Minggu, 11 November 2012

Bukan Kerjaan Nabi! Apa Bid'ah dan Haram?



Dulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya atau mungkin kawan-kawan sering mendengar ucapan “indak karajo Nabi” (baca:bukan kerja Nabi) di berbagai majlis ta’lim, berbagai pengajian dan ceramah. Kata-kata itu biasanya keluar dari lisan para ustadz untuk menyatakan suatu perbuatan tersebut bid’ah dan haram, karena tidak ada contohnya dari Nabi SAW atau tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW, para sahabat dan para ulama salaf. Beberapa contoh perbuatan yang sering dibid’ahkan dan diharamkan atau dimakruhkan oleh para ustadz tersebut adalah memperingati kelahiran Nabi SAW, memperingati wafat Nabi SAW atau para sahabat, memperingati isra’ mi’raj Nabi SAW, dzikir berjama’ah, dzikir menggunakan tasbih, berdo’a setelah sholat, qunut setiap hari setelah subuh, dll.

Nah, timbul pertanyaan, sebenarnya apakah perbuatan yang disebutkan diatas adalah suatu yang bid’ah dan haram atau tidak? Apakah yang dikatakan para ustadz itu benar atau tidak? Untuk menjawab hal itu, kuncinya cukup sederhana, karena titik permasalahannya hanya satu, yaitu apakah sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Nabi SAW adalah bid’ah dan haram untuk dikerjakan atau tidak?

Untuk menjawabnya, saya tidak hanya memberikan satu pendapat dari ulama, akan tetapi saya akan memberikan beberapa pendapat ulama:

1. Pendapat pertama, bahwa setiap perbuatan yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, para sahabat dan tabi’tabi’in adalah bid’ah dan haram dikerjakan. Pendapat ini bersumber dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah menjaganya-, serta para pengikutnya Syaikh Albani, Muhammad bin Wahab dll. Mereka berpendapat bahwa setiap ibadah yang dilakukan, jika tidak ada contohnya dan tidak pernah dikerjakan Nabi SAW adalah suatu yang bid’ah dan sesat tempatnya di neraka, karena ibadah merupakan permasalahan tauqifi (yang harus berdasarkan dalil dan ada contohnya dari Nabi SAW), terlepas  apakah ibadah tersebut ibadah mahdhah atau ghairu mahdah .

Dalil pendapat pertama:

-“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu.” {al-Maidah:3}
- “Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” { HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.}
-“ Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya (dari dalil umum dan khusus), maka perkara tersebut tertolak.” { HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718}
-“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” {HR. Muslim no. 1718.}

2. Pendapat kedua, pendapat ini mengatakan bahwa suatu yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW atau para sahabat dan ulama salaf tidak menunjukkan atas pengharaman atau bid’ah, kecuali ada dalil nash al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan keharamannya. Pendapat kedua ini merupakan pendapat jumhur ulama –semoga Allah meridhai mereka-.
Mengenai ibadah merupakan perkara tauqifi, pendapat kedua sepakat dengan pendapat pertama, bahwa ibadah harus berdasarkan tuntunan Nabi SAW. Namun, pendapat kedua ini berbeda dengan pendapat pertama dari segi jenis ibadah, apakah ibadah tersebut ibadah mahdhah atau ghairu mahdhah. Jika ibadah mahdhah seperti: shalat, puasa, haji, umrah dll yang telah diatur tata cara pelaksanaannya, maka menambah, mengurangi, merubah tata cara ibadah ini merupakan suatu bid’ah, sesat dan haram serta pelakunya masuk neraka, karena tidak ada contohnya dan menyalahi sunah dan perintah Rasulullah SAW. Contohnya, menambah atau mengurangi jumlah raka’at dalam sholat, mengubah bacaan sholat dengan bahasa selain arab, mengurangi jumlah thawaf dalam haji, merubah haji ke tempat lain, sengaja berpuasa dari subuh sampai isya agar pahala bertambah, dll.

Adapun untuk jenis ibadah ghair mahdhah seperti: dzikir, sedekah, menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu, membaca al-Qur’an, berdo’a, berdakwah dll, maka melakukan kreasi dalam ibadah ini diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, seperti: berdzikir berjama’ah, berdzikir dengan tasbih atau alat modern, mengkhususkan sedekah dengan memberikan makan anak yatim setiap hari jum’at, mengkhususkan sedekah 10 pound setiap jum’at, mengkhususkan baca salah satu surat al-Qur’an pada hari wafatnya orang tua, mengkhususkan baca al-Qur’an 1 juz setiap hari, mengkhususkan menuntut ilmu atau memberikan ilmu setiap hari dari jam 7 sampai waktu ashar, mengkhususkan membaca atau menghafal al-Qur’an setiap ba’da subuh, memperingati kelahiran atau wafat Nabi SAW dengan memberi pengetahuan umat Islam kisah perjuangan Nabi SAW dan bagaimana wafatnya beliau, berdakwah lewat FB dan twitter, dakwah melalui nasyid islami yang berisi amaf ma’ruf nahi munkar, dakwah dengan bahasa selain bahasa arab, dll. Semua amalan tersebut merupakan ibadah dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT, semua amalan tersebut merupakan untuk mendekatkan diri pada Allah juga Rasul-Nya walaupun Nabi SAW tidak mencontohkan dengan tata cara tersebut karena tidak ada dalil yang mengkhususkan tata cara ibadah tersebut secara rinci.

Dalil pendapat kedua:

•    Al-Qur’an:

-     “Dan apa saja yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan apa saja yang kalian di larang untuk mengerjakannya, maka berhentilah (tinggalkanlah)! ” (Al-Hasyr: 7).

Wajh istidlal (bentuk pengambilan landasan dalil): Dalam ayat ini tidak disebutkan kata 'apa yang tidak dikerjakan Nabi SAW maka berhentilah', tetapi yang disebutkan adalah 'apa yang dilarang Nabi SAW'.

-    “Dan kerjakanlah amalan baik agar kamu beruntung” (al-Hajj:77).
Wajh Istidlal: Para ulama menafsirkan kata الخير  dengan mutlak, yaitu segala perbuatan baik. Dan dapat diketahui secara pasti, bahwa nabi SAW tidak lah melakukan seluruh perbuatan baik dengan berbagai macam bentuknya.

•    Hadits Nabi SAW:

-    “apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian, dan apa yang telah aku larang pada kalian maka jauhilah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wajh Istidlal: sama dengan disebelumnya.

"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lah pelupa. (HR. Daruquthni dan Bazzar, dishahihkan oleh Hakim dan adz-Dzahabi).

Dalam riwayat lain: “Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukum samin, keju dan keledai hutan, maka beliau menjawab: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)

Dari hadis di atas, Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatu, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka tau apa yang diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik. Karena itu, lahirlah sebuah kaidah ushul: pengabaian (suatu yang ditinggalkan Nabi SAW) tidak menunjukkan atas pengharaman. (الترك لا يدل على التحريم).

•    Amalan Sahabat ra:

-    Ketika akan dikumpulkannya al-Qur’an menjadi satu mushaf, Abu Bakar ra menentang hal tersebut dengan hujah karena tidak ada ketetapan perintah dari Nabi SAW atau Nabi tidak mepernah memerintahkan pengumpulan al-Qur’an menjadi satu mushaf. Kemudian Allah SWT melapangkan hati Abu Bakar, maka ia kemudian menerima hal tersebut dan memberikan perintah untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam bentuk mushaf. 

-    Diriwayatkan Bukhari, bahwa seorang sahabat mengimami shalat bersama kaum anshar, ia selalu mengawali bacaan sholat dengan membaca surat (قل هو الله أحد), dan kemudian membaca surat lain. Maka jama’ah dari kaum Anshar tersebut memberitahu Rasulullah SAW, Rasul berkata: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu melakukan apa yang diperintahkan para sahabatmu, apa yang membuatmu selalu membaca surat tersebut pada setiap raka’at?.” Sahabat itu berkata: karena aku menyukainya. Rasul membalas: Kesukaan mu itu akan memasukkan mu ke dalam surga.

Dari beberapa pemaparan pendapat di atas beserta dalilnya, kita dapat melihat bahwa pendapat jumhur adalah yang lebih kuat, lebih menenangkan jiwa, dan lebih sesuai dengan tujuan syariat. Semoga tulisan sederhana ini sedikit memberikan kita pengetahuan mengenai permasalahan bid'ah dan yang bukan bid'ah, antara mana yang haram dan mana yang tidak. Semoga kita juga terhindar dari orang-orang yang suka membid'ahkan sesama muslim apalagi mengkafirkan sesama muslim. Wallahu a'lam.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar