Senin, 12 Maret 2012

INFLASI



INFLASI
Oleh : Muhammad Rakhmat Alam

Pada masa sekarang, kita sering kali mendengar kata inflasi. Hal itu karena inflasi merupakan sebuah fenomena dan polemik yang menimpa pada sebagian besar perekonomian dunia saat ini, karena dampak negatif yang ditimbulkannya pada perekonomian atau pun sosial. Terjadi perbedaan teori dalam menafsirkan fenomena tersebut, ini disebabkan perbedaan filosofi yang dijadikan sandaran dalam menafsirkannya. Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa metode yang digunakan untuk mengatasi dan menghentikan inflasi, atau paling tidak meminimalisirnya. Untuk membahas lebih dalam tentang inflasi, penulis akan membaginya dalam 6 sub bahasan:

1.     Definisi Inflasi
2.     Teori Inflasi
3.     Jenis-Jenis Inflasi
4.     Faktor Penyebab Inflasi
5.     Efek Inflasi
6.     Cara Penanggulangan Inflasi


      I.          Definisi Inflasi

 Tidak ada definisi tertentu untuk inflasi yang disepakati oleh para ahli keuangan dan ekonomi. Para pakar ekonomi dan keuangan berbeda dalam mendefinisikan inflasi. Terjadinya perbedaan delam mendefinisikan inflasi ini dikarenakan sebagian pakar ekonomi menjelaskan makna inflasi berdasarkan sebab yang menimbulkan inflasi dan sebagian yang lain berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh inflasi[1]. Pada masa antara perang dunia I dan II, inflasi dipahami sebagai, mengeluarkan uang kertas secara mutlak, tanpa memperhatikan adanya back up atau perlindungan dari uang yang dikeluarkan. Kemudian, inflasi dipahami sebagai, pertambahan uang melebihi pertambahan barang dan jasa[2].  Sedangkan definisi yang umum dipakai oleh para ahli adalah “kenaikan yang tidak biasa atau tidak alami pada harga”[3].  Akan tetapi, bukan berarti setiap kenaikan harga disebut inflasi, karena sebagaimana yang dikatakan Gardner Ackley[4], inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang-barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut Gardner kenaikan
harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.

    II.          Teori Inflasi[5]

1. Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori klasik yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar.

2. Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat),
akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).

3. Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya perdagangan; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :

1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sector pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money). Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di Negara-negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.

Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi.
Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu factor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.

Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barangbarang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik.

    III.        Jenis Inflasi[6]

Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
Jenis inflasi :

1. Menurut Derajatnya
Inflasi ringan di bawah 10%.
Inflasi sedang 10% - 30%.
Inflasi tinggi 30% - 100%.
Hyperinflasion di atas 100%.

2. Menurut Penyebabnya
Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan permintaan total (aggregate demand) masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang, sedangkan produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh, atau hampir penuh sehingga tidak mungkin menambah produksi lagi. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi kelebihan permintaan (excess demand), yang merupakan inflationary gap atau kesenjangan inflasi.

Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi; government expenditures (pengeluaran pemerintah); atau net export (ekspor bersih).

Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri), sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Salah satu penyebabnya adalah perjuangan buruh untuk meningkatkan upah mereka.

3. Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam negeri oleh pemerintah, para pelaku ekonomi dan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena deficit belanja Negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru atau karena terjadinya kegagalan panen.

Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri atau barang impor (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’,  baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor.

Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation, dsb.

    IV.        Faktor-Faktor yang Menimbulkan Inflasi[7]

Dari penjelasan definisi, teori dan jenis-jenis inflasi di atas, sebenarnya sudah dapat diketahui apa saja faktor atau penyebab yang menimbulkan inflasi. Akan tetapi untuk lebih jelas di sini akan cantumkan beberapa faktor umum yang menjadi penyebab timbulnya inflasi.

1.     Jumlah uang beredar.
2.     Defisit anggaran belanja pemerintah.
3.     Faktor-faktor dalam penawaran dan permintaan agregat.
4.     Faktor-faktor luar negri (ekspor dan impor serta inflasi di luar negri).
5.     Faktor pengaruh bencana alam.

       V.        Efek Inflasi[8]

a)     Efek Terhadap Pendapatan
Secara umum, inflasi akan mengurangi daya beli seseorang. Dengan adanya inflasi, nilai riil uang yang dipegang akan berkurang. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap Rp 500.000 per bulan, sedang laku inflasi sebesar 12% setahun (atau 1% perbulan), akan menderita kerugian penurunan pendapatan riil sebesar laju inflasi tersebut, yakni Rp 5.000 per bulan.

Kekayaan yang berupa tabungan dan deposito juga akan berkurang secara riil karena inflasi. Misalnya, tingkat bunga yang diperoleh dari tabungan adalah 15% per tahun dan tingkat inflasi yang terjadi adalah 10% (harga-harga naik 10%), maka tingkat bunga secara riil yang diperoleh hanyalah 15-10, yaitu 5% per tahun. Maksudnya, apabila nasabah mengambil seluruh tabungannya pada akhir tahun, secara nominal uangnya naik sebesar 15%, namun karena inflasi yang terjadi 10%, kenaikan riil uangnya hanya 5%.

Keadaan tersebut membuat orang berpikir dua kali untuk menabung, pertama berapa tingkat bunganya dan berapa kira-kira tingkat inflasi setahun yang akan datang. Tentu saja ia akan memilih bentuk tabungan yang memberikan tingkat suku bunga lebih tinggi dari tingkat inflasi agar daya beli dari tabungannya tidak menurun.

b)     Efek terhadap output (hasil produksi)
Inflasi bisa menyebabkan kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kita tahu bahwa apabila kontrak kerja telah ditandatangani maka gaji yang akan diterima berarti sudah ditentukan. Nah, selama periode kontrak lama belum berakhir, adanya inflasi yang mendorong kenaikan harga produk menaikkan keuntungan pengusaha. Kenaikan keuntungan ini kan mendorong kenaikan produksi.

Namun apabila laju inflasi itu cukup tinggi, justru berakibat sebaliknya, yakni penurunan output. Hal ini karena dengan adanya inflasi yang tinggi daya beli masyarakat akan turun sehingga kuantitas barang yang dibeli juga menurun. Karena itu pengusaha akan mengurangi produksi barang.

c)     Efek terhadap distribusi
Inflasi yang disebabkan oleh naiknya permintaan melebihi penawaran akan menyebabkan redistribusi produk, dari mereka yang lemah daya belinya kepada yang kuat. Apabila harga-harga naik, maka daya beli masyarakat akan turun. Meskipun demikian, ada sekelompok masyarakat yang mampu menaikkan daya belinya. Hal ini akan terjadi kesenjangan sosial yang kontras antara si kaya dan miskin.

d)     Efek terhadap investasi
Inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan kenaikan tingkat bunga nominal, yang dapat mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk memacu tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Selain itu akan menguruangi daya tarik investasi asing, bahkan Inflasi yang tinggi dapat mendorong terjadinya pelarian modal ke luar negeri.

e)     Efek terhadap sosial
Inflasi yang tinggi secara tidak langsung dapat memicu peningkatan angka kriminalitas, selain itu juga berefek pada masalah pengangguran. Seperti yang terjadi di Mesir saat ini dan di Indonesia ketika krisis 1997-1998.

  VI.          Cara penanggulangan atau mengatasi inflasi
Untuk mengatasi inflasi yang terjadi, terlebih dahulu kita harus mengetahui penyebabnya sebagaimana yang dijelaskan pada teori inflasi di atas. Dengan mendeteksi setiap penyebab terjadinya inflasi, maka kita akan dapat menentukan tindakan yang tepat dalam mengatasinya. Beberapa tindakan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Kebijakan moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Sasaran kebijakan moneter dapat dicapai melalui pengaturan jumlah uang yang beredar. Caranya dengan mengurangi uang yang beredar, menaikkan suku bunga, memperketat pemberian kredit dll.

2. Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output, ini tentu memicu inflasi. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat, ini tentu bisa mengurangi inflasi.

3. Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Cara ini adalah jika inflasi lebih disebabkan karena faktor produksi yang lemah dan tingginya permintaan (strukturalis). Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan. Dengan begitu akan terjadi keseimbangan penawaran dan permintaan dan keseimbangan ekspor dan impor pada bahan pangan.

4. Meningkatkan Cadangan Devisa[9]
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri, terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestik terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam negeri. Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat impor kepada yang lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export (ekspor bersih).

5. Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah).  Ketiga, menciptakan kondisi yang sehat dalam perekonomian agar mekanisme pasar (market mechanism) dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Keempat, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.

6. Kebijakan penentuan harga
Pemerintah dalam hal ini secara langsung terjun melakukan operasi pasar untuk mengedalikan harga, ini berguna untuk kestabilan harga bahan pokok. Di samping itu, pemerintah memberikan informasi harga melalui media cetak atau radio. Informasi ini berguna untuk mengurangi spekulasi harga yang merupakan salah satu dampak dari inflasi.





[1]Ahmad Hasan. Al Auraq Al Naqdiyah Fi Al- Iqtishad Al Islamy (Qimatuha wa Ahkamuha) (Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami), (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 273-274
[2] Dr. Ghazi Husein Inayah, at-Tadakhum al-Maliyah, Muassasah Syabab al-Jamiah, Iskandariyah, 2000, hal. 9
[3] Dr. Marwan Ithwan, Maqayis Iqtishadiyah, Dar al-Ba’ts, Constantine, 1989, hal. 177
[4] Said Hathat, Dirasah Iqtishadiyah wa Qiyasiyah li Zhahirah at-Tadakhum, Risalah Megister, 2006, hal. 25
[5] http://www.ut.ac.id
[6] Adwin S Atmadja, Inflasi di Indonesia, Sumber-Sumber Penyebab dan Pengendaliannya,Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, Mei 1999, hal. 54
[7] Ibid.Hal. 60
[8] Elearning.gunadarma.ac.id
[9] Cadangan devisa adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen, dan digunakan untuk menjamin kewajibannya, yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan. Kegunaan umum cadangan devisa adalah untuk membiayai impor dan pembayaran utang luar negeri. Cadangan devisa dapat digunakan untuk mengatur nilai tukar. Sebagai contoh, apabila pemerintah ingin rupiah mengalami penguatan, maka cadangan devisa dalam bentuk dolar atau mata uang lain dapat dilepaskan untuk membeli rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar