Selasa, 21 Desember 2010

Teori Pemisahan kekuasaan "dalam islam" (Part 4)



        Pinsip pembagian kekuasaan dalam islam

Sebenarnya prinsip pembagian kekuasaan dalam islam lebih tepat di diskusikan secara terpisah dalam kerangka konsep Negara Islam. Karena pembahasanya lebih erat dengan Sistem pemerintahan Negara Islam. Dan itu membutuhkan sejarah dan penelitian yang cukup panjang mengenai bentuk Negara Islam. Akan tetapi di sini akan di singgung sedikit pembagian kekuasaan dalam Islam sebagai pengetahuan apakah ada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam islam? Apakah sama atau sejalan dengan pembagian kekuasaan modern milik Montesquieu dan yang di pakai oleh Negara zaman sekarang?


Di dalam sistem kekuasaan Islam juga terdapat pembagian kekuasaan seperti teori Trias Politica menurut fungsinya karena berdasarkan konstitusi negara Islam dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 58-59 : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)…”.

Ada banyak penafsiran dari beberapa tokoh Muslim tentang substansi dari ayat tersebut. Menurut Muhammad Rasyid Ridha ayat tersebut menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah pemerintahan Islam.[1] Sementara itu, menurut Sayyid Qutbh ayat ini menjelaskan kaidah-kaidah asasi tentang organisasi umat Islam (negara), kaidah-kaidah hukum dan dasar-dasar mengenai kekuasaan negara[2]. Sedangkan Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan penting tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesejahtraan umat Islam, terutama yang bertalian dengan pemerintahan.[3] Dari ketiga penafsiran tokoh tersebut kita dapat menarik kesimpulan tentang dasar-dasar kaidah kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dengan dijalankan lewat ulil amri.

Di dalam ayat tersebut terdapat kata ulil amri, yang memiliki banyak arti, diantaranya adalah ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum).[4] Ulil amri juga dapat berarti pemerintahan dengan raja/khalifah/imam/amir sebagai kepala pemerintahan.[5]Namun, ulil amri juga dapat berarti sekelompok orang yang bertugas menjalankan dan menjatuhkan hukum.[6] Kita dapat menyimpulkan dari arti ulil amri menjadi sekelompok orang yang menjalankan pemerintahan dari segi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai raja/khalifah/imam/amir yang memimpin pemerintahan. Kekuasaan legislatif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai ahlul halli wal aqdi suatu kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum. Sedangkan, untuk kekuasaan yudikatif termuat dalam pengertian ulil amri sebagai sekelompok orang yang bertugas dan menjalankan hukum.

Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin. Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh eksekutif. Dengan demikian, sebenarnya, antara sistem pembagian kekuasaan Islam dengan sistem pembagian kekuasaan barat modern tidak ada perbedaan fundamental, hanya istilah penyebutannya dan cara kerjanyanya saja yang berbeda. Seperti yang telah disinggung diawal makalah ini tentang sistem berpikir politik barat yang antroposentrik dan Islam yang Teosentrik Pun begitu dengan sistem pembagian kekuasaan di Indonesia, tidak ada perbedaan yang fundamental dengan sistem pembagian kekuasaan Islam yang menempatkan presiden (khalifah) sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR (Majelis Syuro) sebagai pemegang kekuasaan legislatif, dan MA (Qadhi) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Jadi, sebelum konsep trias politica lahir, Islam telah mengenal konsep tentang pembagian kekuasaan beratus-ratus tahun sebelumnya.

Setelah konsep pembagian kekuasaan tersebut masalah pokok berikutnya adalah tentang pembatasan dan pertanggungjawaban kekuasaan serta pergiliran kekuasaan menurut konsep Islam. Islam melalui Al-Qur’an sebagai sumber hukum utamanya telah menjelaskan tentang kewajiban bagi penguasa untuk tidak bertindak melebihi batas dan sewenang-wenang. Maka barangsiapa yang bertindak demikian, penguasa tersebut merupakan penguasa yang zhalim dan hanya akan menyengsarakan rakyatnya. Oleh karena itu, Islam sangat membatasi kekuasaan para penguasa sehingga baik para penguasa maupun rakyat yang dipimpinnya nantinya dapat selamat dunia dan akhirat. Sebab, dalam Islam pertanggungjawaban kekuasaan bukan hanya kepada manusia atau rakyat yang dipimpinnya, melainkan juga tanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan konsep kedaulatan Tuhan. Sedangkan, bagi rakyat yang dipimpinnya mendapat penguasa yang bijaksana dan adil merupakan suatu berkah dari Tuhan yang apabila disyukuri akan menambah keridhaan Tuhan pada rakyat suatu negeri. Penguasa yang adil menurut Islam adalah penguasa yang senantiasa mengikuti petunjuk dan hukum dari Tuhan melalui Al-Qur’an. Selain itu penguasa yang adil juga merupakan penguasa yang memberikan hak-hak rakyatnya termasuk golongan minoritas (non-muslim), secara penuh tanpa dikurangi sedikitpun menurut Al-Qur’an dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya, tidak dijadikan alat untuk membatasi atau mengurangi sedikitpun hak-hak dari rakyat yang dipimpinnya. Sehingga baik golongan mayoritas maupun golongan minoritas dapat menerima hak-haknya berdasarkan ketentuan yang diberikan Al-Qur’an. Hanya ada beberapa hak yang tidak bisa diterima oleh golongan minoritas, hak-hak itu antara lain berupa hak untuk menduduki posisi puncak dari kekuasaan eksekutif (Khalifah), legislatif (Majelis Syuro), dan yudikatif (Qadhi) karena posisi-posisi puncak tersebut, berdasarkan Al-Qur’an harus diisi oleh pemeluk Islam. Selain dari posisi-posisi tersebut, golongan minoritas diperkenankan untuk memegang jabatan penting lainnya dalam sebuah negara Islam. Sehingga dengan demikian, Islam juga menaruh perhatian terhadap kekuasaan bagi golongan minoritas.

Negara yang baik adalah negara yang mempergilirkan pucuk kekuasaan secara teratur (suksesi) baik itu lewat pemilu, pewarisan tahta, dan sebagainya. Sebab, apabila tidak ada suksesi maka lama-kelamaan kecenderungan para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan sangat besar dan akan timbul kesombongan, lupa diri, dan simbolisasi pada diri para penguasa sehingga hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep kekuasaan menurut Islam karena dapat membawa para penguasa menjadi penguasa zhalim dan tiran. Namun, dalam Islam tidak ada konsep pergiliran kekuasaan secara jelas, bahkan konsep pembatasan masa jabatan dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada masa Khulafaur Rasyidin belum ada tetapi, karena hal ini merupakan bentuk kemaslahatan untuk negara dan tidak ada larangan di dalam Al-Qur’an dan hadist maka pembatasan dan pergiliran kekuasaan dalam Islam hukumnya adalah boleh. Sehingga masalah pergiliran kekuasaan dan pembatasan masa jabatan pemimpin adalah masalah baru dalam konsep kekuasaan Islam. Oleh karena itu, masalah ini merupakan masalah yang harus dipecahkan melalui itjihad ulama—sebagai sumber hukum negara Islam yang ketiga.

Menurut beberapa itjihad yang dilakukan ulama tentang pembatasan dan pergiliran kekuasaan, apabila eksekutif (khalifah) melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada tirani dan absolutisme maka dalam hal ini, Majelis Syurolah yang memberhentikannya sebelum masa jabatannya berakhir. Sebab dalam hal ini memiliki beberapa hak yang hampir sama dengan sistem politik negara barat. Hak-hak tersebut antara lain, hak untuk mengangkat dan memilih khalifah (pengangkatan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin menggunakan sistem musyawarah sehingga beberapa ahli politik menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan perwakilan), hak untuk memecat dan memberhentikan khalifah, hak untuk membuat undang-undang dan kebijaksaan, dan hak untuk melakukan control terhadap khalifah. [7]Sehingga, jelaslah bahwa konsep pembatasan dan pergiliran kekuasaan Islam sebenarnya nyaris sama dengan konsep kekuasaan barat.

Epilog

Dari uraian mengenai teori pembagian kekuasan dan penerapannya dalam sistem pemerintahan modern di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa teori pemisahan merupakan teori yang sangat brilian dalam menjauhi kekuasaan yang dictator dan sewenang-wenang. Dengan mengalami perkembangan, teori ini sudah menciptakan control/check dan balance dalam kekuasaan Negara. Kemudian, poin-poin teori ini pun ternyata sejalan dengan teori kekuasaan dalam islam dan sudah pernah di praktekkan pada zaman Rosulullah dan sahabat radhiyallahu 'anhum sejak 14 abad lalu walau tidak sesempurna dan sejelas teori trias politica hasil penilitian Montesquieu.
Semoga dari studi teori pemisahan kekuasaan ini dapat membuka cakra intelekual kita selaku muslim sehingga dapat menyusun teori kekuasan Negara dalam islam yang lebih jelas dan matang agar dapat di terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan dunia. Wallahu a'lam. ^_^

*Penulis (Muhammad Rakhmat alam) adalah anggota senat FSQ dan Mahasiswa Fakultas Syari'ah wal Qonun, Universitas Al-azhar, Cairo, Mesir. 


[1]  Abdul Qadir Djaelani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Media Da’wah,
Jakarta, hal. 75.
[2]  Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 79-80
[5]  Ibid, hal 80.
[6] Ibid
[7]  Ibid, 135-137.

1 komentar: