
hanafi, ijarah mausufah fi az-zimmah
adalah terlarang jika suatu yang disewakan berupa barang atau benda, tapi jika
yang disewakan adalah suatu pekerjaan/jasa maka diperbolehkan. Jadi, menurut
mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali akad Ijarah mausufah fi az-zimmah
dibolehkan. Dalil dibolehkan akad ijarah mausufah fi zimmah (IMFZ), karena
sewa manfaat jasa travel umroh tersebut diqiyaskan seperti jual beli
salam (bay’ as-salam[1])
karena dalam ketentuan bay’ as-salam pembayaran wajib dilakukan di awal
akad.
Namun, untuk pembayaran yang ditangguhkan atau yang dibayar secara angsuran atau cicilan, terjadi perbedaan pendapat ulama antara yang tidak membolehkan dan yang membolehkan.
1. Pendapat yang tidak membolehkan. Di antara ulama yang berpendapat tidak membolehkan adalah Syekh. Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouthi (rahimahullah). Alasannya adalah karena ijarah mausufah bi az-zimmah merupakan nama lain dari salam fil manfa’ah, selain itu karena jika pembayaran ditangguhkan maka terjadi transaksi sewa-menyewa hutang dengan hutang (al-kali’ bi al-kali’ atau dayn bi ad-dayn) yang diharamkan syariah, di mana pemberi sewa berhutang akan menyerahkan jasa travel umroh di waktu mendatang, dan penyewa jasa juga berhutang akan melunasi fee di waktu mendatang.[2]
2. Pendapat yang membolehkan. Di antara ulama yang
membolehkan pembayaran fee/upah/ujroh secara tangguh/kredit/angsuran adalah Syekh
Prof. Dr. Abdu Satar Abu Ghuddah[3],
Syekh Dr. Nazih Hammad[4],
Dr. Ali al-Qaradaghi[5],
dan Lembaga Akuntan dan Audit untuk Institusi Keuangan Islam[6],
dengan syarat dalam akad atau kontrak tidak menggunakan lafadz atau kata “salam”
seperti "aslamtuka" (أسلمتك),
akan tetapi menggunakan kata ajjartuka (أجرتك). Pendapat yang membolehkan dengan syarat tidak menggunakan lafadz
salam ini mengikuti dan mengambil pendapat yang rajih/kuat dalam mazhab
Hanbali yang membolehkan IMFZ dengan pembayaran fee secara tangguh atau
angsuran dengan lafadz selain salam. Selain itu juga mengambil pendapat muqabil
ashah dari mazhab Syafi’i.
-Teks dalam mazhab Hanbali dalam kitab “Syarh
Muntaha al-Iradat” oleh Mansur ibn Yunus ibn Salahuddin al-Bahuti al-Hanbali (1052H/1642):
شرح منتهى الإرادات: 2/252): "(وَإِنْ جَرَتْ) إجَارَةٌ عَلَى مَوْصُوفٍ بِذِمَّةٍ (بِلَفْظِ) سَلَمٍ كَ أَسْلَمْتُك هَذَا الدِّينَارَ فِي مَنْفَعَةِ عَبْدٍ صِفَتُهُ كَذَا وَكَذَا لِبِنَاءِ حَائِطٍ مَثَلًا وَقَبِلَ الْمُؤَجِّرُ (اُعْتُبِرَ قَبْضُ أُجْرَةٍ بِمَجْلِسِ) عَقْدٍ لِئَلَّا يَصِحَّ بَيْعُ دَيْنٍ بِدَيْنٍ (وَ) اُعْتُبِرَ (تَأْجِيلُ نَفْعٍ) إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ كَالسَّلَمِ فَدَلَّ أَنَّ السَّلَمَ يَكُونُ فِي الْمَنَافِعِ كَالْأَعْيَانِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ بِلَفْظِ سَلَمٍ وَلَا سَلَفَ لَمْ يُعْتَبَرْ ذَلِكَ. "
Teks dalam mazhab Syafi’I dalam kitab “Fath al-‘Aziz
syarh kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali” oleh Imam Abu Qasim ar-Rafi’i:
(فتح
العزيز 12/204-206):
"(النوع الثاني) الاجارة الواردة على الذمة
فلا يجوز فيها تأجيل الاجرة والاستبدال عنها ولا الحوالة بها ولا عليها ولا الإبراء
بل يجب التسليم في المجلس كرأس المال السلم لأنه سلم في المنافع وان كانت الأجرة
مشاهدة غير معلومة القدر فهي على القولين في رأس مال السلم ولا يجئ ههنا الطريق
الاخر * هذا إذا تعاقدا بلفظ السلم بأن قال أسلمت إليك هذا لدينار في دابة تحملني
إلى موضع كذا فان تعاقدا بلفظ الاجارة بأن قال: استأجرت منك دابة صفتها كذا
لتحملني إلى موضع كذا فوجهان بنوهما على أن الاعتبار باللفظ أم بالمعنى (أصحهما)
عند العراقيين والشيخ أبى علي أن الحكم كما لو تعاقدا بلفظ السلم لأنه سلم في
المعنى وتابعهم صاحب التهذيب على اختيار هذا الوجه".
Kesimpulan dari penjelasan pendapat ulama dan
berbagai mazhab di atas, penulis lebih memilih pendapat yang membolehkan Ijarah
mausufah fi az-zimmah dengan pembayaran fee secara tangguh atau angsuran. Karena hukum asal dari transaksi muamalah
adalah boleh, selain itu untuk lebih memudahkan manusia dalam bertransaksi, dan
‘urf atau kebiasaan transaksi muamalah zaman sekarang yang hampir semua
menggunakan cara kredit atau angsuran.
Adapun terkait penggunaan dana yang ditabung
dan dibayarkan oleh calon Jemaah umroh pada pihak travel umroh oleh pihak ravel
umroh diperbolehkan, walaupun digunakan bukan untuk keperluan umroh, karena
pada waktu pembayaran fee yang sudah dibayar telah menjadi milik pihak travel
umroh. Sebagaimana penjual dalam jual-beli salam diperbolehkan menggunakan uang yang dibayar
terlebih dahulu oleh pembeli
untuk digunakan pada akad salam atau pun untuk keperluan lain. Adapun jika
sudah jatuh tempo pihak travel umroh tidak bisa menyelenggarakan umroh, maka akad
ijarah mausifah fi az-zimmah batal, dan pihak travel umroh wajib
mengembalikan uang yang telah dibayar tanpa potongan, dan harus membayar ta’wid/ganti rugi jika hal tersebut menyebabkan
kerugian bagi calon Jemaah/pihak penyewa jasa umroh.
Selain itu, adapun syarat
bahwa calon Jemaah umroh -yang nanti akan mendapatkan layanan jasa perjalanan
umroh- tidak boleh mengambil uang yang disetorkan, itu juga diperbolehkan.
Karena “al-Muslimun ‘ala Syurutihim” Orang muslim harus mematuhi
syarat-syarat yang disepakati, dan fee yang sudah dibayar tidak boleh ditarik
kembali, karena penarikan fee tersebut membatalkan akad/kontrak ijarah mausufah
fi az-zimmah. Selain itu, jika pihak travel umroh ingin memberikan bonus uang
dari fee yang dibayar secara angsuran oleh penabung (calon Jemaah umroh), itu
bukan dianggap sebagai bagai hasil mudharabah, akan tetapi dianggap sebagai
sedekah atau hadiah dari pihak travel umroh. Wallahu a’lam.
Note: Hukum ini khusus untuk masalah yang seperti dideskripsikan pada pertanyaan di atas. Karena ada permasalahan lain seperti tabungan untuk umroh yang disetor ke Bank Syariah, kalau tabungan itu langsung disetor ke Bank Syariah atas nama penabung, maka status hukumnya sama dengan tabungan-tabungan biasa yang lainnya yang bisa masuk pada akad wadiah jika tidak ada bagi hasil nisbah, atau masuk pada akad mudharabah jika ada pembagian hasil nisbah. Kedua jenis ini hukum nya boleh secara syariah menurut kesepakatan ulama kontemporer[7]. Wallahu a’lam.
Note: Hukum ini khusus untuk masalah yang seperti dideskripsikan pada pertanyaan di atas. Karena ada permasalahan lain seperti tabungan untuk umroh yang disetor ke Bank Syariah, kalau tabungan itu langsung disetor ke Bank Syariah atas nama penabung, maka status hukumnya sama dengan tabungan-tabungan biasa yang lainnya yang bisa masuk pada akad wadiah jika tidak ada bagi hasil nisbah, atau masuk pada akad mudharabah jika ada pembagian hasil nisbah. Kedua jenis ini hukum nya boleh secara syariah menurut kesepakatan ulama kontemporer[7]. Wallahu a’lam.
[1] Bay’
as-salam adalah jual beli dengan ketentuan pembayaran di awal akad/kontrak
sedangkan penyerahan barang di waktu akan datang –sesuai kesepakatan- pihak
yang berakad.
[2] Dr.
Said Ramadhan al-Bouthi, al-Ijarah al-Mausufah fi az-Zimmah, Penelitian yang
Diajukan pada Konferensi Transaksi Perbankan dan Keuangan Islam yang
diselenggarakan AAOFI di Bahrain, 2007, hal.8.
[3] Prof.
Dr. Abdu Satar Abu Ghuddah, Dhawabit Ijarah al-Khidmat, wa Tatbiqat
al-Ijarah al-Mausufah fi az-Zimmah, Penilitian yang diajukan pada Seminar
Internasional Perbankan & Keuangan Islam di Jeddah, 2007, hal. 98.
[4] Dr.
Nazih Hammad, Sukuk al-Ijarah, hal.328.
[5]
Dr. Ali al-Qaradaghi, Ijarah ‘ala Manafi’ al-Asykhas, European Council
for Fatwa, 2008, Paris.
[6] Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial Institution Sharea Standard
Pdf. Bahrain Kingdom, 2007, Hal. 135.
[7]
Bisa lihat fatwa DSN-MUI dan seluruh fatwa Dewan Riset Fikih Islami di Azhar,
Jeddah, Amerika, Eropa, dan India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar