Sabtu, 20 Desember 2014

Hukum Pengambilan Ujroh (Upah) Dana Talangan Haji dalam Islam



Kalau saya lihat di fatwa DSN MUI No. 29 perihal pembiayaan pengurusan haji, jelas dituliskan bahwa talangan yang dilakukan oleh Bank pada nasabah menggunakan prinsip Qardh, karena dalam pembukuan bank juga dicatat sebagai qardh. Ujroh yang diambil adalah menggunakan prinsip ijarah dalam konteks "Umum" -bukan dalam onteks khusus- atas layanan pembiayaan pengurusan haji, sebagai gambaran prakteknya, (untuk haji, nasabah harus mengantri atau membeli antrian ke kemenag agar mendapat nomor antrian haji karena haji pakai kuota, biaya yg harus nasabah bayar untuk mendapat no antrian biasanya adalah 25 juta nanti ditambah sisanya sampai 35 juta atau lebih. 


Nah, karna tak semua orang punya uang cash, atau punya tapi ingin dipakai keperluan lain, nasabah akhirnya mengajukan pembiayaan pengurusan haji ke bank, katakan nasabah punya uang 5 jt, berarti bank akan meminjamkan dan menalangi nasabah sebesar 20 juta, sehingga nasabah bisa mendapat nomor antrian haji. Sekarang, bank meminta ujroh/fee atas jasa telah menalangi nasabah, ujroh yang ditetapkan bank biasaya diperhitungkan terdiri dari biaya administrasi, biaya overhead (pajak, biaya listrik, pegawai, dll), karena setiap pengeluaran uang oleh bank ada pajak, bank harus menggaji pegawai, membayar listrik, air dll untuk kantornya, dan di sini ada ta'ab dan sa'yun atau lelah dan sedikit usaha bank dalam pelayanan pengurusan haji. Dan seperti ana katakan di komen awal, ada sebuah kaedah fikih yang mengatakan " jika diperantai dengan barang, usaha (walau sedikit), dan atau lelah, maka tidak ada riba". 

Adapun tentang kafalah bil ujroh, jumhur ulama memang mengharamkan ujroh atas kafalah atas dasar sad dzarai'  atau tindakan preventif agar tidak terjatuh pada riba. Tapi ada sebagian ulama yg membolehkan dengan ketentuan dan syarat khusus. Dan masalah ini sudah dibahas oleh ulama salaf yang dikenal dengan "tsaman aljaah". Ini teksnya dalam kitab hasyiyah syarh al-kabir:

قال الدسوقي في حاشيته على "الشَّرح الكبير": "سئل أبو عبدالله القوري عن ثمن الجاه؟ فأجاب بما نصُّه: "اختلف علماؤُنا في حكم ثمن الجاه، فمن قائلٍ بالتَّحريم بإطلاق، ومن قائلٍ بالكراهة بإطلاق، ومن مفصِّل فيه، وأنَّه إن كان ذو الجاه يَحتاج إلى نفقةٍ وتعبٍ وسفرٍ، فأخذ أجرة مثلِه - فذلك جائزٌ، وإلاَّ حرم". اهـ، قال أبو علي المسناوي: وهذا التَّفصيل هو الحق". اهـ.

Terjemahan: Dasuqi berkata dalam kitab syarh al-kabir: Abu AbdullahAl-Quwairy ditanya tentang “tsaman aljaah” (upah atas kafalah), Beliau menjawabnya: Para ulama kami berbeda pendapat terkait hukumnya. Ada yang berpendapat  hukumnya haram secara mutlak, ada yang mengatakan hukumnya makruh, dan ada yang memperinci, bahwa apabila orang yang memberikan kafalah mengeluarkan biaya, ada rasa letih, dan harus melakukan perjalanan, maka ia boleh mengambil upah sesuai kadar yang telah dikeluarkannya. Dan berkata Abu Ali Al-Misnawi: Hukum yang memperinci ini adalahpendapat yang benar.


Mungkin ini juga yg melatari DSN MUI dalam mengambil kebijakan fatwanya yang membolehkan mengambil ujroh atas dana kafalah/talangan, walau pada dasarnya akad kafalah adalah akad tabarru’at/tolong menolong. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar