Rabu, 29 Februari 2012

Kesalahan dalam Hukum Pidana (الخطأ الجنائي)


Kesalahan dalam Hukum Pidana ) ( الخطأ الجنائي[1]
Oleh: Muhammad Rakhmat Alam

Pendahuluan
Adanya kehendak bebas/memilih (hurriyah ikhtiyar) dan intelektualitas/kedewasaan seseorang tidak cukup untuk perkara pidana, akan tetapi mesti adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Kesalahan merupakan esensi pilar maknawi/immaterial dalam delik/tindak kejahatan/jarimah, yang tanpanya tidak ada tampat untuk perkara pidana.  Kesalahan adalah perbuatan melawan hukum, dimana seseorang dipertanggungjawabkan secara hukum pidana atas perbuatannya. Ada dua bentuk kesalahan: a. kesalahan disengaja, b. kesalahan tidak disengaja. Kesalahan disengaja yaitu jika seseorang melakukan tindak kejahatan, mengetahui dan menghendaki akibat dari perbuatannya tersebut. Seperti membunuh seseorang dengan sengaja. Sedangkan kesalahan tidak sengaja yaitu jika seseorang melakukan tindak kejahatan, mengetahui akibat dari perbuatannya tanpa menghendaki akibat dari tindakannya tersebut, seperti seseorang yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di jalan yang ramai yang kemudian menabrak kendaraan lain.
Untuk lebih jelas dan lengkapnya, penulis akan membahas tentang kesalahan dalam hukum pidana dalam 5 sub bahasan:
       I.          Kesalahan disengaja/al-Khata’’Amdi/Dolus
     II.          Kesalahan tidak sengaja/al-Khata ghairu ‘Amdi/Culpa
    III.          Unsur non materi dalam pelanggaran (ringan)
    IV.          Pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain
     V.          Hal-hal yang menghalangi/meniadakan pertangungjawaban pidana

I.       Kesalahan disengaja/al-Khata’ ‘Amdi/al-Qashdul Jina’i

Dalam pembahasan kesalahan sengaja akan dibahas mengenai esensi kesengajaan,  unsur-unsur kesengajaan dan jenis-jenis kesengajaan.

a.      Esensi dan pengertian kesengajaan

Kesalahan disengaja merupakan bentuk biasa yang terjadi dan merupakan bentuk kesalahan yang paling tinggi pada kehendak manusia yang menyebabkannya mendapatkan sanksi hukum atau pidana, karena pelaku kejahatan  itu menginsyafi, menghendaki dan mengetahui melakukan perbuatan yang melawan hukum. Misal: seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, ia menghendaki dan sadar akan perbuatannya.

Ada dua teori tentang kesengajaan:

1.      Teori Pengetahuan / membayangkan

Teori ini mengatakan bahwa sengaja berarti mengetahui dan dapat membayangkan kemungkinan akan akibat yang timbul dari perbuatannya tanpa ada kehendak atau maksud untuk akibat tersebut[2].

2.      Teori Kehendak

Teori ini mengatakan bahwa inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Artinya bahwa pelaku kejahatan berkehendak melakukan perbuatan –yang dipidana hukum- dan menginginkan akibatnya[3]. Teori ini adalah yang paling kuat.
Dari penjelasan dan teori di atas dapat disimpulkan bahwa kesalahan disengaja  (القصد الجنائي) adalah menghendaki dan mengetahui  perbuatan yang dilakukan, yang mana perbuatan itu dipidana secara hukum, serta menghendaki akibat dari perbuatan tersebut.[4]

b.     Unsur-unsur Kesengajaan
Kesengajaan memiliki dua unsur:
1.      Kehendak / al-Iradah

Kehendak merupakan unsur kesengajaan  yang merupakan syarat perbuatan dikenakan pidana secara hukum. Kehendak adalah perbuatan batin yang menginginkan tercapainya tujuan tertentu[5]. Maksudnya adalah kehendak untuk sengaja melakukan tindak kejahatan, dan menginginkan terjadinya akibat dari perbuatan tersebut yang melanggar hukum. Jika terdapat unsur kehendak ini, maka suatu perbuatan tersebut sudah memiliki salah satu dari unsur kesengajaan dan bertanggung jawab dalam kasus tindak pidana sengaja.

Kehendak dalam kesalahan disengaja berbeda dengan kehendak dalam kesalahan tidak disengaja, di mana kehendak dalam kesalahan tidak sengaja hanya sebatas kehendak untuk melakukan perbuatan tanpa ada kehendak tercapainya akibat. Maka, jika seseorang menggunakan senapan api untuk berburu hewan, kemudian menimpa salah seorang di sekitarnya, ia –orang yang menggunakan senjata api tersebut- akan dipidana atas kasus tindak pidana tidak sengaja. Hal itu karena pelaku hanya bermaksud dan berkehendak menggunakan senapan api untuk berburu hewan, bukan berkehendak menembak seseorang yang terkena tembakan api.

2.      Mengetahui atau pengetahuan / al-‘ilm
Pengetahuan merupakan unsur kedua dari kesengajaan yang merupakan syarat perbuatan dapat dikenakan pidana secara hukum. Maksud pengetahuan di sini adalah mengetahui seluruh unsur-unsur pembentuk tindak kejahatan sebagaimana yang telah ditetapkan hukum. Karena itu, jika seseorang melakukan perbuatan dan ia bodoh atau tidak tahu bahwa tindakannya itu dipidana hukum, maka tidak ada unsur kesengajaan dalam tindakkannya[6].
Untuk itu, perlu dibedakan jenis pengetahuan ini, yaitu pengetahuan tentang hukum dan pengetahuan tentang kejadian-kejadian/realita.

Pertama: Pengetahuan tentang hukum
Di antara kaedah umum yang ditetapkan hukum adalah tidak bolehnya membela diri dengan beralasan tidak mengetahui hukum atau undang-undang. Hal ini karena mengetahui hukum merupakan suatu kewajiban. Ini merupakan kaedah yang dipakai disebagian besar Negara di dunia. Dalam hukum Mesir disebutkan bahwa wajib mengamalkan hukum setelah sepuluh hari sejak disebarkannya hukum atau undang-undang, dan penyebaran atau pemberitaan hukum ini merupakan indikasi adanya pengetahuan tentang hukum bagi seluruh masyarakat. Dan maksud mengetahui hukum di sini adalah mengetahuinya dengan bentuk atau pemahaman yang benar.
Hikmah dilarangnya beralasan tidak mengetahui hukum adalah demi supremasi, kepastian dan ketegakan hukum dalam suatu Negara. Namun, untuk menetapkan pengetahuan tentang hukum yang ada merupakan masalah yang sulit. Dalam realita, kaedah umum ini sulit diterapkan, karena banyaknya undang-undang bahkan bagi para aktivis dan pegiat hukum sendiri. Dikarenakan hal itu, para hakim dan pakar hukum melakukan peringanan pada dasar kaedah umum tersebut, yaitu dengan membatasinya bahwa tidak boleh atau dilarang melakukan alasan atau berapologi tidak mengetahui hukum yang ada dalam teks hukum pidana. Di samping itu, dibolehkan beralasan tidak mengetahui hukum pada bererapa keadaan, seperti seseorang yang diblokade dalam suatu tempat disebabkan gempa, perang dan lainnya, kemudian pada waktu itu hukum atau undang-undang disebarkan dan ia tidak mengetahuinya. Apabila orang tersebut melakukan tindak kejahatan maka ia boleh beralasan tidak mengetahui hukum, dengan begitu ia tidak bisa dikenakan pidana.


Kedua: Pengetahuan tentang kejadian/peristiwa
Dalam kaedah umum, seseorang diharuskan mengetahui seluruh kejadian-kejadian penting yang masuk dalam struktur atau rumusan hukum yang merupakan syarat adanya unsur kejahatan atau delik. Hal ini karena ketidaktahuan (al-Jahl) atau kekeliruan (al-Ghalt) dalam kejadian-kejadian tersebut dapat mempengaruhi adanya unsur kesengajaan yang merupakan syarat adanya delik atau kejahatan.
Yang dimaksud dengan ketidaktahuan/al-jahl adalah tidak mengetahui suatu hukum dan tidak pula memahaminya. Sedangkan kekeliruan/ghalt adalah mengetahui dan memahami suatu hukum namun dengan pemahaman yang tidak benar atau salah. Walaupun ketidaktahuan dan kekeliruan adalah suatu yang berbeda akan tetapi pengaruhnya sama dalam kesalahan disengaja. Namun, pengaruh keduanya –ketidaktahuan dan kekeliruan-  berbeda dalam keadaan apabila ketidaktahuan dan kekeliruan itu terjadi pada rukun kejahatan, atau pada keadaan diberatkan dalam kejahatan, atau pada korban dalam kejahatan.

Sebelum membicarakan pengaruh ketidaktahuan dan kekeliruan dalam beberapa keadaan di atas, di sini akan dibahas sebuah kaedah umum bahwa “pembuat undang-undang atau peraturan tidak mempertimbangkan sarana atau wasilah yang digunakan dalam melakukan kejahatan, tidak juga mempertimbangkan waktu melakukan kejahatan dan tempat melakukan kejahatan, kecuali jika peraturan butuh hal tersebut untuk mempertimbangkan terjadinya kejahatan”[7].

Sebuah peraturan, walaupun tidak mempertimbangkan sarana yang digunakan untuk kejahatan, terkadang mempertimbangkannya pada beberapa keadaan. Sebagi contoh: Kejahatan pembunuhan dengan racun.  Kejahatan ini tidak dianggap sempurna rukun delik atau tindak kejahatannya, kecuali jika sarana yang digunakan untuk membunuh adalah materi atau bahan yang sangat mematikan. Begitu juga peraturan terkadang mempertimbangkan waktu melakukan kejahatan pada beberapa keadaan. Seperti yang disebutkan dalam butir 78 UU Pidana Mesir, bahwa setiap orang yang mendorong atau memerintahkan tentara Negara  ketika masa perang  untuk bergabung dan membantu tentara asing akan dihukum gantung. Peraturan terkadang juga mempertimbangkan tempat melakukan kejahatan pada beberapa keadaan. Seperti dalam butir 277 UU Pidana Mesir, bahwa dihukum dengan tahanan selama kurang dari enam bulan seorang suami yang berzina di dalam rumah istri. Berdasarkan keadaan di atas, jika pelaku kejahatan tidak mengetahui bahan mematikan (sarana) atau tidak mengetahui waktu dan tempat ketika ia melakukan kejahatan, maka unsur kesengajaan dianggap tidak ada.

Macam-macam ketidaktahuan dan kekeliruan serta pengaruhnya:

1-     Ketidaktahuan dan kekeliruan pada rukun kejahatan atau tindak pidana.
Para ahli hukum sepakat[8] bahwa dalam keadaan tidak tahu atau keliru pada rukun kejahatan, maka kejahatan tersebut bukan merupakan kesengajaan. Sebagai contoh pada kejatahan pembunuhan, pelaku kejahatan harus mengetahui tempat terjadinya kejahatan terdapat manusia. Jika seseorang menggunakan senapan api, dan dia memiliki prasangka kuat bahwa ada hewan buas dari jarak jauh yang akan menerkamnya padahal itu adalah manusia, kemudian ia melesatkan senjatanya, maka dalam keadaan ini ia tidak dipidana dengan pembunuhan sengaja. Contoh lain adalah jika seseorang masuk ke Mesjid dan melepaskan sendalnya, kemudian ketika keluar ia memakai sandal orang lain dan berprasangka kuat bahwa yang ia pakai adalah sandalnya, maka ia tidak dianggap sebagai pencuri. Contoh kejahatan di atas tidak dianggap sengaja karena salah satu rukun tindak pidana atau kejahatan tidak ada, yaitu rukun non materi atau kehendak –membunuh orang dan mencuri- dan mengetahui.
2-     Ketidaktahuan dan kekeliruan dalam keadaan diberatkan hukuman
Jika seorang pembantu mencuri harta atau barang majikannya, maka hukuman untuk dia diberatkan sesuai undang-undang. Akan tetapi jika ia tidak tahu harta itu adalah milik majikannya, maka dia dihukum dengan pidana pencurian biasa. Jika seseorang kembali melakukan kejahatan, dalam hal ini ia akan diberikan hukuman lebih berat sesuai undang-undang, akan tetapi jika ia tidak tahu bahwa ia telah melakukan kejahatan tersebut dua kali maka hukumannya tidak diberatkan.
3-     Kekeliruan pada korban kejahatan
Contohnya, jika si A menargetkan membunuh B, ketika akan beraksi yang terbunuh adalah si C. Dalam contoh ini para ahli hukum sepakat si pelaku dihukum dengan pidana kejahatan sengaja, karena si A sedari awal meniatkan menghilangkan nyawa seseorang yaitu si B, dan hukum menjamin setiap jiwa insan.
c.      Jenis-Jenis atau Bentuk Kesengajaan

1.      Kesengajaan umum dan khusus  (القصد العام و الخاص)
Kesengajaan umum ialah kesengajaan yang memiliki dua unsur yaitu kehendak atau maksud dan pengetahuan atau mengetahui. Kesengajaan ini merupakan syarat umum dalam setiap tindak pidana. Selain itu ada beberapa kejahatan atau tindak pidana yang ditetapkan hukum sebagai tambahan dari kesengajaan umum, yaitu niat khusus si pelaku kejahatan, di mana niat ini merupakan factor pendorongnya untuk melakukan kejahatan. Niat khusus ini dinamakan kesengajaan khusus. Contohnya adalah delik pemalsuan dokumen / jarimah at-tazwir. Delik ini tidak cukup adanya kehendak si pelaku untuk memalsukan dokumen dan mengetahui perbuatan pemalsuannya tersebut. Tetapi, mesti ada niat khusus atau terselubung dari tindakan pemalsuannya itu, yaitu niat untuk menggunakan dokumen yang dipalsukannya.
2.      Kesengajaan ditentukan dan tidak ditentukan (القصد المحدد و غير المحدد)

Kesengajaan ditentukan ialah kesengajaan yang objek akibat kejahatannya ditentukan. Seperti si A yang bermaksud membunuh si B. Orang yang ingin dibunuh si A sudah ditentukan yaitu si B. Kesengajaan tidak ditentukan ialah kesengajaan yang objek akibat kejahatannya tidak ditentukan. Seperti seorang yang meletakkan bahan peledak ditengah lapangan yang dilalui orang banyak, ledakkan itu menyebabkan terbenuhnya beberapa orang yang lewat dan mengenai orang disekitarnya.  Jenis kesengajaan ini meski berbeda namun sama di dalam pertanggungjawaban hukum.

3.      Kesengajaan biasa dan kesengajaan berencana  (القصد البسيط و القصد المصحوب بسبق إصرار)

Kesengajaan biasa adalah kesengajaan yang tidak didahului perencanaan dan antisipasi. Pelaku kejahatan tidak memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan kejahatannya. Sedangkan kesengajaan berencana adalah adalah kesengajaan yang telah direncakan, dirancang, dipikirkan dan memiliki waktu/jeda  yang cukup antara rencana dengan timbulnya kejahatan.

4.      Kesengajaan langsung dan tidak langsung (القصد المباشر و القصد غير المباشر)
Kesengajaan langsung adalah kesengajaan yang langsung tertuju atau terkena pada orang yang dituju. Sedangkan kesengajaan tidak langsung adalah kesengajaan yang akibat dari kejatahan itu ada kemungkinan akan terjadi kejatahan lain. Contohnya: si A hendak membunuh B, si A mengirimkan kue beracun ke rumah B, ia tahu B tinggal bersama istri dan anak-anaknya, A menyadari ada kemungkinan istri B dan anaknya memakan racun itu akan mati, tapi ia tetap mengirim kue beracun tersebut. Pada keadaan ini, jika istri B atau anaknya mamakan kue dan kemudian meninggal, maka A dianggap memiliki unsur kesengajaan yang tertuju pada istri dan anak si B, kesengajaan ini dinamakan tidak langsung.
·        Menetapkan ada dan tidak adanya kesengajaan
Kesengajaan merupakan perkara batin yang sulit dilihat, karena itu untuk menetapkannya perlu adanya indikasi-indikasi eksternal yang menunjukkan adanya kesengajaan.

II.     Kesalahan tidak disengaja/kealpaan/al-Khata ghairu ‘Amdi/Culpa
Pada umumnya, setiap kejahatan atau tindak pidana adalah disengaja, karena adanya unsur-unsur kesengajaan, yaitu kehendak untuk melakukan kejahatan dan kehendak terwujudnya akibat serta mengetahui seluruh unsur-unsur kejahatan yang ditetapkan hukum. Akan tetapi, terdapat pengecualian pada beberapa kejahatan atau delik yang merupakan kesalahan tidak disengaja atau kelapaan. Untuk lebih  jelasnya akan dibahas pengertian kealpaan, bentuk-bentuk kealpaan dan jenis-jenis kealpaan.
a)      Pengertian Kealpaan
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Tapi, para pakar dan ahli hukum pidana membuat definisi kealpaan, yaitu “mengarahkan kehendak untuk melakukan kejahatan, tetapi tidak mengarahkan kehendak untuk terwujudnya akibat dari perbuatan tersebut, dan terjadinya akibat tadi merupakan hasil dari kesalahan pelanggar/al-jani karena ia dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat bahkan dapat mencegah terjadinya akibat tersebut”[9]
Di dalam peraturan atau hukum Mesir, kesalahan tidak disengaja atau kealpaan tidak memiliki tanggung jawab pidana, kecuali pada beberapa hal. Sebagai contoh, jika seorang polisi penjaga lalai dalam menjaga tahanan, kemudian tahanan tersebut kabur, maka polisi penjaga tadi dikenakan sanksi pidana. Pada sanksi kesalahan ini, disyaratkan terjadinya kejahatan dan adanya hubungan sebab-akibat, serta bahaya. Karena itu, jika polisi penjaga lalai namun tidak menyebabkan tahanan kabur, maka penjaga terbebas dari kesalahan pidana. Penyebab kealpaan diantaranya teledor, sembrono, lalai, tidak hati-hati dll.
Beberapa pakar hukum pidana berpendapat tidak adanya pertanggungjawaban pidana pada kejahatan atau tindak pidana tidak disengaja, hal ini karena pelanggar tidak menginginkan/berkehendak akibat. Akan tetapi, faktanya bahwa kehendak manusia dalam kejahatan itu tidak terlepas dari dosa atau kesalahan. Karena manusia diharuskan menjauhi segala keadaan atau kesalahan yang dapat menyebabkan bahaya terhadap orang lain. Oleh sebab itu, sebagain pakar hukum berpendapat bahwa pelanggar memiliki tanggung jawab pidana.
b)      Bentuk-bentuk Kealpaan

1.      Kealpaan yang disadari (الخطأ مع التوقع)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.
2.      Kealpaan yang tidak disadari (الخطأ مع عدم التوقع)
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
c)      Jenis-jenis Kealpaan

1.      Kealpaan berat dan kealpaan ringan
Kealpaan berat yaitu kealpaan yang terjadi pada kejahatan hukum pidana. Sedangkan kealpaan ringan yaitu kealpaan yang terjadi pada kejahatan hukum perdata/madani. Pembagian ini tidak begitu kuat, dan mayoritas ahli hukum tidak membedakan pembagian ini.

2.      Kealpaan materi dan kealpaan teknis
Kealpaan materi maksudnya adalah tidak memperhatikan keharusan untuk berhati-hati atau tidak memperhatikan larangan yang ditekankan pada seseorang. Seperti seorang dokter yang sedang memeriksa pasien dan dokter tersebut dalam keadaan mabuk/kurang hati-hati, kemudian dokter tersebut salah memberikan obat pada pasien, atau ketika operasi lupa mengeluarkan alat operasi dari tubuh pasien. Kealpaan teknis adalah kesalahan yang dilakukan oleh para ahli dalam bidang tertentu. Seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien namun tidak mengikuti prosedur yang ada, atau seorang arsitek tidak melakukan prosedur pembangunan yang ada sehingga terjadi keruntuhan.  Pembagian ini juga ditentang para ahli hukum.

III.    Unsur nonmateri dalam pelanggaran (ringan) (الركن المعنوى فى المخالفات)

Dalam kaedah umum pelanggarang ringan disebutkan bahwa hukum tidak mensyaratkan terjadinya pelanggaran ini adanya kesalahan disengaja atau tidak disengaja yang merupakan unsur maknawi. Ahli hukum Perancis berpendapat bahwa terdapat pelanggaran yang cukup dengan unsur materi. Akan tetapi, kenyataanya bahwa tidak ada kejahatan tanpa adanya unsure maknawi/nonmateri. Kaedah ini dipakai dalam hukum modern, karena itu dalam pelanggaran disyaratkan adanya unsur non materi. Apabila tidak dijelaskan secara jelas unsur nonmateri dalam hukum atau undang-undang, maka hal ini diserahkan pada hakim dan lembaga peradilan, sehingga hakim dapat meperberat hukuman tau meringankannya.

IV.   Pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain
Dalam peraturan hukum pidana modern terdapat dasar atau asas tanggung jawab pidana pribadi dan asas sanksi pribadi. Begitu juga hukum mensyaratkan tidak adanya sanksi kecuali pada seseorang yang telah ditetapkan atas kesalahannya. Akan tetapi, terdapat pengecualian , yaitu dihukumnya seseorang yang tidak ikut dalam penyertaan tindak pidana dengan sifat serikat. Contohnya adalah, diberikannya sanksi pada pimpinan redaksi sebuah majalah atau Koran atas kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan pada medianya. Si pemimpin redaksi tersebut tidak dapat pemaafan kecuali jika mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan medianya.
V.     Hal-hal yang menghalangi/meniadakan pertangungjawaban pidana (موانع المسئولية الجنائية)
Ada beberapa hal atau alasan seseorang yang melakukan tidan pidana tapi tidak dijatuhi pidana atau bertanggung jawab terhadap tindak pidana. Alasan tersbut adalah sebagai berikut:
1.      Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, yakni :

a)      Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau gangguan kejiwaan atau gila.
b)      Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana, melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
2.    Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu, yaitu:
a)      Daya paksa atau overmacht;
Contoh: A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya antara menyerahkan atau tidak. Di sini harus dilihat mana daya yang kuat, si A atau si B, jika daya tekan A lebih kuat, dan B terpaksa menyerahkan uang, maka B tidak dijatuhi pidana. Akan tetapi jika daya B kuat dan mempunyai daya untuk tidak menyerahkan, maka jika B menyerahkan uang pada A, ia akan dikenakan pidana.

b)      Pembelaan terpaksa atau noodweer;
Contoh: Si A mengajak kelahi dengan si B, A mengeluarkan pisau dan ada kinginan membunuh si B, B terpaksa mengambil batu dan memukul kepala si A sehingga A mati.
c)      Dalam keadaan darurat;
Contoh: Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau keduaduanya
tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO). Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

d)      Melaksanakan perintah jabatan .
Contoh: seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.

Perbedaan antara keadaan darurat danpembelaan darurat:
1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative.


[1]  Makalah ini disampaikan dalam kajian fakultatif FSQ, 26 Februaru 2012.
[2]  Dr. Samih Sayyid Jad, Syarh Qonun Uqubat, 2007, hal. 355. Disadur  dalam buku Manuale de diritto penale parte generale Giuffre Milano, 1969, hal. 33-34, karangan Antolisei.
[3]  Ibid.
[4]  Ibid. Hal. 356
[5]  Ibid. Hal. 357
[6]  Ibid. Hal. 358
[7]  Ibid. Hal. 361
[8]  Dr. Said Mustafa, al-Ahkamul ‘amah fi Qonunil ‘Uqubat, 1960, hal. 414
[9]  Dr. Samih Sayyid Jad, op. cit., hal. 375-376

Tidak ada komentar:

Posting Komentar