Sabtu, 20 Desember 2014

Multi Level Marketing (MLM) dalam Pandangan Syariah (Studi Fikih)



Para ulama kontemporer mentakyif pemberian bonus/upah/fee/komisi/insentif pada MLM syariah dengan akad Ju'alah . Untuk itu di sini akan dibahas mengenai akad ju'alah dalam fikih Islami dan mengkomparasikannya dengan transaksi pada MLM khususnya pada pemberian bonus/fee/komisi/insentif/royalti.

 Pengertian, Hukum dan Implementasinya

    1.Pengertian Ju’aalah.

    a.Secara Etimologis :

Ju’aalah juga disebut dengan Ja’aalah atau Ji’aalah, namun istilah yang pertma lebih dikenal dan lebih populer dalam wacana fuqohaa. secara etimologis boleh juga diucapkan dengan Ja’iilah, semuanya  berasal dari kata fi’il madli  - yang merupakan bentuk dasar dalam bahasa arab- Ja’ala           ( ج ع ل )

Dalam kamus Al-Munjid[1] disebutkan :

جعل يجعل جعلا   جعالة   جعالة :  صنعه   وخلقه   نحو جعل الله الظلمات 

yang berarti membuat/ menjadikan, menciptakan: seprti dalam kalimat Allah menciptakan kegelapan.

Arti lain dari kata ju’aalah adalah :

وضعه =                                                      meletakkan/ menaruh 

أعطى نحو اجعل لي لسان                                                                                                     

memberi , seperti : Berikanlah aku lisan /kemampuan berbicara [2]


karena ju’aalah juga berarti pemberian, maka sogokan secara bahasa juga bisa disebut dengan ju’aalah, ja’aalah, ji’alah, ja’iilah dan al-ju’lu. Imam Ibnu Abidin[3] menjelaskan tentang penyebutan yang berbeda-beda ini dengan keterangannya :

وَقَوْلُهُ بِالْحَرَكَاتِ: أَيْ حَرَكَاتِ الْفَاءِ فِي جَعَالَةٍ أَيْ الضَّمِّ وَالْفَتْحِ وَالْكَسْرِ.

Harakat faa’ fiil (huruf pertama dalam istilah ilmu shorof) dapat dibaca dengan dzommah, fathah dan kasrah. Yakni Ju’aalah, ja’aalah dan ji’aalah.

Dalam Al-mu’jamul wasiith, sebuah kamus bahasa arab kontemporer yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa Arab Mesir disebutkan :

 الجعالة الجعيلة   الِجعالة

الْجعَالَة       مَا يَجْعَل على الْعَمَل من أجر أَو رشوة                (ج) جعائل

Artinya “ sesuatu yang dijadikan (kompensasi) atas pekerjaan tertentu, baik berupa upah atau sogokan/risywah”.

Atau Ju’alah adalah sesuatu yang akan diberikan atas suatu pekerjaan, baik berupa upah ataupun suap.[4] Bentuk jamak ju’alah  adalah Ja’aa-il.

Dengan kata lain, Ju’aalah berarti kompensasi atas suatu pekerjaan baik yang positif maupun negatif, berupa upah atau risywah.  Ini adalah arti ju’aalah secara bahasa atau etimologis. dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan sayembara, tetapi ju’aalah bukan hanya sayembara, ada kesamaan dan perbedaan antara Ijarah dengan Ju’aalah, seperti yang akan saya jelaskan dalam tulisan berikut.

    b.Menurut Istilah Fiqh.

Dalam menjelaskan makna ju’alah menurut istilah ilmu Fiqh, penulis akan mengutip beberapa definisi yang disampaikan oleh para Ulama dari berbagai madzhab.

Imam Asy-Syairozi asy-syafi’i, dalam kitabnya Al-Muhadzdzab yang disyarh oleh Imam Nawawi dengan nama Al-Majmu’ sebagai kitab yang menjadi salah satu rujukan utama dalam madzhab Syafii mendefiniskan :

الجعالة وهو أن يبذل الجعل لمن عمل له عملاً من رد ضالة ورد آبق وبناء حائط وخياطة ثوب وكل ما يستأجر عليه من الأعمال

Ju’aalah adalah ketika seseorang menjadikan suatu upah bagi yang telah melakukan suatu pekerjaan, seperti mengembalikan sesuatu yang hilang, budak yang hilang, membangun tembok, menjahit pakaian dan pekerjaan apa saja yang mungkin diberikan upah. [5]

Ulama syafiiyah lain, Imam Zakariya Al-anshori menjelaskan ju’aalah sbb :

- اسْمٌ لِمَا يُجْعَلُ لِلْإِنْسَانِ عَلَى فِعْلِ شَيْءٍ وَكَذَا الْجُعْلُ وَالْجَعِيلَةُ - وَشَرْعًا - الْتِزَامُ عِوَضٍ مَعْلُومٍ عَلَى عَمَلٍ مُعَيَّنٍ مَعْلُومٍ أَوْ مَجْهُولٍ

Ju’aalah adalah nama untuk sesuatu yang dijadikan untuk orang lain, atas pekerjaan tertentu. Begitu pula dengan kata Al-ju’lu   dan al-ja’’iilah. Secara syariat ju’aalah berarti komitmen untuk memberikan kompensasi yang jelas atas suatu pekerjaan yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui. [6]

Menurut sebagian ulama’ syafiiyah, termasuk ju’aalah adalah pemberian yang diterima seseorang karena dia telah membaca Al-Qur’an yang pahalanya diberikan untuk orang lain, sebuah ritual atau tradisi yang sering kita dapatkan pada sebagian masyarakat muslim di Indonesia yang memang bermadzhab syafi’i:

وَإِذَا قَالَ شَخْصٌ لِآخَرَ: اقْرَأْ لِي كُلَّ يَوْمٍ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَاجْعَلْ ثَوَابَهُ لِي وَجَعَلَ لَهُ عَلَى ذَلِكَ مَالًا مَعْلُومًا فَفَعَلَ فَهَلْ يَكُونُ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ لِلْمَجْعُولِ لَهُ أَوْ مِثْلُ الثَّوَابِ أَمْ لَا؟ وَإِذَا انْتَقَلَ الثَّوَابُ لَهُ فَهَلْ يَبْقَى لِلْقَارِئِ ثَوَابٌ أَمْ لَا؟ وَكَذَا إِذَا لَمْ يَقْرَأْ لَهُ بِجَعَالَةٍ وَلَكِنْ قَرَأَ لَهُ تَبَرُّعًا مِنْ نَفْسِهِ وَكَذَا سَائِرُ الْعِبَادَاتِ؟ .

الْجَوَابُ: أَمَّا مَسْأَلَةُ الْحَجِّ وَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ، فَبَاطِلَةٌ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ، وَأَمَّا مَسْأَلَةُ الْقِرَاءَةِ فَجَائِزَةٌ إِذَا شَرَطَ الدُّعَاءَ بَعْدَهَا، وَالْمَالُ الَّذِي يَأْخُذُهُ مِنْ بَابِ الْجَعَالَةِ وَهِيَ جَعَالَةٌ عَلَى الدُّعَاءِ لَا عَلَى الْقِرَاءَةِ، فَإِنَّ ثَوَابَ الْقِرَاءَةِ لِلْقَارِئِ وَلَا يُمْكِنُ نَقْلُهُ لِلْمَدْعُوِّ وَلَهُ.

Artinya :Apabila seseorang berkata kepada orang lain, bacalah untukku sejumlah ayat Al-Quran setiap hari, dan jadikan pahalanya untukku. Dan dia telah menjadikan untuk hal tersebut sejumlah imbalan berupa harta tertentu, maka apakah pahalanya untuk orang yang diinginkan, atau dia mendapatkan pahala yang serupa, ataukah tidak sama sekali? Dan apabila pahalanya telah berpindah kepadanya, apakah yang membaca juga mendapatkan pahala atau tidak? Begitu pula apabila yang membaca itu tidak melakukan karena adanya ju’aalah/pemberian, dia melakukan secara sukarela apakah dia mendapatkan pahalanya? Begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.

Jawab: Adapun mengenai haji dan ibadah yang lain, maka hal itu batal menurut ahli fiqh, adapun tentang membaca Al-Quran maka hal itu diperbolehkan jika ada doa yang dipersyaratkan setelah membaca Al-Quran (doanya akan menyebabkan pahalaanya sampai kepada orang yang diinginkan - penterjemah), adapun harta yang diterimanya maka hal itu termasuk ju’aalah, dia merupakan ju’aalah atas doanya bukan atas bacaan Al-Qurannya. Pahala qiraahnya tetap untuk yang membaca dan tidak bisa berpindah kepada orang yang diingiinkan itu. [7]

Sedangkan Imam Ibnu Qudamah, salah seorang ulama yang menjadi penerus sekaligus referensi utama dalam madzhab hambali mendefiniskan ju’aalah yang hampir tidak ada perbedaan dengan definisi ju’aalah yang diberikan oleh madzhab syafii di atas, beliau menyebutkan :

وهي أن يجعل جعلاً لمن يعمل له عملاً من رد آبق أو ضالة، أو بناء، أو خياطة، وسائر ما يستأجر عليه من الأعمال

Ju’aalah yaitu ketika seseorang menjadikan sesuatu sebagai upah bagi yang dapat mengembalikan budak yang hilang atau hewan yang hilang, membangun, menjahit atau melakukan pekerjaan apa saja yang bisa diupahkan (di ijarah-kan) .[8]

Untuk melengkapi kajian ini, saya kutipkan juga definisi ju’aalah yang diberikan oleh Ulama dari madzhab lain, yaitu dari ulama pengikut madzhab malikiyah [9] menyebutkan :

وَالْجَعَالَةُ بِفَتْحِ الْجِيمِ وَكَسْرِهَا وَضَمِّهَا مَا يُجْعَلُ عَلَى الْعَمَلِ

Alja’aalah, jim-nya boleh dibaca dengan fathah (ja’aalah), dengan kasrah (ji’aalah) ataupun dzommah (ju’aalah) yaitu : sesuatu yang dijadikan upah atas suatu pekerjaan.

Sedangkan dalam madzhab Hanafi disebutkan :

: وَالْجُعْلُ بِالضَّمِّ مَا جُعِلَ لِلْإِنْسَانِ مِنْ شَيْءٍ عَلَى فِعْلٍ، وَكَذَا الْجِعَالَةُ بِالْكَسْرِ وَالْفَتْحِ (قَوْلُهُ الْمَالُ) أَيْ الْمُرَادُ بِهِ هُنَا الْمَالُ الْمَجْعُولُ شَرْطًا لِعِتْقِهِ

Alju’lu adalah sesuatu yang yang dijadikan untuk seseorang karena telah melakukan pekerjaan, begitu juga Ji’aalah maupun ja’aalah, yakni harta yang dijadikan syarat untuk sesuatu pekerjaan[10].

Dari beberapa definisi yang saya kutip dari ulama’ 4 madzhab di atas, nampaknya tidak ada perbedaan bahwa ju’aalah adalah upah atau pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah diselesaikan. Pekerjaan itu bisa definitif ataupun tidak, tetapi hasilnya jelas, dengan kata lain, ju’aalah lebih berorientasi kepada hasil suatu pekerjaan bukan pada prosesnya, jika berhasil menyelesaikan pekerjaan itu maka dia berhak mendapatkan upah yang disediakan oleh pihak yang menawarkan pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang menjadi obyek transaksinya bisa berupa apa saja asalkan merupakan perbuatan yang tidak diharamkan, termasuk yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan akad ju’aalah adalah doa, menurut madzhab syafii.

Dalam konteksnya dengan marketing plan di MLM, sebagai perusahaan yang menjual produknya dengan sistem MLM, maka ju’aalah diterapkan dalam beberapa bonus yang akan diberikan oleh perusahaan kepada para mitra yang berhasil melakukan pekerjaan tertentu, baik penjualan maupun pembinaan downline.

Para mitra hanya akan mendapatkan bonus jika mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan tertentu yang diminta oleh perusahaan, misalnya bagi yang dapat menjual produk sebanyak 100 BV, maka dia akan mendapatkan development bonus dari marketing plan A, dan bagi yang penjualannya mencapai 400 BV maka dia akan mendapatkan dua jenis bonus yaitu bonus dari plan A dan  plan B sekaligus. Pada marketing plan A terdapat 10 macam ju’aalah dan pada plan B terdapat 4 macam ju’aalah yang diberikan oleh perusahaan kepada para member.

    2. Dalil Ju’aalah dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Ada beberapa dalil yang menjadi rujukan para ulama’ mengenai ju’aalah. Baik yang bersumber dari firman Allah swt maupun yang bersumber dari sunnah rasulullah saw . beberapa ayat yang menjadi dalil ju’aalah antara lain adalah :

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ     (يوسف: 72(

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".(Yusuf 12:72)

Dalam ayat dikisahkan bahwa Nabi Yusuf .as telah menjadikan bahan makanan seberat beban unta sebagai upah atau hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan dan menyerahkan piala raja yang hilang. Dalam bahasa indonesia hal ini sering digunakan istilah sayembara, karena pekerjaan untuk menemukan dan menyerahkan piala yang hilang itu bersifat terbuka, siapa saja yang mampu. Pekerjaan ini mungkin diusahakan oleh banyak orang, tetapi yang akan mendapatkan upah hanyalah orang yang berhasil menyelesaiakan tugas dengan menyerahkan piala itu. Jika ada orang yang telah bekerja/ berusaha untuk mendapatkan piala yang hilang, namun tidak berhasil, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.

Tidak seperti akad ijarah (jasa), dimana dalam ijarah pekerjaan pada umumnya akan ditawarkan kepada orang tertentu dengan kontrak yang jelas antara dua orang atau lebih, dan biasanya tingkat probability keberhasilan pekerjaannya mendekati 100%. Tetapi dalam ju’aalah, probabilty keberhasilannya tidaklah sebesar itu.

Ayat lain yang juga memperkuat keberadaan ju’aalah adalah firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ     (المائدة: 1(

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu . Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. QS Al-Maidah :1)

Selain kedua ayat tersebut, ayat lain yang juga menjadi dasar ju’aalah adalah firman Allah swt :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2) } [المائدة: 2

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(QS A-Maidah: 2)

Wajhul istinbath atau pelajaran yang dapat diambil dari kedua ayat di atas dalam kaitannya dengan ju’aalah adalah : bahwa orang mukmin wajib memenuhi akad atau kontrak yang telah disepakati, selama tidak bersepakat dalam perbuatan dosa.

Contoh kesepakatan yang dibenarkan dalam MLM adalah : perusahaan berjanji akan memberikan bonus kepada member yang berhasil melakukan penjualan dalam jumlah tertentu, - misalnya bagi yang dapat menjual sebanyak 100BV maka dia akan mendapatkan bonus yang disebut Development Bonus sebesar 3% dari omset penjualannya-  maka selama produk yang dijualnya adalah halal, dan cara penjualannya adalah cara yang halal maka perusahaan wajib memenuhi janjinya untuk memberikan bonus sebesar 3% kepada member yang telah berhasil melakukan penjualan 100 BV atau lebih, adapun member yang jumlah penjualannya tidak mencapai 100 BV seperti yang disebutkan dalam akad ju’aalah oleh perusahaan, maka dia tidak berhak mendapatkan development bonus itu.

Sedangkan dalil lain, yang bersumber dari sunnah, dan menjadi referensi para ahli fiqh dalam masalah ju’aalah adalah hadits nabi yang terdapat dalam Sohih al-bukhori[11] berikut ini :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ»

Dari Abu Said al-khudry ra. Bahwa : “Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat nabi :”Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat me-ruqyah (menjampi)?’ Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Maka salah seorang sahabat nabi itu membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau lalu tertawa dan bersabda, 'Lho, kalian kok tahu bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.'" (HR. Bukhari).

Hadits ini pula yang menjadi landasan bagi madzhab Syafii bahwa pekerjaan yang menjadi obyek ju’aalah boleh jadi merupakan sebuah bentuk kebaikan atau ritual (ibadah mahdloh) seperti membaca surat Alfatihah atau membaca surah maupun ayat yang lainnya. Jika ritualpun boleh dijadikan obyek dalam akad ju’aalah apalagi sebuah mu’amalah atau bisnis modern. Etikanya adalah, setiap ritual hanya dilakukan karena mengharap balasan dari Allah swt, bukan dari manusia lain, tetapi hal ini tetap diperbolehkan berdasar hadits tersebut walaupun sebagian orang akan menganggap hal ini kurang etis.

    3.Pendapat Ulama mengenai Ju’aalah.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum ju’aalah, mayoritasnya berpendapat bahwa Ju’aalah itu boleh, dan minoritasnya mengharamkan ju’aalah. Para Ulama yang membolehkan ju’aalah itu adalah : para ulama dari madzhab Syafi’i, Hambali dan Maliki. Sedangkan yang mengharamkannya adalah dari kelompok hanafiah. Dr Wahbah Zuhayli mengatakan[12] :

لا تجوز الجعالة عند الحنفية لما فيها من الغَرَر أي جهالة العمل والمدة قياساً على سائر الإجارات التي يشترط لها معلومية العمل والمأجور والأجرة والمدة. وإنما أجازوا فقط استحساناً دفع الجعل لمن يرد العبد الآبق ، ولو بلا شرط، من مسيرة ثلاثة أيام فصاعداً، ....

Ju’aalah menurut Ulama Hanafiah tidak diperbolehkan karena terdapat Gharar, yakni ketidak jelasan pekerjaan dan limit waktu, hal ini dikiaskan dengan ijarah, di mana dalam akad ijaarah disyaratkan adanya kejelasan mengenai pekerjaan, yang diberikan upah, besaran upah, dan waktunya. Mereka hanya membolehkan hal itu -atas dasar istihsan- dalam hal mengembalikan budak yang hilang, walaupun tanpa syarat, seperti apabila waktu tempuhnya mencapai tiga hari……. dst

Tetapi dalam penelitian pustaka yang saya lakukan, tidak semua ulama madzhab hanafi sependapat dalam mengharamkan ju’aalah, diantara mereka ada yang membolehkan Ju’aalah, diantara ulama madzhab hanafi yang membolehkan ju’aalah adalah Qodli Khon yang dijelaskan oleh Ibnu Najm dalam kitab Al-Bahrur-Rooiq, ketika menjelaskan surah Yusuf ayat 72 yang sudah saya kutip di atas. Ibnu Najm menjelaskan bahwa kisah nabi Yusuf yang akan memberikan hadiah makanan seberat beban unta bagi yang dapat menemukan piala raja yang hilang adalah merupakan dalil diperbolehkannya kafaalah, karena kafaalah adalah persamaan kata dari za’aamah, jadi kata za’iim berarti kafiil. Setelah menjelaskan akad kafalah dalam kisah ini, Ibnu Najm lalu menyatakan bahwa Qodli Khon menjadikan ayat ini sebagai dalil diperbolehkannya ju’aalah seperti dalam kutipan berikut ini[13].

وَذَكَرَ الْقَاضِي أَنَّ فِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلًا عَلَى جَوَازِ الْجَعَالَةِ وَضَمَانِ الْجُعَلِ قَبْلَ تَمَامِ الْعَمَلِ. اهـ.

Artinya : Al-Qoodli menyatakan bahwa dalam ayat ini juga terdapat dalil diperbolehkannya ju’aalah, dan penjaminan ju’aalah sebelum pekerjaan itu diselesaikan.

Alqodli yg dimaksud adalah Qodli Khon seperti dijelaskan dalam mukaddimah buku Al-bahrurroiq yg merupakan syarh dari Kanzud Daqo-iq- nya Imam Nasafi[14].

 Sedangkan Ulama’ yang lainnya membolehkan ju’aalah seperti yg disimpulkan oleh DR.Zuhayli adalah ulama’ dari 3 madzhab yang lainnya, yakni para ulama’ dari madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali seperti dijelaskan dalam kutipan berikut ini [15] :

وتجوز الجعالة شرعاً عند المالكية والشافعية والحنابلة ، بدليل قوله تعالى في قصة يوسف مع إخوته: {قالوا: نفقد صُواع الملك ، ولمن جاء به حمل بعير، وأنا به زعيم} [يوسف:72/ 12] أي كفيل

 Pada beberapa kitab referensi madzhab syafii disebutkan, antara lain :

Akad Ju’aalah diperbolehkan, setiap pekerjaan yang bisa dilakukan dengan akad ijarah maka boleh juga dilakukan dengan akad ju’aalah seperti mengembalikan budak yang hilang, menjahit pakaian. Ajaran yang terdapat pada syariat nabi Yusuf ini diceritakan dalam Al-Quran sebagai bentuk istihsaan bahwa ha itu masih diangap baik dan halal, diperbolehkannya ju’aalah juga memiliki dasar logika di mana hal ini menjadi kebutuhan. Dengan diperbolehkannya ju’aalah dalam kisah nabui Yusuf, maka orang yang boleh bekerja dalam pekerjaan yang menggunakan akad ju’alaah walaupun pekerjaan itu sendiri belum jelas[16], namun manfaat atau hasilnya yang jelas. Terdapat perbedaan anatar ju’aalah dengan ijarah seperti disebutkan dalam kutipan berikut ini :

والفرق بين الجعالة والإجارة: أن الإجارة عقد لازم، فوجب تقدير العمل فيها والعامل، والجعالة عقد جائز، فجاز أن يكون العمل فيها غير معلوم، كالعارية.

Pernyataan Imam Nawawi hampir tidak ada perbedaan dengan pendahulunya, Abul husain alyamani asy-syafii dalam kitab Al-Bayan tersebut, bahwasanya Ju’aalah diperbolehkan atas dasar Surat Yusuf ayat 72 dan hadits riwayat Abu Said Al-Khudry tentang ruqyah yang dilakukan oleh para sahabat nabi, yang telah saya tuliskan di atas, ju’aalah menurut beliau juga sama dengan yang dikatakan oleh penulis kitab Al-Bayan, bahwa apa saja yang bisa dikerjakan dengan akad iajarah maka boleh dikerjakan dengan akad ju’aalah. Berikut kutipan dari kitab Almajmu’ yang ditulis oleh Imam Nawawi [17].

يجوز عقد الجعالة وهو أن يبذل الجعل لمن عمل له عملا من رد ضالة ورد آبق وبناء حائط وخياطة ثوب وكل ما يستأجر عليه من الاعمال، والدليل عيله قوله تعالى (ولمن جاء به حمل بعير وأنا به زعيم) وروى أبو سعيد الخدرى (أن ناسا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم أتو احيا من أحياء العرب فلم يقروهم.

 Demikian pula dalam madzhab Hambali, pendapat mereka bahkan sampai contoh-contoh yang mereka berikan mengenai ju’aalah adalah sama. Bahwa ju’aalah itu mubah, untuk pekerjaan yang jelas dan pekerja yang belum jelas, bersifat terbuka untuk umum yg belum definitif, berdasar dalil naqli surat Yusuf 72, hadits Abu said dan juga logika, yakni kebutuhan masyarakat terhadap ju’aalah[18] Demikian Ibnu Qudamah menjelaskan, seraya menambahkan bahwa upah yang diberikan harus jelas, apabila upah yang dijanjikan tidak jelas maka ju’aalah tersebut fasid atau batal namun pelakunya tetap berhak mendapatkan upah yang sama dan wajar (ujrotul mitsl).

Ulama’ lain dari madzhab Hanbali, Bahauddin Almaqdisi dalam kitabnya Al-‘uddah [19]juga menjelaskan bahwa Ju’aalah itu diperbolehkan berdasar ayat yang sama, dan juga hadits ruqyah dari para sahabat nabi, termasuk ju’aalah yang dibolehkan adalah apabila seseorang mengatakan, siapa yang dapat mengembalikan barang yang saya temukan kepada pemiliknya, atau siapa yang dapat mengembalikan barang saya yang telang hilang maka dia berhak mendapatkan upah tertentu.

 Imam Mansur al-bahuti [20], penganut madzhab Hanbali bahkan telah memberikan contoh berbeda yang menggambarkan kelonggaran lebih luas lagi dalam menentukan upah yang ditentukan, beliau menjelaskan bahwa upah ju’aalah boleh bersifat tidak terlalu jelas seperti, bagi yang menemukan benteng maka dia berhak mendapatkan 1/3 dari harta perang yang didapatkan oleh seseorang. Dengan bahasa modern, saya melihat bahwa menurut beliau upah yang diberikan dalam akad ju’aalah bisa berbentuk prosentasi, hal ini sangat mirip dengan akad ju’alah yang diaplikasikan dalam industri MLM, khususnya yang menjadi obyek penelitian saya, yaitu salah satu usaha MLM, di mana perusahaan menetukan besaran bonus yang diberikan dalam bentuk prosentasi. Misalnya adalah bonus yang disebut dengan dynamic fund pada marketing plan B.

 Dalam bonus Dynamic Fund perusahaan berjanji akan memberikan bonus sebesar 9% dari total omset kepada para member yang memenuhi kualifikasi tertentu, yaitu apabila seorang member melakukan penjualan sebesar 400 BV dan ada 3 leg dari jalur downline yang dapat melakukan penjualan minimal 400 BV maka dia berhak mendapatkan bonus 1 point yang diambil dari 9%, dan apabila leg atau jalur downline nya yang melakukan penjualan 400 BV mencapai 5 orang maka bonusnya adalah 2 point yang diambil dari 9% yang dialokasikan oleh perusahaan.[21]

وَ (لَا) يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا إنْ كَانَ مِنْ مَالِ حَرْبِيٍّ، فَيَصِحُّ أَنْ يَجْعَلَ الْإِمَامُ مِنْ مَالِ حَرْبِيٍّ (مَجْهُولًا) كَثُلُثِ مَالِ فُلَانٍ الْحَرْبِيِّ، وَنَحْوِهِ، لِمَنْ يَدُلُّ عَلَى قَلْعَةٍ، وَنَحْوِهَا، وَتَقَدَّمَ فِي الْجِهَادِ (لِمَنْ يَعْمَلُ لَهُ عَمَلًا مُبَاحًا) مُتَعَلِّقٌ بِجَعْلٍ.

 Dari beberapa pendapat yang saya kutip di atas dapat dijelaskan bahwa Ju’aalah diperbolehkan dalam Fiqh Islam, ini adalah pendapat mayoritas ulama’, sedangkan sebagian kecil ulama’ mengatakan bahwa ju’aalah tidak diperbolehkan, pendapat ini marjuh atau tidak kuat dibanding dengan pendpat yang membolehkan.

 Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa obyek pekerjaan yang bisa dilakukan dengan menggunakan akad ijarah maka boleh juga dilakukann dengan akad ju’aalah. Ju’aalah bisa dilakukan untuk pekerjaan yang tidak definitif dan untuk orang yang tidak definitif, upah dalam ju’aalah boleh bersifat prosentasi. Dengan kata lain, ju’aalah mirip dengan ijarah namun memiliki beberapa perbedaan seperti yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini selanjutnya.

     4.Perbedaan Ju’aalah dengan Ijaarah.

Surah Yusuf 72 yang menjadi salah satu dalil diperbolehkannya ju’aalah juga menjadi dalil diperbolehkannya akad kafalah (pertanggungan), karena nabi Yusuf menanggung untuk memberikan hadiah, padahal yang kehilangan adalah raja. Demikian juga hadits yang menjadi landasan / dalil diperbolehkannya ju’aalah, yakni kisah sahabat nabi yang meruqyah seseorang dan mendapatkan upah, selain menjadi dasar diperbolehkannya ju’aalah juga menjadi dasar diperbolehkannya ijarah. Dalam hal ini sebagian ulama membolehkan ijarah dalam hal-hal yang termasuk ritual seperti adzan, menjadi imam, mengajarkan membaca Al-qur’an, mengajarkan ilmu agama dll. 

 Dilihat dari sisi adanya upah atas suatu pekerjaan, ju’aalah memang ada kesamaan dengan ijarah, kedua akad ini merupakan akad atas suatu pekerjaan, bagi yang melaksanakan pekerjaan maka akan mendapatkan upah. Upah dalam bahasa arab bisa disebut dengan ujroh, ajrun, ju’l atau ju’aalah. 

Selain persamaan antara ju’aalah dengan ijarah, keduanya juga memiliki beberapa perbedaan, di dunia perkantoran atau pabrik, para karyawan bekerja menggunakan akad ijarah, sedangkan dalam industri MLM, akad yang digunakan antara perusahaan dengan karyawan adalah ijarah, adapun akad yang digunakana antara perusahaan dengan para member adalah akad ju’alah, akad ini lebih aplicable dan menguntungkan kedua belah pihak, yakni perusahaan dan member, perusahaan tidak terbebani dengan membayar ijarah atas member yang tidak berhasil melakukan target pekerjaannya, dan member bisa bekerja secara bebas tanpa terikat jam kerja, yang penting dapat mencapai target. Tentu saja orang boleh memilih akad mana yang paling cocok bagi dirinya dan mitra bisnisnya masing-masing.   Beberapa perbedaan anatar ju’aalah dengan ijarah adalah sbb :

    a) Dalam Ijarah pekerjaannya jelas, sedangkan dalam ju’aalah pekerjaannya kurang atau tidak jelas [22]. Dalam ijarah, yang dilihat adalah prosesnya sedangkan dalam ju’aalah yang dilihat adalah hasilnya; Misalnya, seorang karyawan yang bekerja dengan akad ijarah diminta untuk bekerja dari jam 08-17, terlepas dari apakah dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya atau belum, perusahaannya untung atau rugi maka karyawan akan mendapat upah yang sudah disepakati, sedangkan dalam ju’aalah perusahaan akan memberi kepada member/ mitra yang berhasil melakukan pekerjaan tertentu,misalnya menjual produk, walaupun dia sudah bekerja keras tetapi kalau tidak berhasil menjual maka dia tidak akan mendapatkan bonus, inilah yang menjadi kendala bagi sebagian orang, bahkkan ada yang menganggap ini adalah salah satu bentu kedzaliman, karena dia sudah merasa bekerja tetapi tidak mendapat upah dari perusahaan.

    b) Upah yang diberikan dalam ijarah pada umumnya jelas, jika diaplikasikan dalam bisnis di Indonesia, biasanya nilai rupiahnyya cenderung jelas dan pasti, sedangkan dalam ju’aalah nilainya bisa dalam bentuk nominal tertentu dan bisa pula dalam bentuk prosentasi atau nisbah tertentu.

    c) Dalam ijarah pihak yang melakukan kontrak atau akad harus jelas dan definitif[23], misalnya, katakan seseorang bernama Ahmad meminta kepada Joni untuk mengantarkan surat dengan upah Rp 5.000,- sedangkan dalam ju’aalah pihak yang berakad bisa jadi bersifat terbuka dan tidak definitif, misalnya Ahmad akan memberikan uang Rp 5.000.000,- kepada siapapun yang dapat menemukan mobilnya yang hilang. Atau dalam industri MLM, siapa yang dapat membangun jaringan dan membina jaringannya sehingga dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu maka dia akan mendapatkan bonus tertentu, di K-Link misalnya bagi mitra yang dapat membina grupnya sebanyak 3 leg untuk melakukan penjualan sebanyak 10.000 + 10.000+– 5.000 BV pada masing-masing leg, maka dia akan mendapatkan Bonus Globalsebesar 5%.

    d) Akad ijarah bersifat Lazim, yakni mengikat kedua belah pihak dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak, sedangkan akad ju’aalah bersifat Ghoiru Lazim, artinya salah satu pihak boleh membatalkan akadnya tanpa persetujuan pihak lain. Misalnya; dalam akad ijarah yang terjadi antara perusahaan dengan karyawan, perusahaan atau karyawan tidak boleh membatalkan kontrak dengan berhenti bekerja tanpa persetujuan perusahaan, jika karyawan membatalkan secara sepihak, maka perusahaan dibenarkan untuk tidak memberikan upah, begitu pula perusahaan tidak dibenarkan memutus hubungan kerja tanpa memberikan upah atas pekerjaan yang sudah dilakukan. Sedangkan dalam akad ju’aalah, mitra / member MLM boleh membatalkan pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan, resikonya dia tidak mendapatkan upah atau ju’l-nya[24].

    e) Dalam ijarah, upah mungkin diberikan di awal yakni sebelum pekerjaan selesai, dan juga boleh diberikan di akhir yakni setelah pekerjaannya selesai, sedangkan dalam ju’aalah upah akan diberikan setelah pekerjaannya selesai dan hasilnya sudah dapat dilihat. Gaji seorang karyawan boleh jadi diterima di tengah bulan atau di akhir bulan karena menggunakan akad ijarah, sedangkan bonus dalam MLM hanya akan diberikan setelah bulannya berakhir. Dan inilah yang terkadang menjadi titik kritik sebagian orang yang mengharamkan MLM karena ketidak tahuan mengenai akad yang digunakan. Mereka mengatakan MLM haram karena ada unsur kedzaliman, di mana perusahaan tidak membayarkan upah sebelum kering keringatnya, padahal akad yang digunakan berbeda.

    f) Dalam ijarah, jika pekerjaan tidak dikerjakan sampai selesai dan ada kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri akad, maka pihak yang bekerja tetap mendapatkan upah sesuai dengan proporsi pekerjaaan yang telah dikerjakannya, sedangkan dalam akad ijarah jika akad nya diputus di tengah jalan sebelum pihak yang bekerja menyelesaikan pekerjaannya maka pihak yang bekerja tidak berhak mendapatkan upah walaupun dia sudah melakukan sebagian pekerjaan.[25]

    g) Dalam akad ijarah harus ada ijab dan qobul antara para pihak yang berakad, sedangkan dalam ju’aalah ijab (penawaran) tidak harus diikuti dengan qabul (penerimaan) dari pihak yang bersedia melakukan pekerjaan itu. Dalam kisah nabi Yusuf, beliau melakukan ijab dalam bentuk menawarkan hadiah makanan seberat beban unta, namun qabulnya tidak harus dilakukan oleh seseorang, setiap warga yang mendengar ucapan ijab dari beliau bisa melakukan akad ini tanpa melakukan qabul kepada nabi Yusuf a.s..

    h) Dalam ju’aalah ada unsur gharar atau ketidak jelasan, yaitu ketidak jelasan hasil ketika seseorang melakukan pekerjaan, apakah dia akan berhasil menyelesaikan pekerjaan dan memperoleh imbalan, ataukah gagal mencapai target pekerjaan sehingga dia tidak akan mendapatkan imbalan, gharar yang demikian ini termasuk gharar yasiir atau gharar ringan yang diperbolehkan, tidak demikian halnya pada akad yangContoh lain gharar yasiir dalam akad jual beli adalah seseorang yang membeli makan di restaurant, harga perporsi misalnya Rp 10.000,- ukuran 1 porsi boleh jadi ada perbedaan kwantitas jika pegawai yang melayaninya berbeda, namun perbedaan itu tidak terlalu mencolok dan kedua belah pihak sudah saling rela, bahkan untuk memberikan ukuran yang sama boleh jadi ada kesulitan bagi restaurant kecil yang tidak menggunakan alat tukar, apalagi jika pelayanan restaurant itu menggunakan system self servica atau model prasmanan. Setiap pembeli mungkin akan membgambil nasi dalam jumlah/takaran yang berbeda, namun harga yang dikenakan adalah sama[26], ini adalah gharar yasir yang diperbolehkan.

Demikianlah beberapa perbedaan anatra akad Ijaarah dengan ju’aalah, keduanya merupakan akad yang diperbolehkan dalam fiqh Islam, namun memiliki resiko yang berbeda, sesoerang atau suatu perusahaan dapat memilih akad mana saja yang paling sesuai dengan kegiiatan bisnisnya masing-masing.

    5.Syarat dan Rukun Ju’aalah [27].

Sah atau tidaknya suatu ibadah sangat bergantung kepada syarat dan rukunnya, syarat dan rukun adalah dua hal yang harus dipenuhi dalam setiap ibadah dan setiap akad.   Setiap akad minimalnya harus terdiri dari 3 rukun, termasuk akad ju’alah harus memenuhi 3 rukun, yyaitu :

    a.Sighot. (Ijab dan Qabul).

