Senin, 15 November 2010

Hukum meninggalkan mabit di mina bagi yang tidak mampu*

Sudah maklum, bahwa menjaga jiwa merupakan salah satu dari maqashid ( tujuan ) syari'ah. Dan jika terjadi pertentangan antara maslahat dan mafsadat/kerusakan, maka sebagaimana yang ditetapkan oleh qawaa'idh al-fiqh atau kaidah fikih, maka menolak mafsadat itu lebih didahulukan dari mengambil maslahat. Dan apabila pertentangan itu terjadi antara maslahat maka dahulukan maslahat yang lebih tinggi dan besar. Memang  jiwa mukmin selalu berhasrat untuk melaksanakan perintah ibadah haji, akan tetapi Allah SWT telah menjadikan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.

Menjaga jiwa para haji merupakan kewajiban syar'i, maka seluruh manusia wajib menjaga jiwanya demi memuliakan kehormatannya. Dari ibnu abbas ra. Ia berkata : tatkala rosulullah SAW memandang kearah ka'bah beliau berkata : " selamat wahai bait ( ka'bah ), betapa agungnya engkau dan kehormatanmu. Dan seorang mukmin iu lebih agung di sisi Allah dari keagunganmu. " Pada masa sekarang, kebutuhan akan kemudahan dalam fatwa seputar hukum haji kepada kaum muslimin semakin bertambah. Karena diantara hikmah memelihara dan memperhatikan keadaan umat muslim dalam melaksanakan manasik haji adalah agar para jemaah haji tidak tertimpa sakit dan musibah dan supaya ketika mereka pulang dalam keadaan sehat dan baik.

Mengenai hukum Mabit di Mina pada malam tasyriq, terjadi perbedaan antara ulama. Menurut jumhur dari syafi'iyah, hanabilah dan malikiyah mabit di mina hukumnya wajib.  Sedangkan hanafiyah berpendapat hukumnya sunnah. Pendapat yag mengatakan sunnah berdasarkan hadits riwayat syaikhani ( bukhari dan muslim )" dari ibn 'umar ra. Bahwa al-'abbas  meminta izin kepada Nabi SAW untuk bermalam di mekkah pada malam ( mabit) di mina karena urusan irigasinya. Maka Rosulullah mengizinkannya". Kalaulah mabit itu wajib, tidak mungkin ada rukhsoh meninggalkannya hanya karena masalah irigasi. Maka dari sini dapat di ketahui bahwa mabit di mina hukumnya sunah. Dalam muwatha' imam malik juga di sebutkan bahwa Rosulullah juga mengizinkan sahabat yang minta izin tidak mabit karena urusan gembalanya.


Dan penguat dalil pendapat yang mengatakan sunah adalah bahwa mabit bukan sasaran tujuan ibadah haji, akan tetapi dia di syari'atkan karena makna ma'qul, yaitu sebagai pembantu untuk orang yang haji agar lebih dekat dengan tempat melempar jumrah keesokkan harinya. Dengan kata lain mabit di mina masyru'/ di syari'atkan lighairihi bukan li zaatihi. Karena itu, mabit di mina tidaklah wajib. Jika di hadapkan pada kami pertanyaan dimana seorang jamaah haji tidak dapat bermalam di mina dikarenakan terlalau letih, takut sakit, dan sempitnya tempat. Maka pendapat akan sunahnya mabit di mina dan tidak wajib mabi adalah pendapat yang dipilih untuk berfatwa.

Jika kami berfatwa bahwa hokum mabit adalah sunah, maka orang yang tidak melaksanakan mabit selama 3 hari berturut-turut di sunahkan membayar dam/ denda akan tetapi tidak wajib. Dan bagi yang tidak melaksanakannya sekali di sunahkan bersedekah satu mud makanan. Dan  ini merupakan pendapat akhir yang di ikuti oleh imam syafi'I bahwa mabit di mina adalah sunah.

Imam nawawi berkata dalam kitab al-majmu' : jika kami mengatakan mabit wajib, maka denda ( bagi yang tidak mabit ) juga wajib, jikakami mengatakan sunah, maka denda uga sunah. Dalam sebuah riwayat hanafiyah dan imam ahmad berkata : tidak diwajibkan bagi yang mninggalkan mabit seatu apapun. Dan walaupun pendapat jumhur mengatakan mabit di mina adalah wajib, akan tetapi mereka memberikan rukhsoh bagi yang memiliki uzur syar'i. Wallahu a'lam.

    * Fatwa mufti mesir Prof. DR. Syaikh Ali jum'ah.
    * Translated by Alamazharian ( mahasiswa fakultas syari'ah wal qonun, jur. Qonun, Universitas al-azhar )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar