Zaman sekarang kebebasan pers semakin merajalela dan menjadi-jadi, semua orang bebas berekspresi, berbicara dan berpendapat. Kebebasan berpendapat dan sebagainya ini tentu sah-sah saja jika tidak memfitnah atau membahayan kemashlahatan umum. Tapi, kebebasan pers kini mulai merambah kepada kebebasan berfatwa dan berijtihad dan berhukum. Masalah berfatwa, mengeluarkan hukum, menyatakan sesuatu tentang suatu hukum dalam Islam bisa dikatakan oleh banyak orang yang notabenenya adalah orang awam (bukan penuntut ilmu syar’i), atau penuntut ilmu syar’I tapi masih newbie dan dangkal pemahamannya terhadap nash-nash al-Qur’an dan Sunah. Tidak menguasai fikih Islami dengan baik, tidak paham ushul fikih dengan matang, tidak pandai bahasa arab dan balaghah dengan benar, tidak mendalam memahami sejarah Islam, tidak begitu tau dengan metode tafsir yang benar, tidak begitu paham dengan ilmu hadits dan cabang-cabangnya, namun dengan mengambil satu atau bakan seratus ayat dan hadits tanpa dilihat secara mendalam mafhumnya, maknanya secara menyeluruh sudah berani mengatakan ini dan itu, sudah berani mengatakan orang lain adalah munafik, ahli bid’ah, syirik bahkan sampai kafir.
Sungguh ironis, baru seminggu atau bahkan baru sehari tobat atau mendapat satu ayat dan hadits langsung menyebarkan pada orang lain. Menyebarkan ayat atau hadits boleh-boleh saja, tapi kalau menyebarkannya dengan membawa sebuah hukum maka tidak boleh sembarangan menyampaikan ayat dan hadits tersebut, harus tau pendapat ulama yang mu’tabar mengenai hukum itu, kalau tidak tahu silahkan coba ijtihad sendiri dengan syarat bahasa bahasa arab, ilmu fikih, ushul fikih, tafsir dan keilmuan serta khazanah islam sudah ada di dalam kepala kita, nah loh…udah ada belom tuh? Nah, kalau belum ada maka jangan sampai berijtihad dengan hawa nafsu, inilah yang dinamakan berhukum dengan hawa nafsu, berhukum atau menghukumi sesuatu tanpa ilmu, atau juga sesuai dengan keinginannya, ini jelas dilarang dalam Islam, karena akan berbahaya dan merusak keilmuan Islam yang telah dibawa oleh oleh sahabat dan ulama salaf dari Rosulullah SAW dan menimbulkan syubhat-syubhat yang membahayakan.
Dan orang yang seperti ini banyak sekali bergentayangan dimana-mana, di dunia nyata bahkan di dunia maya. Kalau ditanyakan apa hukum menabung di bank konvesional, langsung menjawab haram orang yang menabung di sana adalah munafik dengan menyertakan dalil al-Qur’an atau Sunah, apa hukum hukum demokrasi dalam Islam? Mereka langsung menjawab haram secara mutlak tanpa ada pembahasan mendalam, orang yang berada dalamnya adalah musyrik dengan menyertai beberapa dalil. Apa hukum baca surat Yasin untuk orang yang sudah meninggal, apa hukum taksiyah ke rumah orang yang meninggal, apa hukum do’a berjama’ah mereka langsung jawab haram, itu semua bid’ah, yang melakukannya adalah ahlu bid’ah dan harus bertaubat dengan menyertaka dalil-dalil. Namun masalahnya, apakah dalil-dalil yang mereka gunakan itu sesuai dan pas dengan mafhumnya, apakah dalil tersebut benar untuk mengharamkan dan membid’ahkan suatu perbuatan? Maka perlu diteliti kembali, dari mana sumbernya, apakah dia adalah penuntut ilmu syar’I atau kah ia yang berbicara ini dan itu ternyata pegaiwai PNS di salah satu pemerintahan yang baru beberapa tahun ini mendalami Islam dari buku-buku bahasa Indonesia, atau dari selebaran majalah yang dijual dipinggir-pinggir jalan? Atau bahkan kalau memang dia penuntut ilmu syar’I seperti di al-Azhar dan dimana pun apakah dia belajar dengan sungguh-sungguh, apakah dia rajin kuliah dan talaqqi dengan ulama-ulama azhar atau hanya rajin chattingan dan nonton tv atau main game, apakah bahasa arabnya atau pemahamannya sudah baik dan benar.
Sungguh aneh, jangankan orang awam tadi yang kuliah di ITB atau UI dan jadi PNS, sedangkan penuntut ilmu syar’I sendiri pun mengenai mazhabnya saja kadang tidak tahu, bahkan rukun sholat dalam mazhab fikihnya pun tidak hafal. Bagaimana untuk mengatakan yang lebih mendalam dan jauh, jika yang dekat rabun. Dan bagaimana pula dengan orang ITB atau UI tadi yang jadi PNS atau siapa saja lah yang baru mendalami Islam berani mengatakan ini itu haram, bid’ah, syirik, kafir? Bahkan sampai-sampai mengatakan ulama Azhar tidak paham Islam, berfatwa dengan nafsu atau bermain-main dengan fatwa. Sungguh ironis dan bencana besar kalau orang sudah tidak percaya dengan ulama terus percaya kepada siapa? Kepada tukang becak atau ustadz yang baru tobat tapi pandai berceramah dan beretorika dengan dalil-dalil yang banyak, tanpa mengetahui isi kandungan dalil tersebut, atau perbandingan dalil yang satu dengan dalil yang lain, tanpa ilmu tafsir, fikih, dan ushul fikih. Tidak tahukah Imam Syafi’I dan Imam-imam lainnya untuk mengeluarkan satu hukum dari satu buah ayat butuh pengkajian, pemahaman, yang mendalam dan lama serta dengan ilmu-ilmu untuk mengeluarkan hukum. Kenapa orang zaman sekarang bisa-bisanya mengeluarkan hukum hanya dengan mencomot dalil al-Qur’an dan hadits tanpa pikir panjang dan ilmu?
Kalau memang demikian, maka tunggulah kehancuran kaum tersebut! (berilmulah sebelum anda berbicara!)
Islam agama sempurna,al qur'an kitab yg sempurna.Cmn umatnya aja yang salah, meskiun saya org islam dengan berat hati saya katakan begitu :(
BalasHapus