Ijab dan Qabul merupakan bukti atas taroodli (kerelaan) kedua belah pihak yang berakad. Ijab menurut Hanafiah adalah ungkapan transaksi yang diucapkan oleh salah satu pihak lebih dulu, sedangkan qobul adalah yang belakangan, batasan ini lebih mudah dimengerti dan dipakai. Pada dasarnya ijab dan qabul diungkapkan melalui lisan, namun dalam beberapa hal dapat diungkapkan dengan cara lain : seperti tulisan atau isyarat.

Pada jaman sekarang ijab qabul ini pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, apalagi pada industri yang melibatkan banyak orang termasuk MLM. Akad bisa juga berbentuk aturan perusahaan yang harus disetujui oleh nasabah/anggota dengan menanda tangani formulir yang sudah disediakan.

Menurut madzhab maliki [28]dalam akad ju’alah ini tidak boleh dibatasi dengan waktu, tetapi yang penting pekerjaaan yang ditawarkan dapat diselesaikan, untuk konteks kekinian pendapat ini kurang realistis dan agak sulit diterapkan, karena jika sebuah akad tidak dibatasi dengan waktu, apalagi dalam dunia bisnis, lebih khusus lagi dalam industri MLM akan terjadi kesulitan. Bahkan akad yang bersifat tabarru’ seperti infaq untuk pembangunan masjid pun perlu pembatasan waktu, sebab ada kemungkinan infak yang diberikan itu sudah kadaluarsa sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana niat awalnya, jadi pembatasan waktu dalam ju’alah tetap diperbolehkan.

 Apabila seseorang dapat melakukan pekerjaan tertentu seperti mengembalikan binatang atau hamba sahaya yang hilang tanpa adanya akad ju’alah, maka perbuatan orang yang mengembakikannya adalah tergolong tabarru’[29] atau ibadah sosial dan pemiliknya dapat memberikan sesuatu sebagai upah sukarela.

     b.Aqidaan (Kedua pihak yg melakukan akad).

Jika sebuah akad tidak jelas siapa pelakunya, atau terjadi dari satu orang saja, dia yang melakukan ijab dan dia pula yang melakukan qabul-nya, maka akad ini menjadi batal atau tidak sah.

 Untuk sahnya akad ju’alah, para pihak yg berakad juga harus memenuhi dua persyaratan yaitu harus memiliki kecakapan dan kekuasaan. Cakap/layak dalam bahasa arab disebut Al-ahliyah, orang yang memiliki kecakapan adalah orang yang tidak gila, bukan balita, dan bukan dalam kondisi mahjur 'alaih ataupun pailit.

Dengan demikian, anak yang belum akil baligh tidak sah menjadi member dalam MLM karena belum layak menjadi pihak yang berakad[i]. Begitu pula dengan mendaftarkan orang gila sebagai member MLM, ini adalah contoh akad yang tidak sah karena pelakunya tidak memiliki kelayakan melakukan akad.

 Sedangkan memiliki kekuasaan atau al-wilayah yakni memiliki legalitas untuk menjalankan akad. Bukan menjalankan akad atas benda/ kepemilikan orang lain tanpa ijin misalnya : seorang anak yang menjual rumah orang tuanya tanpa ijin, seorang pegawai yang menjual asset perusahaan tanpa ijin pemilik perusahaan, seorang member dalam yang MLM berjanji akan memberikan bonus tertentu kepada member lain dengan mengatasnamakan perusahaan, karena posisi member dalam industri MLM bukanlah karyawan yang bertugas menjalankan suatu pekerjaan yang ditugaskan oleh perusahaan, tetapi posisinya adalah mitra usaha yang tidak boleh bekerja dengan mengatas namakan perusahaan, member tidak memiliki kekuasaan sebagai perusahaan atau wakilnya.

Dalam praktek yang penulis temukan dalam suatu perusahaan , kadang-kadang ada seseorang member yang mendaftarkan orang lain, dengan menggunakan kopi ktp yang dia temukan atau dia dapatkan dari orang lain, lalu dia menjalankan bisnis atas nama orang tersebut tanpa sepengetahuan orang yang didaftarkannya, ini adalah merupakan contoh akad yang tidak sah karena tidak adanya kekuasaan bertindak atas nama orang tersebut, namun apabila hal ini terjadi dia bukan merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan, akan tetapi pelanggaran dilakukan oleh member tanpa sepengetahuan perusahaan.

3- Ma’qud alaih (obyek akad)

Obyek akad dalam ju’alah adalah manfaat dan upah. Manfaat yang dimakasudkan, contohnya adalah penjualan produk. Misalnya member yang berhasil menjual produk senilai 100 point, maka dia akan mendapat bonus sebesar 9% dari omset penjualannya. Manfaat yang diberikan harus merupakan sesuatu yang tidak terlarang dalam agama. Sehingga apabila penjualan yang dimaksud adalah penjualan produk yang haram, maka ju’alah nya tidak sah. Keberhasilan seseorang dalam menjual merupakan manfaat yang menjadi obyek dalam akad ju’alah.

 Untuk pekerjaan dalam ju’alah, tidak harus spesifik, orientasi dalam akad ju’alah adalah hasil, bukan pekerjaan, jika ada hasil maka dia berhak mendapatkan upah, jika tidak ada hasilnya walaupun sudah bekerja keras maka dia tidak berhak mendapatkan upah. Ju’alah memang berbeda dengan ijaarah. Dalam ijarah pekerjaan, yang menjadi obyek akad harus jelas/spesifik, sedangkan hasil dari pekerjaan kadang-kadang tidak sama.

 Perlu dimaklumi bahwa yang menjadi obyek utama dalam akad jualah adalah manfaat atas suatu pekerjaan, bukan pekerjaan itu sendiri. Dalam praktek MLM Syariah maka yng menjadi obyeknya adalah keberhasilan seorang member dalam menjual, baik yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun yang dilakukan oleh tim-nya yakni para downlinenya. banyak orang beranggapan bahwa upah yang diterima oleh seorang member atas keberhasilan downline dalam menjual, adalah termasuk kedzaliman. Anggapan ini tidak tepat, karena ini merupakan suatu akad yang sudah disepakati oleh para pihak yang berakad. Analoginya dalam bisnis konvensional adalah, keberhasilan pengecer dalam menjual akan berdampaka pada keuntungan sole agen, keberhasilan team penjualan atau marketing akan berdampak pada keuntungan atau anfaat pimpinan perusahaan. Para member tidak akan dapat melakukan penjualan jika tidak direkrut dan atau dibimbing oleh upline.

MLM Syariah berbeda dengan MLM konvensional, khususnya pada MLM  yang menjadi obyek dalam penelitian ini, seorang member yang merekrut banyak downline, kemudian tidak melakukan pembinaan terhadap downlinenya maka walaupun peringkatnya semakin tinggi namun bonusnya bisa berkurang, ini terjadi karena marketing plan yang dibuat oleh perusahaan memang mengharuskan kepada member untuk tetap aktif melakukan kegiatan yang dapat memberikan manfaat kepada perusahaan, yaitu terjualnya produk yang disediakan oleh perusahaan.

Sedangkan obyek akad yang kedua, yaitu upah maka upah harus merupakan sesuatu yang jelas dan halal. Dalam hal MLM, maka besarnya upah ditentukan dalam marketing plann, dan wujdunya adalah berupa uang.

Demikianlah 3 rukun akad dalam ju’alah yang harus dipenuhi. Terkait dengan MLM, maka ijab qabulnya dilakukan secara tertulis yang tertuang dalam formulir aplikasi member baru yangharus ditanda tangani oleh member dan 2 orang saksi, pelakunya adalah member dan perusahaan dan obyek akadnya adalah penjualan atau pembinaan downline sehingga dapat melakukan penjualan dan bonus.

 Semoga tulisan ini bermanfaat, wallahu a’lam bish shawab.

[1] Al-Munjid, Darul machreq, Cet 43, Beirut, 2009, hal 93.

[2] Al-Munjid, Op.Cit, hal 93.

[3] Ibnu Abidin, Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz al-hanafii, Raddul mukhtar a’lad durril mukhtar, Darul fikr, Beirut, cet II, 1992 . Jilid III hal   674,

[4] Ibrohim Anis DR   dkk, Mujamma’ al-lughotil ‘arobiyyah,, Al-Mu’jamul wasiith, Darud da’wah, Cet II, hal 126.

[5] Asy-Syairozi, Abu Ishaq Ibrohim bin Ali bin Yusuf, Al-muhadzdzab fii fiqhil imamisy syafi’i, Darul Kutubil ilmiyyah, II, 271.

[6] Al-Anshori, Zakariya bin Muhammad bin Zakariya, Asnal mathoolib fii syarhi roudlith tholib, darul kitab al-islaami, II, 439.

[7] As-suyuuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar, Jalaluddin, Al-Haawi lil fatawi, Darul fikr, Beirut, Libanon, 2004, Jilid I, hal 149.

[8] Ibnu Qudamah, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Kaafi fi fiqhil imami Ahmad, Darul kutubil ilmiyyah, Cet I, 1994, II, 186.

[9] Ash-shoowi almaliki, Abul Ababs Ahmad bin Muhammad alkhalwati, Bulghotus saalik li aqrabil masaalik limadzhabil imaami maalik, Hasyiyah ash-showi, Darul Ma’arif, tt, Jilid IV, hal 79.

[10] Ibnu Abidin, op.cit, III, 674.

[11] Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Sohih al-Bukhori, editor Muh Zuhair bin Nasir An-nasir, Daaru Thawqun najaat, cet I, 1422, Jilid VII, hal 131,   hadits nomer 5736.

[12] Az-zuhayli, Prof DR.Wahbah Az-zuhayli, Alfiqhul islami wa adillatuhu,Darul Fikr, Damascus Suriah, cet IV, Jilid V, hal 3865. (total terbitan versi 10 jilid)

[13] Ibnu Najm al-mishry, Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad (wafat 970H), al-barur roo-iq syarh kanzud daqoo-iq, Darul kitaab al-islami, tt, Jilid VI, hal 226.

[14] Lihat mukaddimah yang terdapat pada Jilid I, hal 2 dari kitab al-bahrur roo-iq.

[15] Zuhayli, Op.Cit, Jilid V, hal 3866.

[16] Abul husain yahya bin abil khoir alyamani asy-syafii (wafat 558 H), Al-Bayaan fii madzhabil imam asy-syafii, editor : Qosim Muhammad An-nuuri, Darul minhaj, Jeddah, 1421 H, Vol 7 hal 407. (total 13 volume).

[17] An-Nawawi, Muhyiddin bin Syaraf, Abu Zakariyya, (wafat 676 H), Al-majmu’ syar al-muhadzdzab, Darul Fikr, tt, Vol XV hal.113.

[18] Ibnu Qudamah, Al-kaafi, Loc.Cit, Vol II hal 186-187.

[19] Bahauddin Al-maqdisi, Abdurrahman bin Ibrohim bin Ahmad (wafat 624 H), Al-‘uddah   syarh al-‘umdah, Darul hadits, Cairo, 1424 H, hal 287.

[20] Al-bahuti al-hanbali, Mansur bin Yunus bin Solahuddin (wafat 1051 H), Kasysyaful Qina’ ‘an mat al-iqnaa’, Darul kutub al-‘ilmiyah (6 vol), tt, Vol.IV, hal 202.

[21] Marketing plan dikuti dari   www.k-link.co.id/bo-plan-b.php   pada 19/01/2012.

[22] An-Nawawi, Al-majmu’, Op.Cit, Vol XIV, hal 4.

[23] Zuhayli, Op.Cit, Von III, hal 545.

[24]At-tuwaijiri, Muhammad bin Ibrohim bin Abdullah, Mausu-‘at al-fiqh al-islaami, Baitul afkar ad-duwaliyah, Cet I, 1430 H, Vol III, hal 546   dan     Zuhayli, Loc.Cit.

[25] Zuhayli, Vol V hal 3867.

[26] Zuhayli, Loc.Cit.

[27] Zuhayli, Op.cit. VolV hal 3868.

[28] Zuhayli, Loc.Cit..

[29] A, Asnal mathaalib fii syarhi raudli ath-thaalib, II, 439.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar